Mohon tunggu...
Trisno S. Sutanto
Trisno S. Sutanto Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang yang selalu gelisah dan mencari

Setelah lama "nyantri" di STF Driyarkara, menjadi penulis lepas untuk berbagai media dan terlibat dalam gerakan antar-iman. Esai-esai terpilihnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku "Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih", oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, Desember 2021.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buya Syafii Maarif Berpulang

27 Mei 2022   13:14 Diperbarui: 27 Mei 2022   18:26 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buya Syafii Maarif  (Foto: Muhammadiyah.or.id)

APA yang hilang saat Buya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif berpulang pagi ini, pkl 10:15 WIB? Seorang teman merumuskannya dengan baik: tauladan kesederhanaan hidup yang makin langka.

Sebab Buya adalah segelintir tokoh di Indonesia yang konsisten menapaki jalan hidup sederhana. Ia tak silau oleh harta dan kedudukan, apalagi jabatan, tetapi menikmati hidup sederhana di daerah pelosok di Yogyakarta. Baginya semua hal itu tak mampu memenjarakan jiwanya yang melambung tinggi merindukan wajah Sang Kekasih.

Padahal, kalau ia mau, ia memiliki kapasitas dan warisan yang memadai. Semua orang kagum pada pemikirannya yang jernih, pembelaan dan gairahnya bagi Indonesia yang lebih baik. 

Karya-karya intelektualnya pernah dihargai Ramon Magsaysay dari pemerintah Filipina (2008). Juga ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah maupun Presiden World Conference on Religion for Peace (WCRP) yang disegani dan dihormati. Semua orang mengagumi dan memanggilnya "Buya" -- suatu penghormatan bagi seseorang yang layak dijuluki "Bapa bangsa".

Namun, ketika semua itu selesai dilakoni, ia kembali pada akar dirinya: hidup sederhana tanpa neko-neko dan cawil-cawil demi kepentingan pribadi, sembari tetap berpegang teguh pada prinsip dan visinya mengenai Indonesia yang lebih baik. 

Ia misalnya tampil dengan tegar membela kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada November 2016 dan menegaskan bahwa Ahok tidak menista agama, walau harus berhadapan dengan arus politisasi agama saat itu.

Begitu juga, dengan tekun ia merawat dan melindungi generasi muda yang diharapkan akan menggantikannya lewat lembaga yang dibentuknya, Maarif Institute. Dari lembaga itulah lahir tokoh-tokoh muda Muhammadiyah yang kritis, cerdas, dan memiliki pengaruh luas. Aktivitas terakhirnya adalah sebagai salah satu anggota Dewan Penasihat BPIP guna menjaga ideologi Pancasila.

Tetapi semua gelar dan penghormatan tadi tidak menyilaukan matanya. Ia memilih kembali pada kesederhanan hidup di sudut kota Yogyakarta. Dan justru pilihannya itulah yang memesona banyak orang. 

Berbagai foto yang sering beredar di medsos, entah sedang sabar menanti antrian, atau sedang duduk sendirian di kereta, atau sedang santai mengayuh sepeda, membuat banyak yang berdecak kagum. Sungguh kontras dengan banyak elite yang berlomba-lomba memamerkan koleksi barang terbaru atau gila hasrat memperebutkan takhta kekuasaan.

Pagi tadi, Buya berpulang untuk kembali pada Sang kekasih yang didambakan. Saya membayangkan, ia disambut oleh pelukan hangat sahabat-sahabatnya yang lebih dahulu berpulang, seperti Gus Dur, Th. Sumartana, Eka Darmaputera dan Djohan Effendi. Mereka sangat layak digelari "Buya", orang-orang yang sudah menjadi tanda-tanda evolusi bangsa ini dan meninggalkan tauladan kesederhanaan hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun