Mohon tunggu...
Tsalitsa Nur Royaani .S.
Tsalitsa Nur Royaani .S. Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Saya adalah mahasiswi Universitas Nasional, konsentrasi Jurnalistik. Saya suka menulis, dan dibidang pemotretan (photography).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Etika Menyampaikan Kritik Sosial Melalui Media Sosial

1 Agustus 2022   15:08 Diperbarui: 1 Agustus 2022   15:25 2063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum era internet muncul seperti sekarang ini, kritikan masyarakat disampaikan melalui berbagai media tersendiri. Misalnya, Iwan Fals menyampaikannya melalui lagu dan bisa disimak melalui media kaset atau radio. Taufik Ismail menyampaikan kritik melalui puisi dan dapat disimak melalui surat kabar, majalah, buku atau televisi. 

Para pelukis menyampaikan kritik melalui lukisan dan dapat disimak melalui media kanvas atau televisi, surat kabar dan radio. Sedangkan akademisi dan praktisi menyampaikan kritik melalui forum tatap muka atau melalui media televisi, surat kabar dan radio.

Masyarakat selalu merasa perlu melakukan kritik sosial, baik yang ditujukan kepada masyarakat itu sendiri maupun kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Tujuannya bukan untuk menghancurkan masyarakat atau menggulingkan pemerintah, tetapi untuk memurnikan atau menebus semua nilai, kebijakan, dan aturan yang dianggap menyimpang.

Para "kritikus" merasa tidak bisa tinggal diam atau acuh terhadap kondisi yang mereka hadapi, apalagi melihat ketidakadilan yang dipraktikkan dalam kehidupan. Kritikus menolak untuk bersikap apatis saat memerintah jiwa mereka, mengutip puisi Alfred Edward Houseman, "Be still, my soul, be still." (Diamlah jiwaku, diamlah).

Namun, kritik tidak bisa disampaikan sembarangan. Ada aturan atau etika. Tokoh masyarakat (public figure) biasanya menyampaikan kritik yang membangun. Artinya, kritik disampaikan untuk perbaikan agar sesuatu yang dikritik dapat diubah menjadi sesuatu yang lebih baik. 

Mengkritisi membutuhkan pengetahuan, pertimbangan dan klarifikasi (crosscheck), agar tidak terjerumus ke dalam perkara pidana. Melalui asumsi ini, kritik sama dengan dialog untuk melakukan perbaikan atau reformasi. Karena tujuannya untuk melakukan perbaikan atau reformasi, maka dialog yang dilakukan tidak menggunakan kekerasan, kebencian, kekasaran, kebohongan, fitnah atau sumpah serapah. Kritik harus antara campuran yang seimbang antara akal dan emosi.

Berdasarkan konstitusi, menyatakan pendapat di muka umum dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: "Kebebasan berserikat dan berkumpul, menyatakan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang."

Namun sayangnya di era saat ini, dimana teknologi komunikasi dan internet berkembang sangat pesat, masyarakat mengalami "ledakan emansipasi" dan menganggap media sosial sebagai ruang untuk mengekspresikan kebebasan berpendapat secara bebas. 

Ada beberapa orang yang mengkritik secara konstruktif dan etis, tetapi ada juga yang mengkritik tidak dengan cara yang benar. Bahkan untuk kelompok kedua ini, yang disampaikan bukanlah kritikan, melainkan lebih kepada ujaran kebencian, provokasi bahkan mengarah pada fitnah dan pencemaran nama baik.

Media sosial telah membuka ruang bebas bagi siapa saja, tanpa terkecuali. Jadi yang paham etika dan yang tidak, bisa menggunakannya. Agar tidak terjerumus ke dalam tindak pidana, sebelum menyampaikan kritik perlu dipahami etika yang dianggap sah. Menurut Abdul Azis, setidaknya ada tiga etika yang harus dipatuhi saat memberikan kritik.

Pertama, ketika Anda ingin memberikan kritik, Anda harus siap dengan solusi dan saran yang membangun. Jika Anda tidak memiliki solusi atau saran atas kritik yang telah disampaikan, itu sama saja dengan omong kosong (bullshit). Kritik semacam itu memiliki dampak yang lebih negatif baik bagi pengkritik maupun pengkritiknya. Dan mungkin akan ada perselisihan di antara keduanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun