Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sahabat Karib Fathonah: Memandang Wanita Sebagai Pemuas Syahwat Belaka

24 Mei 2013   03:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:07 2271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berteman dengan Fathonah

Kata Fathonah hampir selalu ditemukan bersama: Shiddiq, Amanah dan Tabligh,  yaitu 4 akhlak mulia nabi yaitu “cerdas”, “benar”, “bisa dipercaya” dan “menyampaikan”. Akan tetapi kala search google image setelah ketik fathonah, maka di layar muncul foto-foto Ahmad Fathonah, yang bernama lengkap : Olong Ahmad Fedeli Luran yang terlibat Kasus Korupsi Daging Impor Sapi. Dari hasil pencarian tersebut selain foto Ahmad Fathonah juga ditemukan berbagai foto wanita-wanita yang sangat cantik. Foto-foto tersebut terkait berbagai artikel tentang pelanggaran hukum yang sedang ditangani oleh KPK, yang jauh dari sifat mulia nabi.

Ada hukum law of attraction bahwa pergaulan kita akan mengungkapkan karakter kita. Bulan-bulan ini media masa mengungkapkan nama Fathonah yang royal terhadap wanita-wanita cantik serta kelihaian lobby dengan membawa nama petinggi partai. Adalah suatu kesalahan seorang pemimpin yang memilih berkarib dengan Fathonah, sehingga seorang pengacara menyatakan sifat kedua karib tersebut sebelas-duabelas.

“Demikian penemuan para saintis, para ilmuwan segala jaman. Setiap elemen memiliki daya tarik untuk menarik elemen yang sama. Berarti penyakit akan menarik penyakit, kekacauan akan menarik kekacauan. Sebaliknya, keselarasan akan menarik keselarasan. Daya tarik dalam kehidupan kita sehari-hari juga persis demikian, apabila kita senang minum alkohol, pergaulan kita tak akan jauh dari orang orang yang senang minum alkohol. Apabila kita senang baca buku, teman teman akrab kita pasti juga para pembaca buku.” (Krishna, Anand. (2001). Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Pesan Kitab Suci Untuk Memilih Pergaulan Yang Baik

Berbekal laptop atau sebuah HP kita dapat search didunia maya dengan perangkat google. Kala mengetik “pengaruh teman bergaul” dan di klik, maka keluarlah banyak artikel yang berkaitan dengan pengaruh teman bergaul. Di salah satu judul artikel ada ulasan mengenai Hukum-Hukum Al Qur’an dan Hadist yang berkaitan dengan hal tersebut, yang antara lain:

“Dan ingatlah ketika orang-orang zalim menggigit kedua tanganya seraya berkata : “Aduhai kiranya aku dulu mengambil jalan bersama Rasul. Kecelakaan besar bagiku. Kiranya dulu aku tidak mengambil fulan sebagai teman akrabku. Sesungguhnya dia telah menyesatkan aku dari Al Qur’an sesudah Al Qur’an itu datang kepadaku. Dan setan itu tidak mau menolong manusia.” (Al Furqan:27-29)

“Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi. Penjual minyak wangi mungkin akan memberimu minyak wangi, atau engkau bisa membeli minyak wangi darinya, dan kalaupun tidak, engkau tetap mendapatkan bau harum darinya. Sedangkan pandai besi, bisa jadi (percikan apinya) mengenai pakaianmu, dan kalaupun tidak engkau tetap mendapatkan bau asapnya yang tak sedap.” (HR. Bukhari 5534 dan Muslim 2628)

“Agama Seseorang sesuai dengan agama teman dekatnya. Hendaklah kalian melihat siapakah yang menjadi teman dekatnya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, no. 927). Sumber: artikel “Pengaruh Teman Bergaul” – Muslim.or.id.

Antara Pengetahuan dan Praktek

Pengetahuan saja tidak cukup, contohnya adalah para perokok yang pasti sudah membaca bungkus rokok dan iklan baliho di Jalan Raya: “Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin.” Dalam abad modern ini tidak mungkin seseorang tidak mengetahui bahayanya merokok. Mengapa tetap merokok? Karena pengetahuan kalah dengan kebiasaan. Adiksi atau kecanduan dengan mudah mengalahkan pengetahuan. Melanggar hukum seperti korupsi itu mempunyai resiko yang bahkan kini sampai pada resiko pemiskinan sang koruptor. Akan tetapi, mengapa berita tentang korupsi tak pernah sirna satu hari pun dari media masa?

Demikian pula seorang pemuka masyarakat, petinggi partai mestinya mengetahui berbahayanya pergaulan yang tidak baik. Apalagi beliau pernah tahu bahwa teman karibnya pernah kena masalah kriminal, melanggar hukum di Australia. Ayat-ayat dari Kitab Suci dan Hadist tentang bahayanya “pengaruh teman bergaul”, diduga bahkan hapal di luar kepala, bukan hanya terjemahannya akan tetapi juga dalam bahasa aslinya. Mengapa beliau nekat bergaul dengan teman karib yang membahayakan imannya? Karena akibat pergaulan itu menyenangkan panca indera dan mental-emosionalnya . Setiap saat manusia selalu diberi pilihan apakah dia memilih tindakan yang menyenangkan mental-emosional dan panca inderanya? ataukah dia memilih tindakan yang mulia?

“Manusia yang serakah, berbudaya tak kunjung cukup, keadaannya sama dengan orang yang kecanduan obat-obatan. Ketagihan oleh narkotika atau oleh uang, seks dan lain-lain, mekanismenya sama: dosisnya harus bertambah terus. Ketagihan stimulus pemenuh instink hewani atau property addict persis sama dengan narcotic drug addict.” (Krishna, Anand. (2001). Medis dan Meditasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Budaya Kita Menghormati Perempuan

Kita terbiasa menyalahkan orang lain. Kita tidak pernah introspeksi mengenai kekurangan diri kita. Kita seharusnya memberdaya diri, melatih diri, mengendalikan hawa nafsu misalnya dengan melakukan puasa. Lelaki tidak boleh hanya menyalahkan perempuan yang menggodanya. Surah An-Nur ayat 30 menyampaikan: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”

“Kita hidup ditengah ‘masyarakat lemah-syahwat’. Masyarakat yang terlalu lemah dan dikendalikan oleh syahwat. Tanpa pengendalian diri, masyarakat ini akan jatuh. Dan, banyak diantara kita, sebagai bagian dari masyarakat yang sama, akan ikut jatuh pula.” (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Luar biasa bahwa masyarakat kita, sejak zaman dahulu, memahami betul peran perempuan. Kedudukannya  diharhgai. Perempuan dihormati. Tidak dikasihani, tapi dihormati. Keadaan ini berubah ketika para pedagang dari Timur Tengah, Timur Jauh dan Eropa mulai memasuki wilayah kita. Bersama uang, merekapun membawa budaya mereka. Kita terpengaruh, dan ‘jatuh’ dari ketinggian yang pernah kita capai. Ketinggian peradaban, ketinggian budaya, ketinggian dalam segala bidang.Budaya kita tidak melihat perempuan sebagai obyek seks yang menakutkan dan merongrong kejatuhan manusia ke neraka, sehingga tak ada keperluan untuk mengharuskan perempuan menutup rapat badan mereka. Budaya kita lebih percaya pada pemberdayaan dari dalam dan bukannya meniadakan semua godaan dari luar. Bila kuat didalam, segala godaan diluar tak akan menggoda; bila lemah di dalam diri, segala virus di luar dapat dikalahkan; tetapi bila sudah lemah di dalam, apapun bisa jadi sumber penyakit.” (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Perekat antara Suami dan Isteri bukan hanya Pemuas Syahwat

Di dalam masyarakat ada beberapa tujuan dalam memilih istri. Di antaranya adalah: Istri sebagai pemuas syahwat; istri sebagai pendamping suami dalam menjalani kehidupan menuju kebahagiaan; istri sebagai pendidik generasi penerus; dan istri sebagai sahabat seperjalanan menuju Gusti Yang Maha Memiliki Seluruh Alam ini. Sayangnya manusia terpesona oleh bayang-bayang kemilau dunia dan bukan kepada Dia Yang Maha Memiliki Dunia. Di media masa kita setiap hari disuguhi  banyaknya masalah rumah tangga orang-orang terkenal yang berakhir dengan memasuki ranah hukum. Akan tetapi kita tidak pernah belajar juga.

“Untuk menciptakan kerukunan dalam keluarga, kita membutuhkan perekat. Perekat apa yang kita miliki ? Harta benda, uang? Seorang istri menghormati suaminya karena ia masih mampu mencari nafkah dan membiayai keluarga. Suami membutuhkan istri untuk menjaga rumah dan merawat anak-anak mereka. Anak pun menghormati orangtua mereka sadar akan ketergantungan pada mereka. Ujung-ujungnya duit, uang, materi. Posisi suami sebagai Pencari Nafkah bisa diganti oleh siapa saja, bahkan oleh istrinya sendiri. Posisi istri sebagai penjaga rumah dan perawat anak dapat digantikan oleh para pembantu. Dan, bagi seorang anak, posisi kedua orangtuanya sebagai sumber dana, sudah pasti berakhir pada suatu hari. Bahkan, di negara-negara maju, posisi itu dapat digantikan oleh negara.” (Krishna, Anand. (2005). Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Bila perekat yang kita miliki adalah perekat kewajiban, kerukunan yang tercipta bisa lebih langgeng. Selama kita masih merasa bertanggungjawab terhadap anggota keluarga yang lain, kita akan hidup Rukun. Kendati demikian, sense of duty, “mereka berkewajiban” pun hanyalah sebuah perasaan belaka. Dan, rasa adalah emosi, bisa naik turun, dapat mengalami pasang surut. Karena itu, kerukunan yang tercipta karena sense of duty juga tidak stabil.” (Krishna, Anand. (2005). Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Perekat ketiga adalah perekat kasih. Inilah perekat yang langgeng, abadi. Kasih bukanlah cinta yang masih merupakan ‘rasa’ atau emosi dan sama-sama tidak stabil seperti kewajiban. Kasih berada di atas rasa; ia melampaui emosi. Ia tidak mengalami pasang surut, naik turun. Kasih merupakan jiwa kerukunan. Ia yang mengasihi, tidak bisa hidup tidak Rukun, bukan dengan anggota keluarga saja, tapi dengan siapa saya. Kasih merupakan bahan baku utama bagi perekat. Kewajiban hanya sedikit saja menggunakannya, maka daya rekatnya tidak seberapa. Kasih menjamin kerukunan dalam keluarga. Keluarga-keluarga yang Rukun menciptakan masyarakat yang harmonis. Masyarakat yang harmonis menjadi pilar utama bagi bangsa yang berbudaya, beradab, dan bangsa-bangsa yang beradab serta berbudaya mampu mendamaikan dunia.” (Krishna, Anand. (2005). Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Disusun oleh TW.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun