Mohon tunggu...
Artini Trisetiati
Artini Trisetiati Mohon Tunggu... -

punya tiga peran: anak, istri dan ibu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Konspirasi Dua Dunia

31 Maret 2015   14:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:44 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kutatap raut wajah itu mengeras. Entah apa yang menyebabkan ia begitu terlihat marah, lalu pergi bergegas. Kupanggil namanya, namun menoleh pun ia tidak. Ah..selalu begitu, padahal kuingin ia sejenak disini menemaniku. Jadwalnya selalu padat, ketika matahari belum bersinar ia sudah memulai aktifitasnya. Ia akan kembali ketika matahari sudah terlelap digantikan bintang atau bulan. Begitu selalu dan tak nampak ia merasa lelah.

Kali ini dia tak menepati jadwal hariannya. Mentari sudah hampir meninggi namun ia masih di kamarnya. Ia masih tampak menarik selimut dan membelakangi jendela kamarnya yang mulai diterobos belaian mentari. Apakah ia sakit? Kudekati perlahan, takut kehadiranku mengganggunya. Matanya masih nampak tertutup rapat, namun butiran air membasahi dahinya. Sesekali tampak badannya menggigil, padahal aku bisa merasakan hawa kamar yang tidak sedingin biasanya. Kuulurkan tanganku hendak menghapus aliran air keringatnya, namun kuurungkan. Apakah dia berkenan? Terbayang wajah indahnya yang akan mengeras jika ia tahu apa yang kulakukan. Perlahan kutinggalkan ruangan agar keinginanku tidak mengganggu tidurnya.

Mentari sudah tenggelam, kulihat dirinya tidak ada di kamar. Barangkali tadi dia hanya ingin tidur sampai siang. Biar kutunggu dia hingga ia kembali…

Aneh, hingga mentari muncul lagi ia tidak tampak juga. Kemana? Ah, jangan-jangan ia kembali ke teman-temannya yang dulu? Betapa dia tidak khawatir jika kebiasaannya akan menyebabkan ia jadi orang paling tak berguna? Bertahun-tahun lalu sering kuingatkan dia, tapi seolah-olah aku ini hanya angin lalu yang tidak didengarnya. Sejak kulihat karibnya memberikan bungkusan kecil yang membuatnya tertidur lama, aku berusaha mengiring ia agar lebih hati-hati. Aku berusaha menarik tangannya agar jangan sampai benda dalam bungkusan kecil itu diminumnya. Semakin berusaha kumencoba menariknya, semakin sulit rasanya menjauhkan dia dari bungkusan itu. Kusempat lihat dari hari ke hari semakin banyak bungkusan yang ia pakai. Kudekati dia, kubelai tangannya agar ia tahu betapa aku takut akan kebiasaan barunya. Namun selalu hentakan kecil kuterima. Hingga akhirnya mama membawa dia pergi berhari-hari, berbulan-bulan lagi baru dia kembali. Apakah hari ini mama membawanya lagi?

Hari ini adalah sudah kesekian hari kamarnya masih kosong. Belum ada yang memberitahu aku kemana perginya dia. Aku hanya bisa mengintip dari celah jendela, berharap ia muncul di halaman dan segera naik ke kamar. Sunyi diluar, hanya daun-daun kering yang terbawa angin tampak bercanda diluar. Aku mulai bosan disini sendiri.

Braakk..pintu terbuka dengan tergesa. Kuterkejut dan menatap sumber pembuat keonaran itu. Seraut wajah dengan tatapan tegas menatapku tajam. Tubuhku menggigil, tiba-tiba kumerasa takut. Belum pernah aku merasa setakut ini. Mau apa dia. Selangkah demi selangkah ia berjalan kearahku. Mengapa dia mendekat, aku harus menjauh dari dia. Kumenuju sudut lain kamar, menjaga jarak darinya. Namun ia tidak berhenti disana. Apa yang akan ia lakukan? Kucoba bersembunyi dari tatapannya yang tajam. Semakin aku menghindar, semakin ia mendekatiku. Saat ia semakin dekat kucoba dorong tubuhnya yang terbalut pakaian hitam. Gagal, ia tidak menghentikan niatnya untuk mendekatiku..aku semakin gemetar. Kulihat mulutnya berucap kata-kata, namun aku takut mendengar suaranya, kututup telingaku. Kulipat tubuhku agar ia tak mampu menyentuhnya, kudengar ucapannya semakin keras memekakan telingaku. Aku gemetar, aku takut, aku lemas, tak berdaya. Dia tak nampak juga. Aku rindu dia yang lama tak tampak, tapi aku takut bertahan disini. Orang ini sungguh membuatku takut, membuatku ingin segera berlari dari sini. Maafkan aku, sepertinya aku tidak bisa lagi menunggumu disini..orang ini mendorongku jauh dari kamarmu. Maafkan aku..dimana kamu…

Kamar itu masih tampak kosong. Aku tak berani lagi memasuki kamar itu. Ingatan tentang orang itu selalu melemahkan langkahku menuju kesana. Bahkan aku merasa aura kamar itu juga memancarkan aura orang itu. Membuatku tidak lagi merasa nyaman, maafkan aku..sepertinya aku tidak bisa menemuimu lagi disana.. Aku pun tak tahu kamu dimana…

“Bagaimana Pak, apakah sudah aman?” “ Sudah Bu, hantu itu sudah pergi dan tidak akan mengganggu Ramli lagi. Tampaknya ia suka dengan Ramli. Sebenarnya dia sudah ada lama disini. Barangkali itu yang menyebabkan Ramli sering berhalusinasi. Ia mencoba berkomunikasi dengan Ramli dan membuat Ramli melihatnya. Sebenarnya ia tidak bermaksud jahat, ia menganggap Ramli sebagai temannya.”

“Yah Pak, tidak bermaksud jahat tapi bikin anak saya ketakutan begitu sampai akhirnya banyak minum pil tidur biar tidak bisa lihat mahluk itu kan ya jahat juga namanya,” sang ibu menggerutu. “Tapi terima kasih sekali atas bantuannya ya Pak, semoga hantu itu bisa lebih tenang di alamnya sekarang.” Si Bapak hanya tersenyum dan mengangguk-angguk. Diterimanya secarik amplop yang diserahkan ibu tersebut sebagai tanda terima kasih, lalu bergegas keluar rumah menuju tempat tinggalnya.

Asap dupa mengepul dari dalam rumah terpencil itu, tampak sosok pengusir hantu itu duduk merapal mantra. Bayangan halus jiwa tak beraga sekelebat disebelahnya menghilang. Jiwa itu tiba di sudut sebuah rumah lain, menunggu waktunya sang dalang merapalnya keluar dari rumah baru ini. Yah..ia hanyalah pembantu dukun itu untuk menakut-nakuti orang lain. Sehingga sang dukun punya penghasilan dari jasa pengusiran dirinya. Manusia memang aneh, tapi mahluk halus itu tak ambil pusing. Selama kembang setaman dan harum dupa dapat diterimanya rutin, ia tak keberatan.

Sanur, 31 Maret 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun