Mohon tunggu...
Tri Junarso
Tri Junarso Mohon Tunggu... Self-employed -

(1) Consultant (2) Books Writer: Corporate Governance; 7th Principle of Success; Leadership Greatness; Effective Leader; HR Leader - www.amazon.com/s?ie=UTF8&page=1&rh... (3) Software Developer (4) Assessor

Selanjutnya

Tutup

Politik

Koalisi (Gerindra-PKS) Tanpa Prabowo

2 Agustus 2014   02:05 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:39 670
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tim hukum Prabowo-Hatta sedang berusaha keras untuk memenangkan gugatan atas keputusan KPU mengumumkan  Jokowi-JK sebagai presiden terpilih dalam pilpres 2014, tanggal 22 Juli 2014 itu. Gugatan ke MK (Mahkamah Konstitusi) ini akan disidangkan tanggal 6 Agustus 2014.

Melihat energi yang ada sekarang, banyak pihak yang terlibat dalam gugatan ini justru sedang bersinergi untuk melawan gugatan Prabowo itu. Mereka, baik KPU, Bawaslu, dan Jokowi-JK secara bersama-sama melakukan pembelaan atas sahnya rekapitulasi suara pilpres tersebut.

DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dan MK pun sudah bisa dirasakan ‘hembusannya,’ karena dalam kenyataannya, tanpa dilakukan sidang gugatanpun, pilpres 2014 telah berlangsung dengan lancar. Tidak ditemukan penyimpangan berarti, tidak terstruktur dan tidak masif.

Penulis menduga, hasil pilpres 2014 sengaja dibuat ‘status quo’ sebelum pengumuman hasil rekapitulasi KPU itu, sampai dengan setidak-tidaknya tujuan atau kepentingan timses Prabowo-Hatta tercapai. Kepentingan-kepentingan ini diantaranya adalah tetap duduknya Prabowo di dalam koalisi, karena dia menjadi pusat energi koalisi itu sendiri untuk tetap survive. Prabowolah faktor pemersatunya. Dengan adanya Prabowo di koalisi, maka seluruh elemen di dalamnya tunduk pada satu komando yakni dari Prabowo, atau seseorang yang mengatasnamakan Prabowo. Sehingga, tanpa dia, otomatis koalisi bubar dengan sendirinya, dan meninggalkan ‘tragedi’ untuk masing-masing anggota partai-partai di koalisi.

Timses Prabowo berharap sekalipun gagal memenangkan gugatan di MK, mereka akan melanjutkan gugatan-gugatan berikutnya untuk KPU dan Bawaslu, yang berpindah ke unsur pidana, seperti membuka kotak suara, gagal menindaklanjuti laporan pelanggaran, dan lain-lain. Merekapun akan minta dibentuk Pansus Pilpres 2014 saat sidang Paripurna DPR pada 15 Agustus 2014.

Pada posisi ini. timses/timkum Prabowo tampaknya menggunakan aji (ilmu) pokoke (asal). Yakni asal tidak dinyatakan kalah pilpres 2014. Jika kalah, maka maju ke MK, pengadilan, dan pansus DPR, serta cara-cara lain, supaya jadwal pelantikan presiden baru diundur atau pilpres diulang. Namun, apakah Prabowo mau mengikuti arahan timsesnya lebih lanjut?

Prabowo, memulai karirnya sebagai seorang militer. Setelah lepas dari Kostrad ia berpindah profesi sebagai pengusaha, mengikuti jejak adiknya, Hashim Djojohadikusumo. Karena kecerdasannya, ia mampu melampaui adiknya sebagai pengusaha sukses. Dari sini, ia melanjutkan peruntungannya di bidang politik.

Mula-mula Prabowo maju sebagai kandidat dalam konvensi Golkar untuk menjaring calon presiden dalam pilpres 2004. Ia kurang beruntung, karena dikalahkan oleh rivalnya, Wiranto. Selanjutnya, ia mendirikan partai Gerindra (Gerakan Indonesia Raya), tanggal 6 Februari 2008, dan maju sebagai cawapres bersama capres Megawati Soekarnoputri. Ia kembali menelan kekalahan dari capres/cawapres SBY-Boediono. Kekalahan inipun belum terhenti, karena diikuti kekalahan terakhirnya oleh capres/cawapres Jokowi-JK, dalam pilpres 2014 baru lalu, dimana dalam pemilu ini ia menggandeng Hatta Rajasa, mantan Menko Perekonomian, di kabinet Indonesia Bersatu Jilid II pimpinan SBY.

Kekalahan terakhirnya dari Jokowi memang menyakitkan, karena Jokowi relatif masih yunior dalam peta politik nasional, ditambah jabatannya ‘cuma’ seorang gubernur. Ia sudah mempersiapkan diri untuk maju sebagai calon presiden setidak-tidaknya dari tahun 2003. Tujuan jangka menengahnya supaya ia terpilih sebagai presiden dalam pilpres 2014 itu.

Dari segala unsur, Prabowo tentu berhak optimis menang. Ia seorang pengusaha dengan kekayaan 1,3 trliun rupian, yang sebelumnya bertengger di angka 1,5 triliun rupiah. Hutang-hutangnya sangat kecil, atau istilahnya ‘relatively peanut.’ Sementara Jokowi bermodalkan sepatu ket, baju kotak-kotak, dan harta sebanyak 29 miliar rupiah, ditambah sumbangan dari pendukungnya sebesar 312 miliar rupiah.

Secara intelektual Prabowo berada di atas awang-awang, selalu berprestasi, dan anak seorang profesor. Sebaliknya rivalnya, Jokowi, baik pendidikan dasar, menengah maupun tinggi, tergolong biasa-biasa saja. Apalagi, ia anak seorang tukang kayu yang ‘tidak sukses.’

Sebagai tentara, Prabowo sukses menjadi komandan pasukan khusus, apalagi disebut paling muda kala itu, dan menghadapi medan tempur sangat sulit seperti Timor Timur (Timor Leste). Di sisi lawannya, seorang Jokowi, setelah lulus dari Fakultas Kehutanan UGM, merantau menjadi pegawai biasa, sebelum memulai usaha sendiri di bidang furniture.

Tentu saja, kedua-duanya pernah gagal dalam karir maupun politik. Prabowo sampai sekarang gagal jadi presiden dan ‘batal’ mengkudeta presiden. Jokowi, awal mulanya ditolak oleh partai-partai, sebelum ‘ditampung’ oleh PDIP DPD II Solo.

Setelah gagal dalam pilpres 2014 ini, ditambah gagal dalam memenangkan gugatannya di MK, penulis menengarai Prabowo akan legowo, dan berhenti melanjutkan karir politiknya. Karena pilpres 2019 bukan target karirnya dalam berpolitik. Selain itu, dia sudah beranjak tua dan mulai dijahui pemilih muda. Dibalik itu, tahun 2019 adalah tahunnya Jokowi untuk terpilih sebagai presiden periode kedua, jika tidak ada aral melintang yang berarti. Karena dari pengamatan sekarangpun, amat susah bagi Prabowo untuk menandingi Jokowi pada lima tahun mendatang.

Menurut penulis, gugatan ke MK adalah ‘akal-akalan’ dari oknum di dalam partai-partai koalisinya Prabowo. Masyarakat telah dibukakan matanya bahwa gugatan-gugatan tersebut banyak kejanggalannya, baik salah ketik, salah hitung dan kesalahan lainnya. Tetapi tim hukum Prabowo-Hatta tidak merasa ‘berdosa,’ malah ditanggapinya enteng saja. Padahal kita tahu, dalam hukum, segala sesuatu mesti benar, jika tidak ingin gagal sebelum bertanding. Mereka berharap 7-8 Agustus 2014 masih punya kesempatan melakukan revisi, sekalipun muka Prabowo coreng-moreng akibat ditelanjangi di MK nanti, karena kesalahan-kesalahan itu.

Gugatan tersebut, mungkin merupakan taktik untuk mengulur waktu terhadap ‘kehancuran.’ Pertama, Ical-Akbar berharap pengurus Golkar dan para pembelot sibuk ‘perang urat syaraf di MK,’ sehingga mengabaikan munas September 2014, yang menjadi ajang untuk memilih ketua umum baru. Munas ini dipaksa untuk dilakukan pada Januari 2015, dimana Ical sudah selesai ‘menggarap’ para pembelot, menyiapkan kandidat ketua umum baru pilihannya, serta menyelamatkan ‘aset dan harga saham’ perusahaan-perusahaannya sebelum lengser sebagai ketua umum Golkar.

Disinyalir Ical sedang menghadang Agung dengan mengusung Airlangga Hartarto. Sekretaris Jenderal Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong 1957. Dimana Agung adalah ketua organisasi ini. Taktik ini untuk memecah suara Agung di Kosgoro 1957.

Di tempat lain, PKS mempergunakan ‘perpanjangan waktunya’ untuk menghindari ‘pengadilan’ dari rekannya di Timur Tengah, terutama Ikhwanul Muslimin, atas pertanggungjawaban ‘pemakaian dana mereka’ dan kegagalan memperoleh suara, kursi DPR dan kursi kabinet.


Sekjen partai NasDem, Rio Capela Jumat 22 Agustus 2014, menyatakan jika Demokrat dan PAN sudah menjalin komunikasi. Setidaknya ada 4 partai dari koalisi Merah Putih yang melakukan komunikasi dengan kubu Jokowi-JK. Selain dua partai di atas, komunikasi sedang dijalin intens dengan PPP dan Golkar.

Prabowo tampaknya akan memilih hidup tenang setelah semua proses ini berakhir. Mungkin saja ia akan rujuk dan menikahi Titiek Soeharto kembali, serta membesarkan anaknya dan mengasuh cucu-cucunya kelak di kemudian hari. Rumah tangganya akan langgeng jika dia kembali menjaga kehormatan nama Soeharto, mertuanya, dan tidak terlalu berkiblat ke Soekarno.

Kepemimpinan dan manajemen Partai Gerindra akan lowong jadinya, karena ditinggalkannya. Kita bisa membayangkan dari saat sekarang, bagaimana nasib Gerindra kelak tanpa Prabowo.

Menyisihnya Prabowo dari percaturan politik nasional nanti, juga akan menyisakan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) berjalan tanpa kongsi potensial lagi. Karena mereka tidak bisa berharap banyak dari anggota koalisi semacam Partai Demokrat, Partai Golkar, PAN, PPP dan PBB. Sekalipun masih tarik ulur, namun sudah hampir dipastikan mereka akan merapat ke Jokowi-JK.

Maka dari itu, tinggallah koalisi Gerindra-PKS berduaan di DPR.

*) artikel lainnya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun