Mohon tunggu...
Trisno S. Sutanto
Trisno S. Sutanto Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang yang selalu gelisah dan mencari

Setelah lama "nyantri" di STF Driyarkara, menjadi penulis lepas untuk berbagai media dan terlibat dalam gerakan antar-iman. Esai-esai terpilihnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku "Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih", oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, Desember 2021.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Galau

10 Mei 2022   11:25 Diperbarui: 10 Mei 2022   12:11 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Kompas.com

SAYA tidak tahu bagaimana di lokasi perumahan Anda. Namun di sekitar kompleks perumahan saya, setiap hari saya mendengar 2 - 3 kali penjual tahu bulat berkeliling dan meneriakkan iklannya. 

Dan saya selalu tertarik pada iklan itu. Mungkin karena berulang kali disebutkan. Begini bunyinya: "Tahu bulat, digoreng dadakan, limaratusan... Galau!" Sampai sekarang saya tidak tahu persis, mengapa kata terakhir itu disebutkan. Kadang malah diteriakkan.

Susunannya aneh. Jelas kesimpulan "galau" itu tidak punya kaitan dengan kalimat-kalimat sebelumnya. Cobalah memikirkannya. Apakah karena tahu bulat itu digoreng "dadakan" sehingga galau?  Ini kemungkinan pertama. Sebab, seperti kita tahu, banyak hal yang terjadi secara mendadak memang dapat menimbulkan kegalauan.

Atau kemungkinan kedua: tahu goreng dadakan itu dihargai "limaratusan", sehinga membuat galau para calon pembelinya. Sebagian dari calon pembeli mungkin akan bertanya-tanya, apa karena tahu itu "bulat", sehingga dihargai limaratusan? Ataukah karena tahu bulat itu "digoreng dadakan", sehingga harganya mencapai limaratusan? 

Atau bisa juga kemungkinan ketiga: memang antara "galau" dengan kalimat-kalimat sebelumnya tidak diniatkan sebagai proposisi yang perlu diuji. Hanya sekadar "selipan", kalau kata ini boleh dipakai, untuk menarik perhatian para calon pembeli. Setidaknya, bukankah iklan itu terbukti menarik perhatian saya, walau saya tidak pernah membelinya?

Post-Truth

AKHIRNYA saya memutuskan sendiri, bahwa soal "galau" itu memang tidak ada kaitannya dengan kalimat-kalimat sebelumnya. Jadi saya memilih kemungkinan ketiga sebagai penjelasan. Singkatnya, ini hanya akal-akalan si penjual tahu saja!

Memikirkan hal itu membuat saya mulai memahami gaya berpolitik jaman medsos yang marak sekarang. Banyak orang menjadi galau dan berdebat panjang-lebar, malah kadang sampai memutus pertemanan atau bahkan persaudaraan gara-gara isu panas. Tetapi penyebab sebenarnya dari kegalauan dan perdebatan tersebut tidak pernah dijelaskan. Atau bahkan tidak dapat disimpulkan dari data yang disediakan.

Alhasil, ketika orang berusaha menyibak informasi medsos soal apa sebenarnya yang sedang diperdebatkan dengan hati panas, maka situasinya sama seperti saya berusaha memahami mengapa tahu bulat yang digoreng dadakan jadi galau. Dan kalau ditelusuri logika di baliknya, berdasarkan informasi yang disediakan, orang malah tambah galau: bingung antara kemungkinan pertama (karena tahunya digoreng dadakan) atau kedua (karena tahunya bulat dan dihargai limaratusan) di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun