Essi 272 -- Membela Kepala Negara
Tri Budhi Sastrio
Aduh ... aduh ... bagaimana ini? Engkau kan
     Kepala Negara?
Kepala Negara kami semua, terhormat, mulia
     dan berwibawa.
Dulu rasa-rasanya hampir semua tersenyum
     bangga ketika
Menyebut nama, tetapi sekarang, yah jika
     bukannya tertawa
Biasanya sinis menghina, cuma anehnya ... kok
     ya ada saja
Peristiwa yang menjadi pemicu api senyum hina
     tawa canda.
Dulu karena curhat, lalu ada murka, lalu ragu
     setengah dusta,
Dan yang paling akhir, eh ... sms yang bocor
     meluas di media.
Engkau masih ingat kan ketika gelaran Bima
     sang Werkudara
Tidak hanya disematkan di dada tapi juga tepat
     di atas kepala?
Bima itu tokoh hebat pemegang Pancanaka
     andalan Pandawa.
Badan tinggi besar gagah perkasa, jujur tidak
     pernah berdusta.
Hormat dan santun kepada saudara tua, tapi
     manakala murka,
Jangankan manusia biasa, dewa pun tak berani
     banyak bicara.
Engkau disegani di mana-mana, ya di bumi ya di
     swargaloka.
Tapi itu dulu Bima, dulu, dulu sekali, lalu yang
     terjadi ini masa?
Yah ... murka ditertawa, sms pun dijadi bahan
     guna menghina.
Bagaimana bisa seperti ini wahai Bima, benteng
     kokoh negara?
Apakah semua kawula negara raya bentangan
     tali khatuliswa
Telah tidak tahu tatakrama dan lupa cara
     menghormati satria?
Apa memang benar seperti itu, wahai Putra Bayu
     sang Sena?
Penasaran, kutanya mereka yang sibuk tertawa
     dan menghina.
Di warung-warung, di terminal-terminal, juga di
     tepi jalan raya.
Dan tahu apa jawab mereka ... bah, engkau
     bukan lagi Bima.
Ya, engkau di mata mereka bukan lagi Bima
     sang Bratasena.
Tentu saja kukernyitkan kening dan dahi, ah,
     jangan bercanda.
Dulu Bima, sekarang Werkudara, nanti pun tetap
     Pancanaka.
Tidak ada yang berubah, tidak boleh berubah,
     tetaplah sama.
Engkau banteng kokoh ini negara, pilih tanding
     pantang dusta,
Begitu aku membela engkau di depan mereka,
     dan reaksinya?
Yah ... kalau bukannya mencibir eh ... mereka
     sinis menghina.
Berkali-kali kepala digelengkan mengusir pening
     tak percaya.
Bagaimana bisa ... kawula yang dahulu begitu
     memuja-muja,
Sekarang berbalik, jika bukannya tertawa ya
     sinis menghina?
Penasaran tak percaya, akan kugali sampai ke
     akar-akarnya,
Begitu tekad menggumpal di dada, dan kupilih
     pemuda desa,
Yang tampaknya terdampar ke ini kota karena
     masalah biaya.
Percuma bicara dengan para pengamat yang
     banyak metafora,
Juga dengan para pendukung yang hebat
     menjilat daun telinga.
Tidak apa bersama pemuda desa ... naif tetapi
     jauh dari dusta.
Setelah basa-basi sekedarnya, si pemuda desa
     pelan kutanya,
Tahu dan paham kan pak BY ... SBY ... itu
     kepala negara kita?
Sambil tersenyum ia mengangguk ... eh hebat
     juga ini pemuda.
Pakaian boleh kotor, tetapi senyum dan sinar
     mata, luar biasa.
Asal boleh dari desa, nasib belum jelas mungkin
     terlunta-lunta,
Tapi menilik senyum manis dan sinar mata indah
     mempesona,
Ditambah keyakinan bahwa pasti tak berdusta,
     toh untuk apa,
Aku yakin dari dia akan kuperoleh penjelasan
     mengapa Bima,
Yang dulu sempat menimbulkan decak kagum di
     mana-mana.
Eh ... kini jadi bahan tertawaan hampir seluruh
     penjuru negara.
Presiden kita sekarang bawelnya amit-amit
     seperti wanita manja.
Aku angguk-angguk yakinkan dia bahwa
     dipahami pendapatnya
Walau dalam hati bertanya-tanya, tadi
     kuarahkan kepala negara,
Dia menjawabnya presiden kita ... apakah dia ini
     tahu bedanya?
Terus itu lho pak ... lanjutnya ... di TV dan koran,
     kuyu wajahnya.
Kuyu? Ah, yang benar, kelopak mata memang
     tebal gelambirnya
Tetapi itu kan tanda beliaunya banyak membaca
     laporan negara?
Sekarang pemuda ini menyebutnya kuyu ... ya
     apa pula artinya?
Benar pak ... kuyu, layu, bahkan pilu dan sendu
     juga ada di sana.
Sialan, makiku dalam hati, pasti nih pemuda
     baru saja membaca
Kalau bukannya novel picisan tentu puisi
     cengeng tak laras nada.
Kuyu, layu, pilu, sendu, jelas bukan kosa kata
     pemuda lugu desa,
Tetapi mau bilang apa, memang itu yang
     meluncur dari lidahnya.
Betul lho pak, saya sampai kasihan melihatnya,
     berat bebannya,
Sepertinya ada dosa orang lain atau bisa juga
     ada dosa keluarga
Yang harus ditanggungnya ... yah harusnya
     ingat hukum karma.
Bapak tahu hukum karma kan? Sialan, kurang
     ajar, aku tertawa,
Makian kusimpan dalam hati, tertawa
     kuhadirkan kehadapannya.
Ya, ya, tentu saja saya pernah membaca tentang
     hukum karma.
Rasa-rasanya presiden sekarang sedang
     menjalankan karmanya,
Sayangnya dia itu tidak cukup tangguh
     menanggung ini semua.
Kalau tidak kan tidak mungkin tampak kuyu
     laksana layu bunga?
Kuyu, layu, dosa keluarga, hukum karma, yah ini
     baru namanya.
Aku belum melihat kaitannya dengan
     pernyataan yang pertama,
Presiden kita sekarang bawelnya amit-amit
     seperti wanita manja,
Tetapi entah mengapa semangat yang tadinya
     garang membara
Guna mengorek keterangan jujur apa adanya
     dari pemuda desa,
Tiba-tiba saja menguap, terbang dan sirna entah
     pergi ke mana.
Tujuan untuk membela kepala negara bisa-bisa
     menjadi petaka.
Bagaimana tidak akan jadi petaka, jika malah
     terungkap semua.
Lha kalau semua sudah terbuka, lalu bagaimana
     membelanya?
Tapi belum sempat wawancara dinyatakan
     purna, eh si pemuda
Dengan penuh semangat melanjutkan isi
     bocoran sms di media.
Kata demi kata terus tercurah tetapi hanya
     sampai daun telinga,
Sementara pikiran, jiwa dan sukma terus
     lantunkan nada tanya,
Jika sudah begini lalu bagaimana cara membela
     kepala negara?
Yah ... karma ... karma ... rasanya sulit guna
     lepas dari jeratnya.
Lalu apa yang sebaiknya dikerja jika karma yang
     menjadi penyebabnya?
Bukankah tak ada? Karma itu kan urusan yang
     di atas sana.
Essi 272 -- tbs/kas - POZ16112013 - 087853451949
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI