Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jika Kalah, Gerindra Sebaiknya Jangan (Mau) Berada di Pemerintahan, Ini Alasannya

13 Juni 2019   16:55 Diperbarui: 13 Juni 2019   17:03 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Juru Bicara BPN Prabowo-Sandiaga, Andre Rosiade. Gambar: kompas.com

Rupanya menjelang persidangan gugatan yang berisi permohonan penyelesaian sengketa Pilpres 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang dilayangkan oleh kubu pemenangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga, muncul wacana dari beberapa partai yang tergabung dalam Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin untuk menggandeng Partai Gerindra sebagai mitra koalisi di pemerintahan kelak.

Wacana itu diungkap oleh Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan sekaligus anggota TKN Jokowi-Ma'ruf Amin, Arsul Sani. Tidak tanggung-tanggung, Arsul berujar bahwa jika pada akhirnya beberapa partai oposisi ingin bergabung, maka Gerindra yang lebih diutamakan.

"Bahkan di antara anggota KIK (Koalisi Indonesia Kerja) ada juga yang malah melihat bahwa kalau Gerindranya mau, maka Gerindra dapat menjadi preferensi pertama untuk tambahan koalisi pemerintahan dibanding partai lain yang semula pengusung Paslon 02. Jadi singkatnya, Gerindra memang bisa menjadi pilihan pertama jika koalisi pemerintahan hendak ditambah," ujar Arsul (13/6/2019).

Arsul menambahkan, wacana itu muncul sebagai wujud tanggapan atas pernyataan Jokowi yang ingin membuka kesempatan selebar-lebarnya bagi partai mana pun untuk bekerjasama dan memperkuat kinerja pemerintah.

Meski demikian, ternyata tidak semua partai di koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin serta-merta sepakat wacana tadi. Ada yang berpendapat bahwa bergabungnya Gerindra harus melalui pertimbangan matang, yakni menyangkut komitmen. 

Hal itu sebelumnya disampaikan oleh Ketua DPP Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily. Ace pun berharap bila betul bergabung, nanti Gerindra tidak boleh mengambil sikap yang berseberangan, seperti yang selama ini terlihat dan terasa.

"Yang harus dipastikan sebetulnya adalah komitmen dari semua untuk menjaga pemerintahan ini agar pemerintahan bisa mencapai target yang telah dicanangkan dalam nawacita jilid kedua," kata Ace (12/6/2019).

Lalu apa tanggapan pihak Gerindra dengan munculnya wacana tersebut?

Anggota Badan Komunikasi DPP Partai Gerindra, Andre Rosiade menyatakan partainya sama sekali belum memikirkan peluang untuk bergabung ke koalisi pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. 

Andre beralasan Gerindra saat ini sedang fokus menghadapi persidangan sengketa Pilpres di MK, dan juga yakin pasangan Prabowo-Sandiaga yang bakal menang.

"Ya fokus kami sekarang masih di MK. Kami fokus menghadapi gugatan yang akan kami ajukan ke MK. Belum terpikir sedikitpun soal bergabung. Orang kami yakin Insya Allah Pak Prabowo yang menang di MK. Nanti kami yang mengajakak koalisi ke kami. Bukan kami diajak ke sana. Tapi Insya Allah kami yang mengajak mereka gabung ke kami nanti setelah (sidang) MK," kata Andre (12/6/2019).

Haruskah partai oposisi utamanya Gerindra diajak bergabung ke koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin? Betulkah murni supaya sama-sama berjuang di pemerintahan, atau jangan-jangan hanya sebatas rayuan belaka?

Saya sengaja menuliskan judul artikel ini dengan penambahan kata "mau" dalam tanda kurung. Menurut saya ada dua pihak yang sama-sama berkepentingan, yaitu kubu Jokowi-Ma'ruf Amin dan kubu Prabowo-Sandiaga. Artinya ada pihak yang mengajak dan ada pula pihak yang akan diajak.

Menurut hemat saya, ajakan terhadap Gerindra dan beberapa partai oposisi tidak perlu dilakukan, pun sebaliknya partai-partai tersebut sebaiknya jangan tergoda. Mereka wajib kukuh pada pendiriannya yang telah terbangun. Yang paling penting bagi mereka saat ini adalah bagaimana menjadi partai oposisi yang 'kredibel' saja.

Menjadi oposisi tidak dapat dimaknai sebagai sikap menghindari tugas dan tanggungjawab untuk membangun negara. Oposisi sama penting dan mulianya dengan posisi pemerintah. Sistem pemerintahan justru baru dapat berjalan efektif bila ada kekuatan lain sebagai penyeimbang.

Sekali lagi oposisi mutlak diperlukan ke depan. Jangan semuanya jadi "pengekor". Biarlah Jokowi-Ma'ruf Amin beserta jajaran barunya menjadi kuat karena kritikan keras dan evaluasi berfaedah.

Alasan lainnya adalah, apa iya kabinet pemerintahan yang baru terpaksa dibuat menjadi "gemuk" hanya demi memfasilitasi banyak kepentingan?

Apakah partai-partai yang saat ini sedang berada di pemerintahan ditambah partai koalisi di TKN Jokowi-Ma'ruf Amin (Pilpres 2019) rela jatah jabatan mereka diserahkan kepada partai oposisi? Bagaimana pula dengan para profesional berpotensi, apakah mereka tidak difasilitasi masuk kabinet?

Baca juga: Jatah Kursi Menteri Sebaiknya Prioritas untuk Anggota Koalisi Awal dan Profesional, Ini Pertimbangannya

Dan kalaupun masuk kabinet, apakah Gerindra akan merasa nyaman seperti partai-partai koalisi Jokowi-Ma'ruf Amin? Bukankah sulit bagi mereka untuk beradaptasi?

Namun apa pun itu, presiden terpilihlah yang berhak mempertimbangkan dan memutuskannya. Semoga pertimbangannya adalah kepentingan jangka panjang, bukan sesaat.

***

Referensi: [1] [2] [3]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun