Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jangan Remehkan Ancaman Kata-kata!

13 Mei 2019   23:46 Diperbarui: 14 Mei 2019   00:03 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: indogamers.com

"Mulutmu adalah harimaumu". 

Pepatah di atas kerap ditujukan kepada seseorang yang dinilai gemar mengumbar kata atau kalimat kasar serta mengandung ancaman terhadap orang lain. Pepatah tersebut memang semacam pengingat bagi setiap individu agar membatasi diri ketika hendak mengungkapkan sesuatu.

Jangankan ancaman; kritikan, makian dan hujatan saja kalau tak berdasar sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan karena efek buruknya bukan cuma tertuju terhadap diri sendiri melainkan juga orang terdekat, misalnya saudara, orangtua, teman kerja, atasan, dan sebagainya.

Umpamanya begini, bila pada suatu saat kita berselisih dengan orang lain, bukankah yang ikut terseret pula adalah orang-orang yang berada di sekitar kita?

Bukankah kemudian persoalan yang seharusnya menjadi urusan pribadi turut ditanggung oleh mereka-mereka itu?

Dengan demikian, "harimau" tadi pada akhirnya tidak hanya 'menerkam' satu atau dua pihak, tetapi akan ada banyak lagi yang terpaksa 'termangsa'.

Kita cukupkan uraian nasihat singkat ini.

Beberapa hari terakhir ramai di media online tentang berita seorang pemuda yang diketahui melontarkan ancaman "penggal kepala" terhadap Presiden Joko Widodo. Namanya tidak perlu disampaikan di sini, dia sudah terlanjur tenar di publik.

Berdasarkan informasi yang beredar, pemuda tersebut adalah salah seorang peserta aksi demonstrasi di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Akibat ulah tak terukurnya, dia akhirnya mesti berurusan dengan pihak berwajib dan mendapat status sebagai tersangka. Tidak hanya itu, dia juga kemudian harus diberhentikan dari tempat kerja.

Ya itulah akibatnya ketika "mulut lebih cepat dibuka". Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sekali lagi, ini namanya konsekuensi "kehendak bebas".

Semoga saja dia siap menerima kenyataan bahwa di balik tindakannya ada "upah" yang wajib diterima. Harus ditekankan, "wajib" dan tidak bisa ditolak. Membela diri boleh saja, itu haknya, namun proses hukum terhadapnya tetap berjalan sesuai aturan.

Kalau terbukti bersalah, sebesar dan seberat apa pun hukumannya harus dijalankan. Biarlah hakim di pengadilan yang memutuskan hasilnya seperti apa.

Akan tetapi yang mengherankan adalah ketika di kasus ini kemudian ingin diintervensi oleh orang dan/atau kelompok tertentu. Mereka seolah-olah menganggapnya masalah sepele. Mereka bahkan membanding-bandingkannya dengan persoalan lain. Pada intinya mereka mau supaya kasus ini tidak diteruskan ke ranah hukum.

Pertanyaannya, wajarkah kata-kata kasar berisi ancaman dialamatkan kepada seorang kepala negara? Apakah mereka menganggap yang merasa tersinggung hanya pribadi Jokowi semata?

Bukankah Jokowi itu simbol negara dan 'milik' ratusan juta warga Indonesia? Bagaimana mungkin bisa muncul pandangan seperti itu?

Andaikata pun Jokowi adalah pribadi tanpa jabatan, patutkah beliau diancam-ancam seenaknya?

Baiklah pemuda tadi mengatakan dia belum memenggal kepala Jokowi secara langsung, lalu bukankah kalau dibiarkan bisa saja terjadi?

Atau mungkin bukan dia selanjutnya yang melakukan, tapi orang lain karena merasa terinspirasi?

Sekali lagi, "daya ledak" kata-kata sangat ampuh sebagai pemicu motivasi untuk berbuat lebih lagi. Akan ada banyak orang yang melakukan hal yang sama dan selanjutnya diteruskan dalam bentuk tindakan nyata.

Bagaimana kalau ancaman serupa ditujukan kepada pemuda tadi atau kepada orang-orang yang bersuara lantang membelanya, apakah mereka merasa biasa saja atau malah justru waspada?

Ada kabar terbaru, seorang pemuda di Amerika Serikat yang bernama Gary Gravelle terpaksa akan dijatuhi hukuman selama 140 tahun penjara karena mengancam mau membunuh Presiden Donald Trump.

Lama hukumannya sampai 140 tahun? Usia hidup Gary belum tentu separuhnya. Apakah hukuman tersebut benar direalisasikan? Lagi-lagi itu keputusan pengadilan.

Kesimpulannya, jangan ada satu pun individu yang beranggapan bahwa segala tindak-tanduknya wajib diatur oleh hukum positif dan sanksi maksimal. Kalau tidak aturan maka boleh bersikap dan bertindak seenaknya.

Menghargai sesama adalah sebuah keharusan dan sejatinya dilakukan penuh kesadaran. Jika kita ingin diperlakukan baik oleh orang lain, maka kita pun harus melakukan hal yang sama. Inilah prinsip dasar kemanusiaan. Tanpa itu, kita tidak ada bedanya dengan makhluk ciptaan lain.

Semoga kita semua sadar. Terima kasih.

***

Sumber: [1] [2] [3] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun