Mohon tunggu...
trimanto ngaderi
trimanto ngaderi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Pendamping Sosial diKementerian Sosial RI;

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemerdekaan Jiwa

31 Agustus 2021   12:36 Diperbarui: 31 Agustus 2021   12:56 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Kita sudah merdeka secara fisik selama 76 tahun. Tidak ada lagi bangsa penjajah yang masih bercokol di bumi Nusantara. Mereka semua sudah meninggalkan bumi jajahan dan kembali ke negeri mereka masing-masing. Sepertinya, tak satupun bangsa di dunia ini yang masih terjajah secara fisik, kecuali bangsa Palestina.

Akan tetapi, sekarang ini muncul penjajahan model baru. Bangsa penjajah tak perlu lagi mengarungi samudera berbulan-bulan lamanya untuk dapat menginjakkan kaki di bumi jajahan. 

Penjajahan ini secara halus dan tidak kentara, yaitu penjajahan dalam bidang ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dll. Biarlah bangsa yang dijajah merdeka secara fisik, namun secara ekonomi atau politik mereka harus tergantung atau bahkan tunduk patuh kepada negara adikuasa.

Selain merdeka secara fisik, setiap manusia membutuhkan merdeka secara jiwa. Jika untuk meraih kemerdekaan secara fisik, kita bisa berjuang bersama untuk mengusir penjajah. Sedangkan untuk meraih kemerdekaan jiwa, manusia harus berjuang secara individu untuk mencapainya. Tidak seorang pun yang dapat membantu kita, karena kita sendirilah yang tahu tentang jiwa kita. Orang lain hanya sekedar menunjukkan jalan atau caranya saja.

Jiwa yang merdeka adalah jiwa yang terbebas dari hal-hal yang bisa menghalanginya untuk mendekat atau bertemu dengan Sang Pencipta. Oleh karena itu, kita harus membuang penghalang-penghalang itu dari diri kita.

Kemelekatan

Penghalang pertama adalah kemelekatan terhadap sesuatu (harta-benda, seseorang, kedudukan, jabatan, status sosial, dll). Jika hal itu masih melekat dalam jiwa kita atau bahkan memenuhi jiwa kita, bagaimana mungkin kita akan bisa mendekat kepada Tuhan. 

Apalagi jika kita menganggap bahwa yang kita miliki itu bersifat kekal. Padahal semua itu hanya sebagai sarana (alat), bukan tujuan hidup itu sendiri. Ketika  kita mati nanti, semua yang kita miliki akan kita tinggalkan, yang kita bawa adalah jiwa yang merdeka.

Jiwa yang dilekati oleh hal-hal keduniaan akan mendatangkan penderitaan. Kita akan merasa sangat bersedih ketika kehilangan harta-benda, kita akan merasa depresi ketika kehilangan seseorang yang dicintai, kita akan merasa frustasi ketika kehilangan jabatan atau kedudukan, dan seterusnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun