Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bahasa Melayu itu Bahasa Daerah

8 Mei 2013   20:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:53 461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bahasa Melayu itu Bahasa Daerah

Ada tiga kelompok bahasa yang menurut undang-undang diwajibkan untuk dibina dan dikembangkan oleh negara bersama-sama dengan instansi terkait, pemerintah daerah dan masyarakat. Kelompok yang pertama anggotanya cuma satu. Bahasa Nasional, bahasa Indonesia. Kelompok kedua jumlahnya ratusan, bahkan dulu jumlahnya pernah mencapai ribuan. Bahasa daerah namanya. Kelompok ketiga jumlahnya juga sangat banyak. Ratusan. Bahasa asing namanya.

UU no. 24/2009 yang ditandatangani presiden pada 9 Juli 2009 dan diundangkan pada hari yang sama setelah dimasukkan ke dalam lembaran negara no. 109/2009 oleh menteri sekretaris negara, mengamanatkan banyak hal kepada pemerintah dalam kaitannya dengan pengembangan dan pembinaan bahasa. Di antara banyak hal yang dalam undang-undang ini berupa ketentuan, kewajiban, pelarangan, dan amanat, ada beberapa yang menarik.

Pemerintah diminta meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan yang akan dikoordinasikan oleh lembaga kebahasaan. Pemerintah akan memayungi gerakan ini dengan peraturan pemerintah. Sampai di mana perkembangan usaha ini? Tampaknya masih berjalan di tempat jika pernyataan justru sedang mundur ke belakang dirasakan terlalu keras. Dengan banyaknya pelanggaran terang-terangan, bahkan yang dilakukan oleh kepala negara sendiri berkaitan dengan amanat dan larangan dalam undang-undang ini, tampaknya harapan agar bahasa Indonesia segera mendekati arena bahasa Internasional masih jauh. Kepala negara masih senang sekali menggunakan bahasa asing dalam banyak kesempatan. Tampaknya beliau sama sekali tidak yakin bahwa saat ini bahasa Indonesia mampu mewadahi ungkapan komunikasi yang mana saja. Jadi sebenarnya sama sekali tidak ada kepala negara tidak berani menggunakan bahasa Indonesia secara penuh bahkan dalam pergaulan internasional. Kalau lawan bicara tidak paham, biarkan penerjemahnya yang membantu, atau biarkan lawan bicara memunculkan inisiatif untuk belajar berbicara bahasa nasional ini.

Tentang bahasa daerah yang didefinisikan sebagai bahasa yang digunakan secara
turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah-daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kondisinya malah lebih memprihatinkan. Semakin banyak bahasa daerah yang sedang antri untuk bergabung dengan rekannya yang telah lebih dahulu punah karena tidak ada lagi penuturnya. Tidak banyak usaha yang dapat dilakukan kecuali bergegas ‘mengabadikan’ bahasa yang sedang menuju ke liang kuburnya ini. Dengan teknologi digital seperti sekarang, walau tetap tidak mudah, tetapi dapat dilakukan.

Ini untuk bahasa daerah yang kecil dan minor. Untuk bahasa daerah yang yang besar dan mayor masalahnya walau berbeda tetapi bahayanya tidak kalah besarnya. Minat generasi muda untuk belajar bahasa daerah di tingkat perguruan tinggi sudah sejak lama ‘padam’ dan sampai sekarang sama sekali tidak ada tanda-tanda menyala dan ‘berkobar-kobar’. Nyala dan kobaran terang justru datang dari negara lain, dari bangsa lain. Mungkin berlebihan ketika ada yang mengatakan suatu ketika nanti jika seseorang ingin belajar bahasa daerah di Indonesia harus mengundang pakar asing, tetapi sinyalemen bernada khawatir ini tentu saja ada benarnya.

Dulu pernah seorang teman dari prodi Sastra Bali di Universitas Udayana menyampaikan – saat itu saya memberi kuliah di prodi Sastra Inggris – betapa nasib prodinya sangat mengenaskan. Jumlah mahasiswa tidak pernah melebihi jari tangan kanannya. Padahal beasiswa penuh sudah ditawarkan. Tetap saja anak muda Bali ogah belajar sastra dan bahasa Bali. Untuk apa kata mereka. Itu dulu. Bagaimana sekarang? Tentu saja sudah berubah tetapi memang tidak akan pernah sampai pada tataran anak muda Bali berlomba-lomba mendaftar untuk memperdalam kekayaan bahasa dan sastra daerahnya sendiri. Orang asing malah banyak mendaftar. Sebuah ironi. Ironi sejenis mungkin terjadi pada bahasa daerah yang lain.

Kabar terbaru menunjukkan bahwa di Bali sedang terjadi unjuk rasa karena pos anggaran untuk bahasa Bali dihilangkan dari APBD. Yah …

Bagaimana dengan Bahasa Melayu?

Dari sudut pandang undang-undang no. 24/2009, bahasa Melayu menduduki dua posisi berbeda. Pertama sebagai bahasa daerah dan kedua sebagai bahasa asing. Bahasa daerah karena bahasa Melayu digunakan di banyak kawasan di Sumatera dan Kalimantan, dan menjadi bahasa asing karena bahasa ini menjadi bahasa resmi negara tetangga, Malaysia. Bahasa resmi Malaysia bukan bahasa Indonesia melainkan bahasa Melayu.

Pernah ada usulan agar Malaysia berani mengatakan bahwa bahasa resmi mereka adalan bahasa Malaysia. Bukan bahasa Melayu. Tetapi tampaknya usulan ini tidak ditanggapi sebagai buktinya pemerintah secara resmi masih menggunakan istilah bahasa Melayu dalam penerbitan resmi mereka. Buku Tatabahasa Dewan (2010) sebagai buku pegangan resmi bagi pelajaran tatabahasa di seluruh tatatan pendidikan di Malaysia menggunakan istilah bahasa Melayu. Memang sudah ada tanda-tanda bahwa istilah bahasa Malaysia telah digunakan. Sebagai contohnya Kamus Fajar KBSR (2007) telah menggunakan istilah bahasa Malaysia untuk menyebut bahasa resmi Malaysia. Tetapi karena kamus ini bukan terbitan resmi pemerintah, sementara Tatabahasa Dewan adalah terbitan resmi pemerintah Malaysia, maka secara resmi pemerintah Malaysia tetap menggunakan istilah bahasa Melayu sebagai nama bahasa nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun