Mohon tunggu...
Triyatni Martosenjoyo
Triyatni Martosenjoyo Mohon Tunggu... -

dosen, arsitek, di Program Studi Arsitektur Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Perjalanan ke Sorong & Raja Ampat (1)

4 Juni 2012   15:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24 1285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hitam kulit keriting rambut

Aku Papua

Hitam kulit, keriting rambut.

Aku Indonesia

Beberapa hari setelah bertugas di Pulau Kayuadi Kabupaten Kepulauan  Selayar, saya bertemu dengan kawan yang bertugas di Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal Bpk. Rusnadi Pajung. Saya tidak sependapat dengan peta “ketertinggalan” yang banyak dihubungkan dengan tingkat pendapatan, ketersediaan air bersih, sarana kesehatan dan berbagai data statistik lainnya. Di Pulau Kayuadi, semua hal yang dibutuhkan itu ada. Pemerintah bahkan menyediakan intenet gratis. Jadi, kalau data statistik menyatakan ada, semua persoalan ketertinggalan itu selesai. Di lapangan, fungsi itu tidak berjalan. Dokter tak ada, internet cuma soal benda mati dipenuhi debu. Cita-cita generasi mudah sangat sederhana, yaitu bagaimana bisa menjadi guru. Bukan karena keinginan mulia, melainkan karena bila memiliki ijasah guru, akan memudahkan mereka menjadi pegawai negeri. Setelah itu, waktu mereka dihabiskan mengurus berbagai administrasi birokrasi dengan ibukota, sehingga tidak memiliki waktu untuk mengembangkan diri. Mereka harus disadarkan untuk maju tanpa bergantung semata-mata kepada birokrasi pemerintah. Pemerintah mengurus begitu banyak persoalan negara terutama politik, sehingga tidak punya waktu yang cukup untuk memikirkan dengan baik mereka yang tersembunyi dibalik hingar bingar kehidupan para birokrat. Bersyukur di Pulau Kayuadi jaringan provider dari berbagai kota sekitar bisa diakses dengan baik. Saya membimbing guru-guru untuk berhubungan dengan dunia luar secara mandiri melalui internet, memperkenalkan siapa mereka dan apa yang sudah mereka lakukan di pulau-pulau kecil Indonesia. Baca Bertugas di Pulau Kayuadi Kabepaten Kepulauan Selayar dan Fasilitas Pendidikan di Pulau Kayuadi Kabupatem Selayar.

Dalam diskusi yang cukup serius, RP meminta saya untuk bersiap-siap diundang Ke Kepulauan Raja Ampat akhir bulan Mei 2012. Saya tahu apa arti janji birokrat, karena itu tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Sampai saat 24 Mei 2012, saya dihubungi oleh staf RP apakah akan berangkat ke Sorong tanggal 28 atau 29 Mei 2012 untuk program "Jelajah Raja Ampat" yang digagas KPDT. Wow! Mulailah saya disibukkan dengan mencari tahu apa itu Raja Ampat. Isu yang ada sebelumnya adalah Raja Ampat hanya bisa dikunjungi sebagai tujuan wisata oleh mereka yang punya duit banyak. Sekali ke Raja Ampat itu sama dengan 4-5 kali ke Singapura plus ole-ole.

Sebelum ke Sorong, saya sudah dibekali dengan kesiapan minum obat malaria. Mencari obat malaria di Makassar bukan hal mudah. Informasi yang saya dapatkan adalah obat malaria selalu berobah sesuai dengan karakteristik perubahan dari virus malaria. Obat-obat pil kina masa lalu tidak lagi cukup efektif untuk melawan malaria tropika Papua. WHO memasok obat-obatan temuan terakhir untuk wilayah-wilayah endemi malaria termasuk Papua. Yang agak aneh karena cukup banyak iklan internet menawarkan obat dari WHO yang gratis secara online dengan harga yang lumayan. Seorang rekan menganjurkan cukup minum air dauan-daunan yang pahit seperti daun pepaya untuk melawan malaria. Selain itu, Raja Ampat terlalu indah untuk dihambat oleh malaria.

Sorong

Saya berangkat dari Bandara Hasanuddin dengan Sriwijaya Air jam 04.30 WITA. Tiba di Bandara Domine Eduard Osok Sorong jam 7.30 WIT. Di bandara DEO, saya dibuat terpesona oleh petugas bagasi seorang wanita Papua. Ketegasan dan kerapihannya mengatur barang, membuat para lelaki porter takluk tidak berani berebut bagasi penumpang. Salute!

13388220901927973405
13388220901927973405

Seperti juga semua kota di Indonesia, sepanjang jalan dari airport ke Hotel Mamberamo dipenuhi oleh iklan politisi. Sorong tidak terlalu bersih, karena sampah terlihat belum mendapat perlakuan baik. Di sudut-sudut kota, sampah nampak berserakan. Untungnya karena cuaca yang sangat panas membuat sampah-sampah itu mudah kering dan tidak mengundang lalat.

Sorong adalah kota jasa yang tidak punya potensi alam.Disini terjadi pertukaran jasa dan uang dari berbagai penjuru, mulai dari kota-kota di Papua, Ambon, Manado, Ternate, Makassar hingga Papua Guinea. Karena itu mobilisasi penduduk dari dan ke Kota Sorong cukup tinggi. Perusahaan penerbangan sangat banyak tersedia. Karena merupakan kota transaksi, Sorong juga potensil dengan penyakit seksual. Seorang aktifis LSM menceritakan bagaimana penderita HIV belum mendapat perlakuan khusus hingga bisa menghambat sebaran penyakit. Bar dan kafe yang menjamur serta minuman keras yang menjadi konsumsi sehari-hari juga memudahkan sebaran penyakit yang dibawa oleh para pelaut Thailand.

Yang pertama saya lakukan setelah tiba di hotel, adalah menanyakan koneksi internet. Hotel tidak menyediakan sambungan free wifi. Tamu bisa menyewa dengan biaya 20 ribu per jam. Saat ke luar kota, saya selalu memilih menggunakan paket internet prabayar dua mingguan, agar hemat. Saya keluar hotel dengan menggunakan taxi bertariftiga ribu rupiah ke semua penjuru kota. Angkutan kota di Papua disebut dengan taxi. Dengan taxi ini kita bisa pergi kemana saja, lewat jalur ke Utara, Selatan, Timur atau Barat, pasti sampai ke tujuan. Taxi ini tidak menggunakan kondektur. Supir menghubungkan dirinya dengan pintu melalui sepotong tambang. Dengan cara ini supir mudah membuka dan menutup pintu.

1338822227131662128
1338822227131662128

Saya menikmati wisata kota dengan taxi, hingga ke Pasar Boswesen. Membeli topi “Mbah Surip”. Bila penjualnya orang Irian, jangan menawar karena mereka akan marah. Karena penjual topi ini orang Bugis, topi yang dibuka dengan harga 35 ribu saya tawar 20 ribu langsung diberi. Di pasar ini, banyak tersedia pinang kering yang merupakan permen orang Papua. Anak-anak Papua sejak kecil sudah terbiasa makan pinang. Sayur-sayuran di pasar umumnya didatangkan dari luar daerah seperti Manado misalnya. Karena itu sayur-sayuran cukup mahal harganya. Saya membeli labu siam di supermarket tujuh ribuan sebiji.

Pasar ini juga menjadi lokasi kedatangan penduduk pulau-pulau di luar Sorong yang membawa hasil bumi untuk dijual dan kemudian membeli kebutuhan hidup untuk dibawa ke pulau. Saya bertemu dengan dua orang gadis Buton yang sedang menunggu ikan dari awak kapal. Gadis-gadis ini berdiam di perumahan nelayan Buton yang baru saja terbakar habis 7 Mei 2012. Mereka mengantarkan saya untuk mencari kartu telepon paket hemat yang ternyata sulit ditemukan di Sorong. Akhirnya saya hanya membeli voucher biasa saja dengan tarif standar.

Pasar Boswesen menyediakan cukup banyak ole-oleh yang bisa dibawa pulang, misalnya ikan asap mulai dari 10 hingga 15 ribu seekor. Walau merupakan penderita alergi, di Sorong saya berani makan cakalang, karena ikannya sangat segar dibanding dengan cakalang Makassar yang sudah sekian kali kena es. Makanan berbahan ikan yang disediakan Hotel Mamberamo tempat kami tinggal juga sangat nikmat. Tim kerapu misalnya adalah makanan mahal yang tidak disadari oleh hampir semua tamu dari Jakarta. Mereka merasa aneh saat saya langsung mengambil kepala kerapu yang jelas selain sangat nikmat, juga sangat kaya asam lemak omega 3.

13388224182023048608
13388224182023048608

1338823098878650630
1338823098878650630

Seminar Sagu

Agenda 30 Mei 2012 adalah menghadiri acara sagu sebagai makanan alternatif. Tema pembicaraan semuanya tentang sagu. Acara ini dihadiri oleh Menteri dan semua deputi KPDT, KADIN, pemerintah dan masyarakat adat setempat, investor dari China dan para ahli sagu dari Indonesia.

Pemerintah melalui KPDT berharap ada investor yang mau memasarkan potensi sagu Papua. Luas hutan sagu dunia adalah 2.250.000 ha. Indonesia memiliki hutan sagu seluas 1.250.000 ha, 1.200.000 ha ada di Papua. Sagu yang melimpah ini hampir menjadi sumber pangan yang mubasir ketika pemerintah Indonesia dan para ahli tanaman pangan menganggap bahwa penduduk Indonesia dikatakan beradab bila sudah menjadikan beras sebagai bahan pokok makanan sehari-hari.

Ketika ketersediaaan beras terbatas, pemerintah Indonesia mulai memikirkan sumber pangan alternatif seperti umbi-umbian, jagung atau sagu. Sayangnya dengan konsep padi sebagai bahan pangan terhormat, mereka menyebut sumber pangan asli Indonesia sebagai “bahan pangan alternatif”. Kata “alternatif” itu berkonotasi “sampingan” dan “bukan yang utama”. Untuk menampilkan sagu bercitra modern di kancah nasional,  diciptakan resep-resep masakan dari bahan alternatif mulai dari kue sagu keju, brownies sagu, mie bakso sagu, dan semua yang berbau imitasi makanan bersumber pangan terigu. Semua resep-resep ini berkesan hiburan dan tidak utama. Penikmat kuliner akan membandingkan bagaimana bila resep ini menggunakan sagu dan bagaimana bila menggunakan terigu. Ujung-ujungnya menggunakan sagu hanya akan terasa merepotkan dan mahal. Ide ibu Elsye Latuheru agar hotel-hotel di Papua mempromosikan sagu dalam menu-menu hotel, harus mendapat perhatian bila pemerintah ingin menjadikan sagu sejajar dengan sumber pangan lainnya.

Mengapa tidak menyatakan sagu sebagai bahan pangan potensil? Contoh yang menarik adalah ketika “kapurung” dari Palopo yang merambah resto Makassar. Dengan kombinasi sagu, sayur dan ikan, kapurung menjadi makanan yang potensil bagi mereka yang sadar makanan sehat dan dikejar oleh mereka yang berduit.Mengkombinasikan sagu dengan mentega dan berbagai bahan penunjang gaya Barat, hanya membuat sagu tidak tampil secara unik sesuai karakteristiknya yang tidak instant. Sagu itu pasangannya adalah sayur, ikan, kelapa, gula merah yang semua tersedia di lingkungan sekitar pohon sagu tumbuh.

Yang menjadi catatan penting bagi saya adalah bagaimana sisa olahan sagu menjadi bahan plastik yang tidak mencemarkan lingkungan. Membayangkan bagaimana kantong belanjaan yang sudah dipakai siap untuk menjadi bahan masakan, adalah ide yang cemerlang. Hemat saya, untuk keperluan investasi, Indonesia harus memberi perhatian serius terhadap kebutuhan kantong belanja, mengingat Indonesia mungkin adalah pengguna kantong platik terbesar yang sulit diatur untuk menggunakan kantong plastik dengan tertib. Plastic bag no, sago bag yes!

Sebelum acara seminar sagu berakhir, peserta sagu minta untuk diperkenalkan dengan makanan berbahan sagu. Dengan tangkas, panitia menyiapkan mie bakso sagu. Sayang sekali mie sagu yang disajikan masih terasa seperti karet karena disediakan dengan terburu-buru. Bakso daging juga tidak terasa pas bertemu dengan sagu di lidah. Membayangkan mie sagu ini akan lebih nikmat bila dimakan dengan ikan kerapu Sorong yang terkenal.

133882278986977045
133882278986977045
1338985611511111141
1338985611511111141

Malam hari, saya mencari kripik keladi yang khas Sorong. Oleh seorang teman, kami dibawa ke pembuat kripik keladi terkenal H. Soleh. Lokasi rumahnya dekat dengan pantai Sorong yang dinamakan "Tembok Berlin" karena tanggul pantai yang cukup tinggi sehingga sulit melihat muka air laut. H. Soleh menjual kripik keladi dengan harga 25-28 per 500 gram. Di airport kios-kios menjual kripik keladi dengan harga 40 ribu per 500 gram.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun