Mohon tunggu...
Artini Trisetiati
Artini Trisetiati Mohon Tunggu... -

punya tiga peran: anak, istri dan ibu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Firasat

23 Maret 2015   10:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:14 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cepat pulang..cepat kembali jangan pergi lagi..

Firasatku ingin kau tuk cepat pulang…

Lantunan suara khas Marcel menggelitik telinga Neo. “Ugh..itu perasaan yang kurasakan sekarang,” keluh Neo dalam hati. Beberapa hari ini ia selalu berdebar lebih kencang ketika menatap Nero yang bersiap berangkat. Rasanya ia ingin selalu menemani Nero kemana pun ia pergi. Begitu pula ketika ia menatap Nuni dan Nuna, kembaran mungilnya yang sudah mulai beranjak remaja.

Tik..tok..tik..tok..tik…

Ah, sudah hampir tengah malam Nero belum juga kembali. Diambilnya tasbih diatas lemari dan mulai berkhusyuk dalam doa. Tak terasa keringat mengalir dari dahinya membasahi anak-anak rambutnya yang ikal. Neo terlarut dalam kesedihan yang tak terkata. Padahal sudah biasa Nero pulang larut malam, namun ia kembali teringat akan lagu Marcel yang didengarnya tadi pagi. “Tuhan..jangan sekarang kau ambil dia, anak kami masih membutuhkan mas Nero”, rintih Neo pelan dalam hati. Tiba—tiba di kejauhan ia dengar suara derungan mobil jimny lawas milik Nero. Rasanya bagaikan melayang, Neo segera berlari menuju pagar rumah untuk membukakan pintu.

“Kok belum tidur?” Nero bertanya keheranan. Ia tahu kebiasaan istrinya yang akan terlelap bersama dua anak mereka saat menemani mereka tidur. “ Ah nggak lah, kan nunggu mas. Siapa tahu dibawain oleh-oleh,” canda Neo sambil tersenyum manja. “Huu.. oleh-oleh terus. Maceeett yang ada,” sahut Nero sambil mengacak rambut Neo. Kebiasaan yang tidak pernah hilang sejak dulu jika ia merasa gemas. Entahlah, beberapa hari ini Nero merasakan rasa sayang yang sangat seperti kembali ketika mereka pengantin baru.

Kriiiinnnggg…!!!!

Alarm di kamar Nuni dan Nuna berteriak kencang seakan khawatir pemiliknya tidak bangun. Dengan malas Nuni menekan bel untuk menghentikan alarm tersebut berteriak lagi. “Huaaaahhhh….” Sambil mengulet Nuni mendorong Nuna yang ada di sebelahnya. Kembarannya satu ini memang lebih pelor darinya. “Ayo bangun Na, jangan sampai telat lagi,” ujar Nuni masih dengan suara yang serak. Nuna hanya bergerak sedikit, mengambil guling dan berbalik arah. “Ayoooo Naaa….” Sekaran suara Nuni sudah lebih tinggi dan jelas. Nuna mengulet namun masih dengan mata terpejam,” jam berapa sih ini, ribut banget ah”. “Jam lima tauuu… Ayo ah, biar gak diburu-buru si mami lagi,” ujar Nuni sambil menarik selimut Nuna. “Iyeeeee..” Nuna menjawab sambil masih memejamkan matanya. “Ayoooo…” kali ini suara Nuni naik tiga oktaf sekaligus, dan usahanya kali ini tidak sia-sia. Nuna membelalakkan matanya yang bulat seketika. “Brisiiikkk aah,” sambil menggerutu Nuna duduk dan bersiap turun dari tempat tidurnya.

Usai mandi, Nuni dan Nuna turun ke ruang makan untuk menikmati sarapan yang sudah disediakan Neo. “Tumben banget nih anak-anak mami dah pada cantik”, Neo tersenyum sambil menuangkan susu murni ke gelas di meja makan. “Iya dong miiihh..kan anaknya mami, pasti cantik lah,” Nuna menyaut sambil memasukkan secuil roti gambang kesukaannya. “Mami juga cantik amat sih, apa ada meeting ya pagi-pagi,” sela Nuni. “Ya masak ke kantor lecek sih deekk…, gak ada uang receh nih pagi-pagi,” canda Neo menimpali. Dalam hatinya berdesir rasa yang tak bisa dijelaskan. Rasanya ia ingin memeluk dua gadisnya sampai lama.

“Nah gitu dong, dua-duanya sudah siap. Biar papa nggak ngebut supaya kalian tidak telat,” Nero menimpali percakapan itu. “Ah pagi ini mami kalian memang cantik sekali ya,” goda Nero kemudian. “Deuuhh..bisa aja nih si papa. Tenaang..nanti sore mami bikinin tempe cabe ijo kesukaan papa deh.” “Yaaa…masak tempe cabe ijo aja sih,” Nero berpura-pura ngambek. Dalam hatinya ia sendiri berdesir, karena dilihatnya Neo tampak cantik seperti yang ia lihat pertama kali.

Entahlah akhir-akhir ini Nero sering melihat istrinya termenung. Lebih pendiam lagi dari biasanya yang memang sudah pendiam. Lebih sering mengurung diri dan berdoa. Barangkali itu yang membuat Neo terlihat lebih cantik, ketenangan batinnya mungkin, bisik Nero dalam hati.

Jarum jam menunjukkan jam tujuh. Nero bergegas mengajak Nuni dan Nuna untuk naik ke mobil. Dua puluh menit perjalanan menuju sekolah kembar cantiknya cukuplah, sebelum ia menuju lokasi kerjanya. Begini enaknya tinggal di luar pulau Jawa. Tidak jadi tua di jalan akibat macet. Hanya pada waktu libur sekolah jalanan macet akibat banyaknya wisatawan dari luar pulau. Hanya saja akhir-akhir ini arah dari tempatnya bekerja memang sering macet karena sedang ada pembangunan jalan akses baru. Hal itu yang menyebabkan ia selalu pulang hingga larut.

Dag..dig..dug…

Neo mengunci pintu rumahnya dan bersiap mengemudikan mobil mungilnya. Hatinya semakin gelisah, ia terus memikirkan Nero, Nuni dan Nuna. Ditariknya napas panjang dan menyebut nama sang Khalik. Diserahkannya mereka semua dalam perlindunganNya. Tak sadar setitik air mata meleleh diujung matanya. Kalau bisa, ia tidak ingin berpisah dengan mereka semua. Namun bila itu kehendakNya ia tidak bisa berpaling. Hanya itu ungkapan hatinya. Firasat hatinya semakin kuat, Neo semakin lunglai. Harapannya agar ia sungguh siap jika waktu itu tiba bagi permata-permatanya. Apalagi dilihatnya hari ini Neo lebih kencang mengemudikan mobilnya.

I have died everyday waiting for you
Darling don’t be afraid I have loved you
For a thousand years
I love you for a thousand more

Christina Perri bersenandung memanggil Nero untuk melirik layar ponselnya. Tanpa melihat ia sebenarnya sudah tahu dari nada deringnya, bahwa itu adalah panggilan dari istrinya. Segera diterimanya, seolah ada hentakan yang menyuruhnya segera menerima panggilan itu. “Ya say….”hanya itu yang terdengar lalu sunyi….

Tes..tes..tes..tes…

Gerimis halus mengiringi desir angin berhembus. Seakan ikut menangis bersama Nero, Nuni dan Nuna. Sementara liang lahat masih basah bertabur bunga membatasi raga mereka dengan Neo. Mami yang manis, istri yang cantik kembali sudah pada penciptaNya. Saling berpelukan mereka bertiga, berharap ada Neo diantara mereka. Deringan telephone yang diterima Nero terakhir kali hanya kabar dari kantor polisi, bahwa mereka menemukan Neo diam duduk di dalam mobil di tengah lalu lintasyang padat. Ketika mobil dibuka paksa Neo sudah meninggal. Entahlah, kata orang penyebabnya angin duduk yang mengambil jiwa Neo. Namun Nero merasa, memang Neo sudah siap untuk saat itu.

Angin berhembus halus, sehalus jiwa yang pergi mengelus mereka bertiga yang berpelukan. Seakan berucap selamat tinggal…

And all along I believed I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I love you for a thousand more

Sanur, 23 Maret 2015

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun