Mohon tunggu...
Tri Junarso
Tri Junarso Mohon Tunggu... Self-employed -

(1) Consultant (2) Books Writer: Corporate Governance; 7th Principle of Success; Leadership Greatness; Effective Leader; HR Leader - www.amazon.com/s?ie=UTF8&page=1&rh... (3) Software Developer (4) Assessor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Operasi Militer di Aceh Cukuplah

1 Agustus 2014   17:01 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:41 3947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemberontakan dan separatisme mengiringi sejarah lahir dan tegaknya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Dalam sejarahnya pula, Aceh terancam perang dari tahun 1350, setelah Gajahmada diangkat menjadi mahapatih kerajaan Majapahit (1331), yang terkenal dengan sumpah Palapanya – untuk menyatukan wilayah Nusantara, sampai pada perhentiannya tanggal 26 Desember 2004, saat gempa bumi besar menyebabkan tsunami yang melanda sebagian besar pesisir barat Aceh, termasuk Banda Aceh, dan menewaskan 170.000 (seratus tujuh puluh ribu) jiwa di Aceh saja dan lebih 230.000 orang di 14 negara. Gelombang tsunami yang puncak tertingginya mencapai 30 m (98 kaki) dan merupakan salah satu bencana alam paling mematikan sepanjang sejarah, menyambung sejarah gempa sebelumnya, yakni gempa bumi besar Chili 1960 (9,5) dan dan gempa bumi Jumat Baik 1964 di Prince William Sound (9,2), di Kamchatka, Rusia, tanggal 4 November 1952 (kekuatan 9.0) dan Tōhoku, Jepang, bulan Maret 2011 (kekuatan 9,0).

Dengan kekuatan Mw 9,1–9,3, gempa ini merupakan yang terbesar ketiga dan memiliki durasi terlama sepanjang sejarah, sekitar 8,3 sampai 10 menit. Hiposentrum gempa utamanya kira-kira terletak di Samudra Hindia, 160 km (100 mil) di sebelah utara pulau Simeulue, pada kedalaman 30 km (19 mil) di bawah permukaan laut dan mematahkan ‘megathrust' Sunda sepanjang 1.300 km (810 mil). Gempa tersebut mengakibatkan seluruh planet Bumi bergetar 1 sentimeter dan menciptakan beberapa gempa lainnya sampai wilayah Alaska.

Peristiwa dahyat ini mengundang simpati masyarakat dunia untuk menyumbang lebih dari US$14 miliar di tahun 2004 saja, sebagai bantuan kemanusiaan. (Wiki)

Secara kebetulan pada saat terjadi gempa bumi dan tsunami Aceh, di Jakarta sedang diadakan acara halal bi halal masyarakat Aceh pasca menyambut lebaran Idul Fitri. Jusuf Kalla, kala itu Wakil Presidennya SBY, yang hadir mengatakan,” Aceh dalam musibah besar, saya baru dapat kabar terjadi gempa bumi di Aceh, banyak bangunan rusak semoga tidak lebih parah dari gempa Papua sebesar 6,4 SR.” Sebelum itu, gempa sebesar 6,4 SR mengguncang Nabire, Papua, tercatat 30 orang tewas.

"Nggak ada yang berani teken untuk menandatangani (menguburkan korban secara massal seperti ini). Mereka mati syahid tanpa harus dimandikan dan dikafanin. Cuma saya yang berani," cerita JK di Aceh, Kamis tanggal 5 Juni 2014.

Tersebutlah di tahun 1948, Soekarno menemui Daud Beureueh di Aceh. Tatkala itu Presiden minta rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 itu. Di situ, Bung Karno, begitu panggilan akrabnya, bersumpah bahwa daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam.

Langkah di atas dilakukan Soekarno untuk menindaklanjuti perjanjian Roem Royen 7 Mei 1949, dimana PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) menyerahkan kembali kepemimpinannya ke Jogjakarta, namun Aceh tidak termasuk ke dalam bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS)

Setahun kemudian, tahun 1949, Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.

Semut diinjak marah dan menebarkan racun lewat gigitannya. Begitu pula anjing, jika terdesak akan menggigit juga akhirnya.

Perpecahan dimulai tanggal 20 September 1954, saat Hasan Tiro, salah seorang mahasiswa Aceh yang mendapat beasiswa dari pemerintah RI, untuk melanjutkan kuliah di Amerika, mengancam membuka di PBB dan negara-negara lain, tentang tindak kekerasan Pemerintah Indonesia, yang pada saat itu dipimpin PM (Perdana Menteri) Ali Sastroamidjojo, dan yang dinilainya telah melakukan pelanggaran HAM di Aceh. Selain itu, dia juga mengkhawatirkan kemajuan komunisme di Indonesia.

Setelah usaha secara politik dia tidak menunjukkan arti, secara  diam-diam Hasan Tiro kembali ke Aceh. Dan pada 4 Desember 1976, di Gunung Halimun, di kota Pidie, ia mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang bermaksud memerdekakan Aceh dari Republik Indonesia. Hasan Tiro akhirnya terdesak, dan keluar dari Aceh serta mendirikan pemerintahan GAM di luar negeri (Swedia).

Tentang (Teungku Abu) Daud Beureueh kemudian dilumpuhkan secara sistematis oleh Pemerintah Orde Baru. Ia akhirnya meninggal pada tahun 1987 dalam keadaan buta. Mengikuti Soekarno yang telah meninggal terlebih dahulu tanggal 21 Juni 1970, yang juga menjadi ‘korban’ Orde Baru yang sedang memerintah (secara otoriter) pada saat itu.

‘Panasnya’ Aceh kembali ditandai dengan catatan sejarah ekonomi Indonesia, ketika ditemukan ladang gas dan minyak di Lhok Seumawe, ibu kota Aceh Utara, tahun 1970-an, wilayah ini segera disulap menjadi kawasan industri petro-kimia modern. Di sini beroperasi PT Exxon Mobil Oil Indonesia (EMOI) yang mengolah gas alam cair melalui kilang PT Arun Natural Gas Liquifaction (NGL) Co. Juga terdapat pabrik Pupuk Iskandar Muda (PT PIM), serta pabrik Pupuk Asean (PT AAF).

Logisnya, penduduk setempat akan terkena efek penyebaran kemakmuran. Namun yang terjadi, Aceh Utara justru tergolong desa tertinggal. Di balik kemewahan perumahan eksklusif karyawan industri-industri petro-kimia, banyak keluarga di wilayah ini tergolong prasejahtera, mencapai rekor tertinggi di antara kabupaten dan kota di Provinsi Aceh. Sehingga memunculkan kecemburuan sosial dan ketidakpuasan.

Kegerahan Aceh, mengundang operasi militer di daerah itu tahun 1990-1998 (disebut Operasi Jaring Merah), yang merupakan operasi kontra-pemberontakan, melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), dimana TNI (Tentara Nasional Indonesia) diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi itu disebut sebagai penumpasan separatis paling kotor di Indonesia.Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan menewaskan antara 9.000-12.000 orang.

BJ. Habibie, presiden RI kala itu, pada tanggal 22 Agustus 1998 menghentikan DOM Aceh, setelah jatuhnya Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.

Sumber konflik ternyata bukan hanya berasal dari lingkungan rakyat Aceh dan GAM. Disinyalir oknum TNI dan Polri ikut bermain di situ mengambil keuntungan. Jadi sebenarnya, mereka juga mengalami ‘pembusukan' dari dalam, jika tidak boleh disebut menusuk dari belakang punggung sesama anggota korps dan bangsa Indonesia.

Ceritanya, akhir Agustus 1998, sekonyong-konyong setelah upacara penarikan tentara non-organik dari Aceh itu, terjadi kerusuhan yang hebat di Lhokseumawe. Banyak orang percaya, terutama rakyat Aceh, bahwa kerusuhan itu dipicu oleh kegamangan pasukan non-organik tersebut saat ditarik mundur. Dengan meninggalkan wilayah ini, mereka kehilangan income dari KTP (ID Card), bisnis gelap kayu gelondongan dan ganja.

Memang jadi aneh, jika dalam satu negeri diterapkann 2 (dua) macam KTP (Kartu Tanda Penduduk), yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia dan GAM. Apalagi berlaku 'screening' ras Jawa (terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan non Jawa. Belum termasuk pengusiran berbau agama.

Berkaitan dengan operasi penggerebekan, beberapa pengiriman/penyelundupan kayu dan ganja yang diatur oleh oknum itu, seolah-olah berhasil digagalkan.

Akibat penarikan tentara itu pula, para perwiranya juga tidak bisa menarik lagi upeti dari berbagai industri dan perusahaan pertambangan yang melakukan usaha di sana.

Kisah perdamaian di Aceh dimulai pada 8 November 1999, yang dimotori oleh mahasiswa dan pemuda. Diperkirakan sekitar 1,5 juta rakyat Aceh tumpah-ruah di Mesjid Raya-Banda Aceh, mengikuti perhelatan kontroversi referendum dengan opsi otonomi khusus atau merdeka. Akhirnya, hiruk-pikuk ini mendorong Presiden Habibie membuat kemajuan selangkah dengan mengesahkan UU No. 44 Tahun 1999, tentang Keistimewaan Aceh.

Setelah ‘cooling down’ sejenak, Aceh dipanasi oleh peristiwa pembunuhan dan kekerasan lagi, baik oleh GAM maupun oleh TNI/Polri. Ini memicu terbitnya Inpres No. 4 yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid, Mei 2001. Maka operasi baru pun digelar dengan sandi ‘Operasi Pemulihan Keamanan dan Penegakan Hukum.’

Pada tanggal 28 April 2003, pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima otonomi khusus bagi Aceh. Pemimpin GAM yang berbasis di Swedia menolak ultimatum tersebut. Operasi Terpadu kembali dilancarkan pemerintah Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada tanggal 19 Mei 2003, dan berlangsung kira-kira satu tahun. Perintah tersebut diteken tanggal18 Mei 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memberikan izin operasi militer melawan GAM. Melalui 'dekrit' itu diperlakukanlah darurat militer di Aceh selama enam bulan, dan pemerintah menempatkan 30.000 tentara dan 12.000 polisi di Aceh.

GAM sendiri pernah mengklaim, jumlah personelnya 70 ribu. Di tengah-tengah anggota GAM sejumlah 490 ribu. Jumlah itu termasuk jumlah korban DOM 6.169 orang. Sementar sumber resmi Mabes TNI cuma menyebut sekitar enam ribu orang. Mantan Menhan Mahfud MD menyebut 4.869 personel. Dari jumlah itu, 804 di antaranya dididik di Libia dan 115 dilatih di Filipina oleh gerilyawan di provinsi Moro.

GAM melalui jaringannya di luar negeri mendapati pasokan senjata dan dana, setidak-tidaknya melalui gerakan separatis Pattani Thailand, Malaysia, gerakan Islam Moro Filipina, eks pejuang Kamboja, gerakan separatis Sikh India, gerakan Elan Tamil, dan Kazhakstan serta Libia dan Afghanistan. GAM sendiri juga membuat pabrik senjata.

Senjata-senjata GAM pun berasal dari dalam negeri, terutama Jakarta dan Bandung. Transaksi di pasar gelap senjata ini dilakukan oleh oknum TNI dan Polri. Bagi GAM, asal ada senjata, uang tidak masalah. Sebab, faktanya GAM memiliki sumber dana yang sangat besar. Jumlah pembelian ke oknum TNI/Polri ini bisa mencapai miliaran rupiah. Ini dibuktikan lewat sebuah penggerebekan tahun 2000 oleh Polda Metro Jaya yang menemukan kuitansi Rp 3 milyar untuk pembelian senjata GAM di pasar gelap dari oknum TNI.

GAM dengan senjatanya yang terdiri atas pistol, senapan, GLM, mortir, granat, pelontar granat, pelontar roket, RPG, dan bom rakitan, melakukan strategi perang gerilya dan 'hit and run.' Sama seperti dilakukan TNI pada saat perang gerilya melawan penjajah Belanda baheula. Jenis senapan mereka diantaranya AK-47, M-16, FN, Colt, dan SS-1. Apapun jenis senjata yang dimiliki TNI juga dimiliki GAM. Yang tak dimiliki GAM adalah senjata berat, kapal tempur dan pesawat tempur.

Pada saat itu, TNI konon tidak ‘diijinkan’ menggunakan senjata berat, kapal perang, pesawat tempur oleh Amerika, untuk menindas rakyat Aceh, yang juga bagian dari Bangsa Indonesia. Amerika karenanya melakukan embargo suku cadang pesawat tempur dan peralatan militer lainnya. Akibatnya sering terjadi pertempuran skala kecil saja dan penghadangan oleh kedua belah pihak yang bertikai itu.

Diperkirakan 2.000 orang terbunuh sejak Mei 2003. Panglima GAM Abdullah Syafi`i sendiri meninggal dalam penyerbuan pasukan Raider di pedalaman Aceh gampong Sukon Cubo, Pidie Jaya pada tanggal 24 Januari 2002.

Pada tanggal 15 Agustus 2005, setelah Aceh porak poranda oleh terjangan tsunami, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia akhirnya sepakat untuk menandatangani persetujuan damai dan sekaligus mengakhiri konflik antara kedua pihak yang telah berlangsung selama hampir 30 tahun. Perjanjian ini ditandatangani di Finlandia, dengan ditengahi oleh mantan presiden Finlandia, Marti Ahtisaari.

Jokowi-JK, dalam kampanye pilpres 2014, secara strategis, serta bersamaan, memilih Aceh, oleh JK, sebagai lokasi pertama memulai kampanye, dan Jokowi yang melakukan start kampanye di Papua. Sehingga elemen nusantara terbangun. Kedua-duanya merupakan daerah/provinsi yang dikenal sensitif untuk isu-isu politik dan perjuangan.

Cerita pilu tentang Aceh sedang dikubur dengan harapan baru dan pembangunan-pembangunan infrastruktur serta sumber daya manusia. Rakyat di sana dan elemen pemerintah tidak mudah terprovokasi oleh operasi tangan-tangan kotor untuk memanasi Aceh lagi.

Namun, di seberang sana, di ujung tanah air Indonesia, baru-baru ini, Senin tanggal 28 Juli 2014, dua orang polisi ditembak mati oleh anggota OPM (Organisasi Papua Merdeka), pada saat mereka sedang melakukan kegiatan bimbingan masyarakat di Kabupaten Lanny Jaya, Jayapura. Dengan demikian, Papua ‘panas’ lagi. karena akibat kejadian ini, mengundang reaksi tni/polri untuk melakukan operasi penertiban keamanan. Ujung-ujungnya, aparat keamanan Distrik Pirime, Kabupaten Lanny Jaya terlibat baku tembak dengan kelompok bersenjata itu tanggal 1 Agustus 2014, pukul 11 (sebelas) siang waktu setempat. Dalam peristiwa tersebut, konon 5 (lima) orang yang ditengarai sebagai anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) tewas dan 2 (dua) anggota TNI terluka.

Akankah bencana/gempa dahsyat mesti mendahului tercapainya akta perdamaian antara pemerintah RI dan OPM, mengikuti jejak pergolakan dan perdamaian di Aceh? Semoga tidak seperti itu. Perdamaian tentu bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan kehendak baik kedua belah pihak, pemerintah Indonesia dan OPM.

*) artikel lainnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun