Mohon tunggu...
Yoshua Reynaldo
Yoshua Reynaldo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang : Kristen, Filsuf Stoa amatir, penikmat sejarah era tengah dan modern, dan manusia yang terbiasa menganalisis dan kritis pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemahaman Kultur Kolektif dan Honor-Shame

8 Agustus 2016   21:18 Diperbarui: 8 Agustus 2016   21:21 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Untuk yang membaca tulisan saya sebelumnya dengan judul sbb : 

Mengikis Ideologi Fundamentalisme: Peran Sosial Masyarakat

Isu SARA Dalam Pilkada DKI Jakarta

Dan mungkin tulisan-tulisan saya ke depannya, 

Mungkin ada yang bertanya, apa sih maksudnya kultur kolektif? Kultur Honor-Shame itu? Apa yang saya sebutkan itu mengada-ngada atau hanya karangan penulis ini semata? Jawabannya tidak, karena konsep ini adalah hal yang dipelajari oleh ahli sosial, bahkan di Indonesia pun diterapkan sistem seperti ini.

Untuk menjabarkan konsep kultur kolektif dan honor-shame, saya akan berikan ilustrasi mudah. Kalau anda asalnya orang daerah, pernahkah anda ingin anak anda sekolah biar menjadi kebanggaan keluarga? Atau pernahkah anda merasa 'tidak enak' pada seseorang, atau merasa 'tidak enak' memakai pakaian yang terbuka? Pernahkah anda mengira orang yang katakanlah, sesepuh (pemuka agama, kepala suku) tidak pantas dikritik oleh orang awam atau katakanlah, maling, PSK, penipu, dan social reject lainnya? Atau merasa nilai diri seseorang bertambah kalau dia katakanlah, menjadi guru agama, pemuka agama, atau semacamnya?

Itulah yang bernama kultur honor-shame, dimana kehormatan adalah segala-galanya. Nilai hormat bervariasi dari kultur ke kultur, misalnya orang pribumi/penduduk asli memakai kalung yang penuh dengan taring, itu adalah nilai hormat mereka, orang yang bernilai hormat tinggi, adalah yang biasanya dijadikan 'pemimpin' di tempat meeeka, taring adalah simbolisme berapa hasil buruan mereka, tidak heran orang-orang pribumi di beberapa kultur mengoleksi hal-hal seperti itu. Di kultur lain, seperti India, level honor ditentukan dengan kasta, dalam tradisi India kuno (dan masih diterapkan), pemuka agama adalah kasta yang paling tinggi (Brahman), diikuti dengan Ksatria dan kasta2 lain dibawahnya. Dalam beberapa kultur, simbol lain juga digunakan, jenggot, tato, dan lainnya. Tidak jarang di kultur arab jaman tengah misalnya, orang yang memiliki honor yang lebih rendah (misalnya Yahudi), diberikan simbol warna tertentu untuk mengidentifikasi mereka. 

Dalam etika honor-shame, apapun ideologi yang mereka anut, pembuatan suatu 'kasta' sosial adalah hal yang tidak dapat dihindari, tidak heran fundies seperti simpatisan FPI yang dalam tulisan saya di atas (yang memiliki konsep yang mirip), komplain tentang Demokrasi dimana suara pemuka agama dan PSK adalah setara. Tanpa sadar, jika ada kelompok yang diasingkan, mereka membentuk suatu kasta sosial dimana ada orang yang dianggap lebih rendah dari mereka dalam ranah publik. Orang kota dan yang terbiasa dalam dunia modern tidak mengetahui konsep ini, tapi wajar-wajar saja, dalam era dulu bagi seorang raja untuk menolak pendapat orang-orang kecil, karena memang level sosial mereka rendah, dan hanya dapat menemui raja, apabila raja (atau kasta yang lebih tinggi) mengizinkan dia untuk datang.

Masyarakat seperti ini juga menekankan konsep 'inherited honor', maksudnya dalam hal ini, misalnya suku asli memiliki kehormatan yang lebih tinggi dibandingkan pendatang, hal ini kontras dengan konsep individualis, di mana tidak ada 'special privilege' kepada orang dengan SARA apapun. Beberapa konsep kehormatan pun berikatan dengan puritas genetik (suku asli bla bla bla), maka dari itu, anda boleh yakin, di tahun 2016 ini pun masih ada yang dapat tertarik dengan promosi Pemilu Daerah sebagai 'orang betawi asli', 'orang jawa asli', 'orang padang asli', dan 'orang x asli'. 

Dalam beberapa orang Tionghoa pun, blood purity masih suatu hal yang berharga, itu sebabnya orang Chinese (tidak hanya terlokalisasi di Indonesia), enggan menikah dengan orang luar, karena dikatakan 'mempermalukan keluarga'. Ini adalah konsep honor-shame yang erat dirasakan, khususnya di daerah, dimana comblangan dilakukan agar kehormatan keluarga dijaga, karena dapat mencegah seks luar nikah, menikah dengan orang berbeda suku/agama, karena semua ini bisa melunturkan kehormatan di keluarganya. 

Hal seperti ini sejatinya adalah setiap orang sibuk dengan pencitraan dirinya atau keluarganya. Orang yang memiliki honor tinggi, belum tentu benar dan efektif sebagai pemimpin, meskipun saya yakin dalam beberapa kultur, honor ini berkaitan dengan leadership skills juga, misalnya orang yang hafal isi kitab suci harusnya dapat mengingat apa yang harus dilakukan dalam situasi A, B, dan C, seperti Rabbi dan Ustadz. Bahkan Nabi di perjanjian lama pun dijadikan semacam pemimpin negara (Kitab Hakim-Hakim memiliki nabi seperti Deborah, Ehud, Othniel, dan lainnya yang merupakan nabi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun