Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (103): Junjung Derajat

4 November 2024   05:39 Diperbarui: 7 November 2024   20:23 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

Begitu pembantu dan cucunya meninggalkan lembah Gunung Pegat, Kyai Wotwesi mulai merasakan luka hatinya yang begitu pedih, melebihi luka-luka di tubuhnya. Pengkhianatan dan informasi palsu yang menjerumuskannya terasa menyakitkan. Putri yang sangat dicintainya gugur. Seluruh kekayaan, pengikut dan pasukan kademangan yang telah dirintis dengan susah payah telah hancur lebur.

"Maaf Mbah Kyai, apa yang harus kita lakukan sekarang?" Seorang anak buah memberanikan diri bertanya.

Kyai Wotwesi seolah baru siuman dari pingsan. Ia sadar bahwa sudah lama ia dalam keadaan berdiam diri. Akal pikirannya buntu. Kini serangan rasa lapar memaksanya untuk segera bertindak.

Saat itu lewat tengah malam. Lembah angker yang dihuni kerajaan jin, yang sebetulnya tidak pernah membiarkan manusia memasuki wilayah itu kecuali akan diusir atau diperangi sampai mati. Raja jin kali ini memerintahkan rakyatnya untuk tidak mengusik Kyai Wotwesi dan sebelas anak buahnya, karena tadi ia melihat seorang bocah yang memiliki bambu pusaka. Ya, pusaka Pring Kuning yang dihuni Baginda Mulut Bejat itu yang membuat mereka segan. Jutaan mata hanya mengawasi manusia-manusia itu dengan waspada.

Berabad-abad silam, Jawadwipa (Pulau Jawa) dikisahkan selalu dalam kondisi tidak stabil. Masyarakat selalu ketakutan karena mendapat gangguan dari kerajaan makhluk halus. Sang Prabu Galuh Purba pusing tujuh keliling, hingga akhirnya penasehat utamanya Ki Guru Slamet memberikan jalan keluar.

"Untuk saat ini, karena kita belum mampu mengalahkan bangsa jin, maka biarkan hamba menawarkan kerja sama dengan penguasa bangsa alus itu," demikian ide Guru Slamet. "Kita berikan tumbal-tumbal sebagaimana yang menjadi tuntutan mereka! Yang terpenting untuk sementara masyarakat tidak mendapat gangguan! Sementara itu hamba akan bertapa di puncak gunung, sampai mendapat petunjuk Sang Hyang bagaimana cara menaklukan mereka!"

Prabu dan para bangsawan istana sepakat dengan ide cemerlang itu. Mulailah Guru Slamet pergi untuk bertapa di puncak gunung. Kelak gunung tempatnya bertapa itu dinamai Gunung Slamet.

Setelah berhasil mendapatkan petunjuk, Guru Slamet mendatangi raja jin, lalu terjadi pertempuran dan ia berhasil menaklukannya. Raja jin yang tidak bisa mati itu telah dibuat cacat permanen. Tubuhnya penuh luka dan mulutnya hancur, sehingga kemudian mendapat julukan Baginda Mulut Bejat. Guru Slamet memenjarakan jin itu dalam sepotong bambu kuning 'Sambung Nyowo Junjung Drajad'.

Di kemudian hari, barangsiapa yang bisa menguasai ajian Kendit Buntel Mayit, maka dia bisa menguasai bambu pusaka itu. Nama ajian itu kemudian menjadi sangat tersohor di seluruh tanah Jawa, bahkan kemudian digunakan oleh para mpu untuk menamai pamor keris berkelas. Seluruh Kerajaan jin takut dengan penguasa pusaka Pring Kuning. Tapi setelah bocah pemilik bambu pusaka itu pergi, lain lagi ceritanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun