Mohon tunggu...
Tri Wibowo
Tri Wibowo Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Amatir

Contac IG: wibowotri_ email: the_three_3wb@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Faktor Pembentukan Moralitas "Buruk" Pejabat

30 Desember 2018   22:17 Diperbarui: 30 Desember 2018   22:22 1569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
fbclaudia.wordpress.com

Bahkan di Sekolah Madrasah, pelajaran aqidah ahlak selalu ada, hal ini berkaitan dengan ilmu tanpa adanya ahlak sama dengan nol atau angin dalam ruang hampa. Itu lah yang terjadi apabila moralitas personal seorang politikus dan birokrat sudah terdegradasi. Ilmu yang dipunya pun seolah tak berarti, karena tidak didukung oleh moralitas personal yang berkualitas. Karakter nya tidak terlihat, kewibaan luntur, dan akhirnya ketika mengemban jabatan strategis terkesan hanya formalitas tanpa memberikan efek perubahan.

Kemunafikan para pejabat pemangku kepentingan semakin memperburuk karakter yang meraka miliki. Kemunafikan yang penulis maksud adalah ucapan yang sering kali tidak sesuai dengan prilaku, memiliki selogan disiplin, namun mangkir, memiliki asa transparan, namun tertutup, mengedepankan pelayanan prima, namun berbayar. Hal ini ibarat dua sisi mata uang yang berbeda, yang juga memiliki makna berbeda, namun tak ada tujuan yang tercapai.

Revolusi mental yang digagas oleh presiden Jokowi tersirat makna didalamnya bahwa ada mental yang rusak, ada mental personal yang harus diperbaiki, ada mental buruk yang menjadi penyakit menahun yang menjadi penghambat nawacipta yang menjadi target utama pemerintahan. Namun semangatnya hanya sebatas tertempel dispanduk-spanduk kantor pemerintahan, dan tidak pernah tertempel didalam diri personal-personal pelaku pemerintahan yang memang menjadi aktor utama dalam gagasan revolusi mental.

Sebagai masyarakat sipil penlulis sangat bisa memberikan penilaian terhadap personal-personal birokrat dan politikus yang benar-benar berbayar. Akhirnya kebiasaan tersebut menciptakan image yang melekat pada pelayanan publik, tidak lahir keikhlasan dalam diri seseorang dalam memberikan pelayanan prima, ada motif dari setiap pelayanan yang diberikan, walau tidak terjadi disemua lini, tapi tradisi ini berhasil menciptakan streotif buruk dikalangan masyarakat.

Dari analisa penulis di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa pondasi kuat dalam membangun moralitas yang baik adalah dengan tidak terkontaminasi dengan lingkungan yang buruk. Hal itu sulit tapi bukan tidak mungkin untuk dilakukan. Karena pada hakikatnya, manusia terlahir dengan posisi kosong, lingkungan lah yang turut serta menciptakan karakter personal atau mempengaruhi mentalitas personal seseorang.

Moralitas Profesi

Dalam hal moralitas profesi kasus suap dan korupsi merupakan aksi mencedrai profesi para pejabat sebagai pelayan publik. Saat kita siap untuk menjadi pelayan publik, artinya kita sudah bersumpah untuk mengabdi, menyerahkan diri ini dalam bentuk pengabdian yang dikemas dalam suatu profesi dan memiliki tanggungjawab didalamnya. Banyak permasalahan berawal dari niat yang tidak lurus dari para pemangku kepentingan, hal ini disebabkan karena para aktor pemerintahan dan politik belum selesai dengan urusan atas dirinya sendiri. 

Mereka belum paham makna profesi pejabat adalah pelayan publik, belum paham bahwa moral yang baik adalah bagian dari penunjang kinerja, serta belum paham bahwa untuk menjadi orang kaya tidak bisa diraih dengan profesi sebagai pelayan publik.

Banyak yang menganggap profesi sebagai pelayan publik adalah kelayakan hidup hakiki dan seolah hal tersebut menjadi tujuan utama, namun ketika realita tidak sesuai dengan espektasi, aksi pelanggaran terhadap profesi akhirnya lahir secara natural. Jadi jangan pernah kita mengharap bahwa akan ada orang yang mengisi posisi yang tepat (right man in the right palace) jika iya belum selesai dengan dirinya sendiri (mentalitas personal).

Pemahaman bahwa mentalitas sebagai seseorang yang memiliki profesi yang baik juga seolah belum terwujud di lingkungan pemerintahan atau lingkungan politik. Mengutip bahasa Rocky Gerung (pengamat politik), "kedunguan ini tersebar diberbagai lini". 

Profesi atau jabatan seseorang seolah tidak disikapi dengan bengan bijak sebagai pelayan publik, tak jarang terdengar ada istilah tempat basah & tempat kering. Ada motif lain dalam megemban sebuah jabatan, motif yang seharusnya menjadi pelayan publik bukan menjadi tujuan, yang akhirnya etika yang buruk dalam jabatan atau profesi yang ada pada birokrat atau politisi di negara ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun