Mohon tunggu...
Febri Anastasia
Febri Anastasia Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi konsentrasi Jurnalistik

"Yang paling bijak adalah dia yang tahu dia tidak tahu."

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dilema Idealisme dan Realitas Melaksanakan Konsep Ekologis yang Berkeadilan Sosial

1 Juli 2021   22:19 Diperbarui: 1 Juli 2021   22:44 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada dasarnya manusia hidup penuh dengan kebebasan diri untuk dapat mengekspresikan setiap harinya. Namun kebebasan tersebut memiliki konsekuensi jika menempati negara dengan hukum sebagai Panglima tertingginya. Kebebasan pun akan dibatasi oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum untuk mengatur segala sesuatunya di negara ini. 

Pro dan kontra kerap kali muncul terhadap ketentuan yang dihasilkan oleh yang memiliki kebijakan untuk membuat undang-undang ataupun yang tergabung dalam hukum itu sendiri yakni, tiga lembaga besar negara Indonesia yaitu Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. 

Terlepas dari semua itu, baru-baru ini kita dapati suatu produk undang-undang yang menurut pemangku kebijakan yaitu Presiden dan DPR diyakini dapat mengakomodir semua elemen kepentingan bangsa Indonesia yang diimplementasikan melalui membuat suatu produk peraturan. Produk tersebut adalah Undang-Undang Cipta kerja, yang konon menggabungkan dari berbagai undang-undang yang dinilai selama ini kurang efektif dan efisien dalam menjalankan penegakan hukum di negeri ini.

Kendati kerap menuai penolakan dari berbagai pihak karena dianggap "barang rusak", Presiden Joko Widodo tetap menandatangani draft Undang-Undang Cipta Kerja yang berisi 1.187 halaman pada 2 November 2020 lalu. 

Dengan penandatanganan draft final ini maka sah dan berlaku lah UU Cipta Kerja menjadi UU Nomor 11 Tahun 2020. Alih-alih disusun menggunakan metode omnibus law agar dapat memperbaiki peraturan yang sudah ada, undang-undang ini justru membuat regulasi di Indonesia kian tumpang tindih dan saling bertentangan. 

Khususnya pada peraturan mengenai kebijakan lingkungan hidup yang mencakup UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) serta UU Kehutanan. Implikasi dari adanya UU Cipta Kerja ini memunculkan kekhawatiran dari peneliti Center for International Forestry Research (CIFOR), Hery Purnomo. 

Ia mengatakan  adanya deforestasi tinggi akan berisiko bagi lingkungan di balik efisiensi investasi dan kemudahan berusaha yang ditawarkan oleh UU Cipta Kerja. Tanpa penetapan fungsi hutan lebih dulu, kawasan hutan akan bisa diubah untuk pelbagai keperluan apa pun. Undang-Undang Cipta Kerja membuka peluang perubahan-perubahan fungsi kawasan hutan itu karena terlalu condong pada investasi. 

Hal senada pun diungkapkan Wahyu A Perdana, Manajer Kampanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial WALHI Nasional, ia mengatakan batasan minimal 30% kawasan hutan dihapus dalam UU Cipta Kerja, kondisi ini terlihat dari perubahan Pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 41/1999 tentang Kehutanan dalam UU Cipta Kerja. 

Tidak cukup sampai disitu, adanya kekeliruan regulasi dalam mengatur pemanfaatan sumber daya alam ini dilihat hanya untuk memenangkan kepentingan kapitalis sehingga mengancam kerusakan pada lingkungan serta berujung terjadinya bencana ekologis. Sebagai contoh, adapun penghapusan pasal pemidanaan pada kewajiban industri untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) sebagai izin bisnis. 

Sementara itu dalam upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) tidak ada aturan untuk mengatur suatu keputusan izin penyelenggara usaha seperti yang sebelumnya tertera dalam Pasal 1 angka 22 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). 

Disamping itu, minimnya keterlibatan masyarakat yang merupakan pihak paling terdampak dari kerusakan lingkungan oleh perubahan kawasan menjadi lokasi industri patut disoroti. Hal ini terlihat dari hilangnya hak suara masyarakat dalam menyatakan izin pendirian usaha dan peradilan (UU PPLH Pasal 38) yang digantikan oleh UU Cipta Kerja yang memberikan keleluasaan diskresi bagi pemerintah pusat dalam mengatur banyak hal, terutama yang terkait dengan investasi. Mulai dari penentuan tata ruang hingga pengenaan sanksi bagi mereka yang melanggar ketentuan dan memberikan dampak membahayakan dengan menggunakan keputusan pengadilan tata usaha negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun