Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dadu Yudhisthira Shakuni: Solusi Tanpa Pertumpahan Darah atau Pemicu Perang Berdarah-Darah?

24 Agustus 2014   10:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:43 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408825421467754252


Gambar Shakuni lawan judi Yudhisthira sumber: dishayulinda blogspot com

Mandataris
“Seorang Raja hanyalah Mandataris. Seorang raja diberi mandat untuk mengurusi kerajaan. Ia bukan pemilik. Ia tidak dapat berbuat semaunya. Tugas seorang raja adalah melayani rakyat; tidak lebih tidak kurang.” (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
Yudhisthira membuat kerajaan dipertaruhkan di meja judi, juga saudara-saudaranya yang patuh terhadapnya ikut dipertaruhkan. Bahkan kemudian dirinya sendiri pun dipertaruhkan. Karena kalah terus dia pun akhirnya menjadi budak Duryudana. Setelah menjadi budak dia sudah tidak berhak bersuara dan permaisuri Draupadi pun menjadi taruhan dan dilecehkan di muka umum.
Yudhisthira berbuat kesalahan. Yudhisthira sudah mengkhianati amanah yang diembannya, mandat yang diberikan kepadanya. Saudara-saudaranya bukan miliknya, istrinya dan semua kepemilikan yang lain adalah milik Hyang Maha Memiliki, dan kita hanya menerima amanah. Sebuah kesalahan yang fatal karena Yudhisthira senang main dadu, memiliki karakter “tidak enakan” bila menolak ajakan orang lain serta berprasangka baik terhadap pihak yang berkali-kali menzaliminya.

“Tidak enakan” dan Berprasangka Baik terhadap Pihak yang Menzaliminya Berkali-kali
“Tidak enakan. Segan untuk mengatakan ‘tidak’. Kurang, atau bahkan tidak tegas. Inilah kelemahan utama seorang pemimpin. Tanpa ketegasan, seseorang tidak bisa memimpin. Mau memimpin dengan kerendahan hati? Silakan. Tapi, selain kerendahan hati, ketegasan pun diperlukan. Tanpa ketegasan, semuanya akan amburadul. Silakan memimpin dengan kasih, tidak perlu bertangan besi. Tapi tidak bisa juga bertangan mentega yang kena panas sedikit langsung meleleh.” (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
Yudhisthira diundang main dadu ke Hastina oleh Duryudana. Semua saudara-saudaranya sudah memperingatkan, akan tetapi Yudhisthira merasa tidak enak, diundang ke Hastina ya seharusnya datang. Apalagi main dadu adalah tradisi yang masih berlaku di masa itu.
Yudhisthira selalu berbaik sangka terhadap orang lain. Memang sebagai orang yang sudah melakoni jalan spiritual, dia berupaya bebas dari menghakimi orang lain. Akan tetapi, Yudhisthira dan saudara-saudaranya sudah berkali-kali dizalimi, dijebak dan dicoba dibunuh, mengapa dia tidak waspada? Mereka memang familinya, saudaranya, akan tetapi tidakkah dia ingat apa yang mereka lakukan sebelumnya?
Mengapa Kaurawa mengundangnya main judi saat Sri Krishna sedang tidak berada di Indraprastha, saat sedang menghadapi Raja Salwa yang menyerang kerajaannya? Judi adalah tradisi masa itu, akan tetapi bukankah Sri Krishna selalu menolak tradisi yang sudah busuk? Apakah Yudhisthira tidak ingat sejarah Dewi Vinata ibu Garuda yang bermain taruhan dengan Dewi Kadru ibu para ular? Dewi Kadru yang licik mengubah ekor Kuda Uchaisvara yang putih menjadi hitam dengan cara menyuruh anak-anaknya menutupi ekor tersebut. Dan hasilnya Dewi Vinata menjadi budak Dewi Kadru dan para ular sampai dibebaskan oleh Garuda.

Menyusahkan Saudara, Istri dan Rakyat
“Hidup di Alam Dharma berarti saat hidup di planet bumi ini, di dunia ini, awasilah karma Anda, tindakan Anda, supaya tidak menyusahkan orang lain. Bertindaklah secara bijak dan dengan penuh kesadaran bahwa jika Anda ingin bahagia, damai, dan tenang, maka orang lain pun sama, menginginkan kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan. Ketika Anda menyadari hal tersebut, ‘aku ingin bahagia, orang lain pun ingin bahagia juga’, maka terjadilah peningkatan kesadaran.” (Krishna, Anand. (2013). Alpha & Omega Japji bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Yudhisthira terlalu PD untuk bermain dadu, dia yakin bahwa Dharma akan melindunginya. Aura judi membuat keserakahan dalam diri berkembang. Yudihisthira terobsesi menaklukkan Duryudana dan para Kaurawa tanpa peperangan, tanpa pertumpahan darah, tanpa merepotkan saudara-saudara dan rakyatnya. Akan tetapi Yudhisthira melupakan resiko yang besar sekali.
Setiap orang selalu mempunyai pilihan sebelum melakukan suatu tindakan. Dengan berkarya sepenuh hati, pilihan yang diambil hampir pasti membawa hasil yang sepadan. Namun bila dia memilih tindakan yang tidak bisa diperkirakan hasilnya yang memungkinkan dia akan kehilangan sesuatu yang berharga, maka dia telah terlibat dalam suatu perjudian. Perjudian selalu melibatkan resiko, dan Yudhisthira berjudi dengan resiko kehilangan saudara-saudara, istri dan kerajaan. Yudhistira telah lupa diri bahwa tindakannya beresiko menyusahkan orang banyak.

Skenario Keberadaan
“Setiap avatar, setiap Buddha tidak pernah ‘mengagendakan’ hidup. Mereka sedang ‘mengalir’, mengikuti arus kehidupan. Mereka tidak memiliki rencana ‘pribadi’, mereka tengah mengikuti cetak biru Keberadaan.” (Krishna, Anand. (2000). Ah Mereguk Keindahan Tak Terkatakan Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra Bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Jakarta)
Adakah semacam blueprint, cetak-biru Keberadaan tentang kekalahan judi Yudhisthira, sehingga Pandawa dipermalukan, dengan terpaksa menjadi budak dan melepas pakaian bangsawan bahkan Permaisuri Draupadi pun ditarik kain sarinya di depan para pembesar Hastina? Beruntunglah Draupadi dilindungi Sri Krishna sehingga kainnya tidak bisa habis walaupun tumpukan kainnya sudah menggunung dan membuat Dursasana kewalahan. Semua Pembesar Kerajaan Hastina merasa ngeri akan akibat dari melecehkan Draupadi di muka umum. Solusi tanpa pertumpahan darah Yudhisthira dengan main dadu justru menjadi pemicu perang berdarah-darah. Akhirnya Pandawa bersama Draupadi harus menjalani pengasingan selama 13 tahun. Shakuni bersama Duryudana ingin menjauhkan Pandawa dari rakyat. Akan tetapi permainan dadu yang curang dan dilecehkannya Draupadi tersebut menjadi pemicu perang Bharatayudha.
Sri Krishna, semaca kecil hidup bersama para gopi dan gopala di Brindavan menghadapi para Asura sakti suruhan Kamsa yang ingin membunuhnya. Setelah menjadi raja, Sri Krishna membantu Pandawa menegakkan kebenaran di dunia. Pada saat Yudhisthira diundang main dadu, Sri Krishna sedang berperang melawan Salva yang menyerang Dvaraka untuk balas dendam atas kematian Sishupala. Apakah Sri Krishna hidup mengalir sesuai cetak-biru yang telah diketahuinya?
Bapak Anand Krishna menyampaikan bahwa cetak-biru selalu ada, dan kita sebagai manusia tidak tahu bagaimana akhir skenario tersebut.
Yang penting adalah kita belajar dari hikmah permainan dadu Yudhisthira, hidup adalah pilihan dan kita perlu memilih dengan tepat. Kita pun jangan meneladani Duryudana dan Shakuni yang dengan tipu daya mengalahkan Yudistira. Memang selama benih tindakan belum menjadi pohon dan berbuah, Duryudana dan Shakuni akan menikmati kemenangan. Akan tetapi setelah buah kejahatan mereka matang, mereka akan menerima akibat yang setimpal dengan perbuatan mereka.

Raja Parikesit berhadapan dengan Kali
Setelah Sri Krishna meninggalkan dunia, Dharma menghadapi masalah besar. Dengan kewaskitaannya, Maharaja Parikesit cucu Arjuna dan pengganti Maharaja Yudhisthira, mampu melihat Dharma sebagai sapi berkaki satu. Kakinya yang tinggal satu pun sedang diserang oleh Kali. Kaki pertama “tapa”, pengendalian diri sudah rusak karena manusia bertindak tanpa pengendalian diri. Kaki kedua “sauca”, kesucian diri dalam pikiran, ucapan dan tindakan. Kesucian pun gugur ternodai keterikatan. Kaki ketiga “divya”, welas asih. Dan, welas asih pun telah musnah karena tertutup oleh hawa nafsu. Hanya tinggal satu kaki yang bisa membuat dirinya masih tegak, yaitu “satya”, kaki kebenaran dan Kali masih berusaha menyerang kaki tersebut. Betul-betul Zaman telah memasuki Kegelapan, Kali Yuga.
Dalam buku (Krishna, Anand. (2004). Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) disampaikan kisah yang intinya, Kali bersimpuh di hadapan Maharaja Parikesit: “Gusti yang menciptakan kebaikan juga menciptakan kejahatan. Kejahatan adalah bayang-bayang kebaikan. Hamba telah diciptakan, dan hamba tetap membutuhkan ruang agar diri hamba tetap eksis. Berikan hamba tempat di paling sudut yang paling tertutup. Bagaimana pun sudah merupakan bawaan hamba untuk tetap mendatangi pintu-pintu yang dibuka sendiri oleh manusia. Para manusia yang telah mengundang hamba dan sudah menjadi kewajiban hamba untuk tidak menolak undangan mereka!”
Kekalahan main judi Kakek Yudhistira terhadap Duryudana dan Shakuni sangat membekas pada diri sang maharaja, sehingga Parikesit berkata bahwa Pintu Pertama yang bisa dimasuki Kali adalah Pintu Judi. Pintu Kedua adalah Pintu Mabuk, Pintu Ketiga adalah Pintu Zinah, Pintu Keempat adalah Pintu Pembunuhan dan Pintu Kelima adalah Pintu emas.
Masihkah kita mencoba memasuki Pintu Judi dimana Kali siap menerkam jiwa kita?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun