Mohon tunggu...
krisnaldo Triguswinri
krisnaldo Triguswinri Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Lahir di Jambi, Sumatra, pada 24 Oktober 1996. Menempuh pendidikan pascasarjana di Daparteman Administrasi Publik, Universitas Diponegoro, Semarang. Memiliki ketertarikan pada bidang kajian filsafat politik, kebijakan publik, ekonomi-politik, feminisme, dan gerakan sosial. Mengagumi para pemikir The New Left: dari Alain Badiou, Michel Foucault hingga Slavoj Zizek.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gejala Dilirium Marxisme

6 April 2019   04:27 Diperbarui: 6 April 2019   04:34 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bila kita seorang marxist yang hardcore, maka biarkanlah kapitalisme itu menjadi absolut dan rutuh dengan sendirinya. sebab perjuangan kelas itu adalah akibat deterministik dari hukum akumulasi.

Dilirium merupakan pleonasi untuk menerangkan keadaan bingung akut yang disebabkan secara organis penurunan fungsi mental seseorang. Gejala ini mengandaikan ragam tingkat keparahan penyakit yang disesuaikan oleh permasalahan yang sedang berlangsung. Biasanya gejala dilirium ini terlihat melalui disorganisasi prilaku, defisit kognitif, perubahan gairah, serta fitur psikotik, seperti halusinasi dan delusi.

Seperti dilirium, tubuh biologis para sosialis mengalami gejala disorganisasi, defisit metodelogi, penurunan gairah pengorginisiran, ilutif dan delutif. Para sosialis masih terjebak pada utopia lingkar diskusi, eksklusifitas struktural, fragmentasi ideologis dan perdebatan agenda politik progresif  oleh sebagian organ kiri yang masih berjarak dengan realitas.

Membesarnya kelompok politik oligarki yang disponsori oleh bisnis multinasional, memberi sinyal tibanya kekuatan modal, privatisasi kekayaan, dan politik kartel yang diinvestasikan melalui pertumbuhan demokratisasi. Konsekuensinya, penggusuran dan perampasan ruang hidup masif terjadi demi bisnis dibidang ekstraktif, akumulasi private property oleh para pemodal, dan hegemoni kepentingan elektoral elite, yang bukan kepentingan rakyat berdampak pada dipersempitnya ruang politik demokrasi deliberatif warga negara.

Baca Juga: Seorang Sosialis Sjahririan Bicara PKI

Di Venezuela, pada masa kepemimpinan Presiden Hugo Chavez, berhasil mentrasformasikan desain politik oligarkis menjadi suatu kekuatan terorganisir yang berbasis konstruksi akar teoritis sosialisme. Chavez membawa Venezuela menuju sosialisme yang dibangun melalui trajektori politik populisme, tentu dengan dilengkapinya penggunaan fasilitas metodelogi marxian yang mendalam.

Pengertian politik populisme diinspirasi oleh teoritisi Marxis asal Argentina Ernesto Laclau dalam karyanya Politics and Ideology in Marxist Theory. Ia membahas terminologi populisme dalam kerangka analisis Marxis Gramscian. Melalui pendekatan analisis diskursus, Laclau memahami populisme sebagai gerakan politik multi-kelas dan supra-kelas yang hadir dalam momen politik rapuhnya hegemonik kekuatan politik dominan sehingga memberi peluang munculnya struktur kesempatan politik baru bagi gerakan politik akar rumput yang dipimpin oleh pemimpin kharismatik untuk mengartikulasikan wacana radikal anti-oligarki.

kondisi kita saat ini ditandai oleh keadaan spesifik oligarkis yang dipenuhi keterancaman, terasing, jenuh, dan tanpa arti. Banyak intelektual maupun aktivis kiri sarat akan perasaan absurditas, kebosanan, muak, dan tanpa arti. Sialnya, kalangan kiri yang tak tahan menahan ketertekanan justru keluar dan memutuskan diri berpihak pada politik kekuasaan oligarkis.

Baca Juga: Sosialisme sebagai Etika

Ide menyoal determinisme politik sosialisme lenyap bersamaan dengan hilangnya keyakinan akan kepemilikan bersama. Hilangnya upaya untuk memperjuangkan pengorganisasian pola produksi melalui kuasa negara demi kesetaraan dan penghapusan kemiskinan. Hilangnya harapan tentang pendistribusian keadilan yang maksimal pada sektor ekonomi rakyat demi tercapainya kesamaan kelas, harmonisasi, dan kasih sayang. Serta abainya ontologi sosial: tatanan masyarakat yang etis.

Sebaliknya. Pembiaran terhadap penguasaan alat produksi dalam kuantitas besar oleh segelintiran orang yang juga disponsori oleh negara. Penghisapan para pekerja melalui kolaborasi pemodal dan stakeholder. Semakin berjaraknya klasifikasi vertikal kelas sosial dan membesarnya kondisi injustice akibat antagonisme kelas. Abainya kontrol pemerintah terhadap faktor produksi kapitalisme yang agresif. Berpindahnya supremasi politik negara ke supremasi politik kartel aktor non-negara. Meluasnya kompetisi demi surplus value, menyempitnya nilai dasar kegunaan mekanisme produksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun