''Bilang ke Dilan, yang berat itu kesepian di bioskop karena sendiri, bukan rindu. Kamu nggak akan kuat, aku juga.''
Sebelum selesai berdamai dan sepakat berangkat ke bioskop untuk menyaksikan film populer pekan ini: Dilan 1990. Saya musti berselisih terlebih dahulu dengan hipotesis yang  bersarang dalam kerangka kepala. banyak di antara teman-teman yang menunjukan kegelisahannya, termasuk saya, karena penokohan utama Dilan diisi oleh Iqbal Ramadhan, atau yang lebih akrab, Iqbal Cjr (Coboy Junior).
Sinisme terhadap Cjr yang Boy Band berdampak pada cara pandang saya melihat film Dilan yang dibintangi oleh Iqbal dengan sangat ketakutan: alay, lebay, menye-menye dan membosankan. Atau ketakutan lainnya, tidak mendapati cerita film relevan dengan naskah novel yang asli.
Saya berupaya menghancurkan tuduhan tersebut dengan sebuah memoar lirih, bahwa film yang diadopsi dari novel karya Pidi Baiq ini merupakan bacaan wajib jaman old school yang sarat menemani kekonyolan, kenakalan, sampai pada kedunguan masa ugal-ugalan anak SMA. Pun, yang dipenuh adegan dramatis jatuh cinta dan patah hati, atau jika meminjam istilah Rhoma Irama: darah muda. Jaman di mana gelora api asmara urung padam jika urung membakar.
Seperti pembaca garis keras Pidi Baiq, saya memutuskan menjadi pengikut Dilan yang radikal pasca keluar sendirian dari ruang bioskop. Kendati sadar saya adalah jomblo yang hendak menyembunyikan identitas dengan ragam peristilahan yang rasional menyoal status agar tak tampak menyedihkan. saya justru terjebak dalam ke-baper-an kronis yang menyadarkan, jomblo adalah jomblo.
Oleh karena itu, untuk membatlkan cara pandang saya terhadap film ini, Saya langsung memposisikan Iqbal sebagai Dilan, dan bukan Iqbal sebgai Cjr. Sebab, Iqbal berhasil mematahkan hipotesis brutal saya: ia mampu berperan baik dan mengagumkan.
''Bilang ke Dilan, yang berat itu kesepian di bioskop karena sendiri, bukan rindu. Kamu nggak akan kuat, aku juga.''
Perasaan saya diolok-olok oleh maraknya sarkasme populer warga net tentang film yang, misalnya, memproduksi meme: ''jangan nonton sendiri, berat, kamu nggak akan kuat'', Â adalah benar. Sebab, dialog demi dialog yang kian menit kian manis, merupakan pertanda agung untuk merayakan percintaan mereka yang datang bersama sang terkasih.
Dinginnya suhu ruangan, jernihnya mata Milea, dan rayuan Dilan yang mematikan, memberi isyarat pada penonton untuk menggunakan momentum dengan baik: bermesraan, berciuman.
Sedangkan bagi para jomblo, panasnya suhu ruangan, kesederhanaan dan indah senyum Milea, serta heroiknya Dilan sebagai anak laki-laki, memberikan rasa sunyi dan kedukaan ysng amat mendalam: gusar.
Melalui dialog serupa Romeo dan Juliet, Dilan dan Milea, berhasil mengaktifkan cinta kasih para penonton seraya melempar pesan agar istiqomah merawat harmonis hubungan percintaan. Selain itu, film ini berupaya mendistribusikan sinyal dukungan agar para jomblo lekas terbebas dari kesendirian, dari pesakitan.