Mohon tunggu...
tri endah anggraeni
tri endah anggraeni Mohon Tunggu... Lainnya - Luhut

Aries

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kayu Rakyat Yang Merakyat: Peraturan Desa (Perdes) Sebagai Instrumen Tapak Pengelolaan Hutan Rakyat

11 April 2021   18:05 Diperbarui: 17 April 2021   10:05 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kayu merupakan kebutuhan bagi manusia dalam bidang kontruksi. Meskipun kini sudah banyak alternatif pengganti kayu dibidang kontruksi, namun tetap saja kebutuhan akan kayu tetap meningkat setiap tahunnya. Sedangkan sumber kayu kian lama kian tebatas. Jadi, bagaimana solusi akan kebutuhan kayu tersebut agar dapat tercukupi di masa datang?

Di Indonesia, sumber utama kayu berasal dari hutan negara, baik yang di kelola BUMN, Swasta, maupun masyarakat yang dikenal dengan hutan rakyat. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 49 Tahun 1997, hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan luas minimal 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman berkayu dan atau jenis lainnya lebih dari 50% atau jumlah tanaman pada tahun pertama minimal 500 tanaman tiap Ha.

Hadirnya hutan rakyat ini diharapkan menjadi  alternatif pemenuhan kebutuhan kayu rakyat yang lestari. Kayu rakyat sendiri memiliki definisi yaitu kayu bulat atau kayu olahan yang berasal dari pohon yang tumbuh dari hasil budidaya dan atau tumbuh secara alami di atas hutan hak dan atau lahan masyarakat. Dengan pengelolaan secara masif dan sinergi dengan berbagai pihak, bukan hal mustahil bila kebutuhan kayu nasional dapat terpenuhi. Juga keterlusuran akan asal - usul kayu akan semakin jelas, sehingga ruang bagi kayu illegal akan semakin sempit atau bahkan hilang.

Menurut Bertalanffy (1975), sistem usaha hutan rakyat terdiri dari sub sistem produksi, pengolahan, pemasaran hasil, dan kelembagaan. Penjelasan satu per satu dari sub sistem usaha tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

  • Sub sistem produksi meliputi sistem budidaya kualitas hasil dan kelestarian. Umumnya sistem ini telah berjalan dengan sendirinya, seperti pemanfaatan lahan kosong untuk sarana pertanian, perkebunan dan peternakan.
  • Sub sistem pengolahaan berkaitan dengan kebutuhan bahan baku, baik dari segi jumlah, jenis dan lokasi tanaman yang akan dikelola. Biasanya para pemiliki lahan tidak terlalu memikirkan pengelolaan ini, sebab sebagian besar lahan yang digunakan dianggap sebagai investasi jangka panjang.
  • Sub sistem pemasaran hasil adalah sub sistem yang sering terlupakan oleh pemilik atau pengelola. Sub sistem ini berkaitan dengan harga produk, struktur pasar, dan perilaku pasar. Kemajuan hutan rakyat di Indonesia ditentukan oleh sub sistem pemasaran ini. Jika dikelola dengan baik, maka pemasaran yang menggunakan lisensi legalitas kayu sebagai hasil dari hutan rakyat akan memberikan kesejahteraan bagi pemiliki atau pengelola.
  • Sub sistem kelembagaan merupakan pengatur sub sistem lain agar berjalan dengan optimal. Adanya kelembagaan juga mendukung prinsip pengelolaan hutan lestari (lingkungan, sosial dan ekonomi) sehingga mampu meningkat pendapatan melalui komoditi lahan hutan.

Saat ini pengelolaan-pengelolaan hutan rakyat masih sangat rentan dari kegagalan karena keterbatasan Sumber Daya Manusia dan instrumen teknis yang belum memadai.

Desa Malleleng di Kabupaten Bukulamba Provinsi Sulawesi Selatan menjadi salah satu objek kegiatan penelitian dengan tema Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia (2016-2021) atau Meningkatkan nilai Komersial Kehutanan Berbasis Masyarakat. 

Kegiatan ini merupakan Kegiatan kerja sama Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR). Penelitian yang dilakukan berupa Penguatan Tata Kelola Kayu Rakyat. 

Hasil yang didapatkan yaitu munculnya Peraturan Desa (Perdes) tentang Pengelolaan Hutan Rakyat Berkelanjutan di Desa Malleleng. Perdes ini merupakan satu-satunya Perdes tentang pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Bulukumba.

Nur Hayati, SP, M.Sc (Tim Peneliti Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Makassar), menjelaskan tujuh Potensi Perdes dalam mendukung Pengguatan Tata Kelola Kayu Rakyat, yaitu:

  1. Tersedianya data potensi kayu rakyat di desa
  2. Tersedianya bibit gratis dengan dibangunnya Kebun bibit desa (KBD) di desa
  3. Peningkatan kapasitas petani hutan rakyat
  4. Pemberdayaan ekonomi lokal
  5. Partisipasi masyarakat dalam menanan pohon
  6. Pendanaan kegiatan pengelolaan hutan rakyat di desa
  7. Penegakan hukum, adanya sanksi bagi masyarakat yang melanggar kesepakatan.

Perdes merupakan dasar hukum di tingkat tapak dan acuan bersama semua pihakterkait dalam pengelolaan hutan rakyat. Munculnya Perdes tentang pengelolaan hutan rakyat memang bukan jaminan untuk pengelolaan hutan rakyat yang lebih baik. Tetapi dengan Perdes ini, instrumen-instrumen penunjang telah tersedia, sehingga tidak ada lagi alasan untuk stagnan apalagi gagal. Tentu dengan mengimplementasikan semua komponen di Perdes serta sinergi multi pihak.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun