Essi 266 -- Satu Lima Sembilan Pahlawan
Tri Budhi Sastrio
Â
Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman
     Wedyodiningrat dari Yogyakarta,
Lalu pahlawan nasional Lambertus Nicodemus
     Palar dari Sulawesi Utara,
Dan yang ketiga Letjen TNI TB Simatupang
     berasal dari Sumatera Utara,
Menjadikan angka satu lima sembilan pahlawan
     nasional 2013 jadi nyata.
Bukan jumlah yang sedikit tetapi juga bukan
     jumlah yang tinggi luar biasa.
Yang pasti angka ini masih akan terus
     bertambah semarakkan nusantara
Dengan pahlawan yang tidak pelak berjasa
     membela negara dan bangsa.
Siapa yang berikutnya memang masih menjadi
     misteri dan penuh rahasia,
Bahkan gelar bagi sang bapak pembangunan
     yang pernah lama berkuasa
Hanya sempat jadi wacana, kemudian menguap
     dan sirna entah ke mana.
Entah dewan penilai, entah pimpinan negara,
     yang tiba-tiba ciut nyalinya,
Yang jelas wacana tetap wacana, bahkan tahun
     ini nasibnya tetap sama.
Bapak Pembangunan belum jadi pahlawan
     nasional aset seluruh bangsa.
Mungkin tahun depan, mungkin tahun depannya
     lagi, mungkin akan lama,
Tetapi sudahlah ... serahkan saja semuanya
     kepada sejarah dan negara,
Biarkan mereka yang menentukan siapa saja
     pahlawan tahun berikutnya.
Pahlawan nasional haruslah seorang pejuang
     tapi tidak harus bersenjata.
Dulu pada awal-awal kemerdekaan yang
     namanya perjuangan tentu saja
Melibatkan tak hanya komitmen, integritas,
     keberanian, tapi juga senjata,
Sekarang senjatanya jauh lebih banyak berada
     di ujung pena serta tinta,
Bahkan yang ini pun hendaknya tidak dianggap
     harafiah tetapi metafora.
Ya benar ... tinta dan pena metafora ... jadi
     sebenarnya bisa siapa saja,
Bahkan orang-orang biasa dapat berjasa lalu
     jadilah ia pahlawan negara
Asal saja syarat formal dipenuhi dan kepala
     negara mau mengangkatnya,
Maka jadilah dia pahlawan nasional lengkap
     dengan sk, gelar, dan nama.
Itulah idealnya tetapi tentu saja tak semua orang
     bisa pahlawan gelarnya.
Walau tampaknya sederhana tetapi sebenarnya
     banyak juga liku-likunya,
Seperti harus ada usulan lalu dewan gelar,
     kehormatan, dan tanda jasa
Meneliti dan menelaah, lalu jika penuhi kriteria,
     diusulkan kepala negara,
Dan jika pimpinan tertinggi negara setuju,
     keluarlah surat keputusannya.
Lalu bagaimana jika pengusul tak ada? Ya tentu
     saja tidak ada apa-apa.
Kembali ke cerita para pahlawan nasional yang
     sudah lama ada sk-nya.
Mereka terbaring tenang damai di tmp-tmp
     walau ada yang tidak di sana
Sehingga ketika masa peringatan tiba, para
     kerabat anak cucu keluarga
Dapat berkunjung tidak hanya untuk mengirim
     doa dan menabur bunga
Tapi juga mengenang kembali masa-masa lama
     ketika masih bersama.
Sementara yang kubur dan makamnya tak jelas
     dan tak tentu rimbanya
Tentu saja agak berbeda ketika ingin berziarah
     dan mengirimkan bunga.
Sebut saja Komodor Yos Sudarso yang gugur di
     kawasan laut Arafura
Kala ikut serta menunaikan tugas negara
     merebut kembali tanah Papua.
KRI Macan Tutul yang ditumpangi tenggelam
     dihantam torpedo Belanda
Dan sampai saat ini entah di mana terbaring itu
     tulang-tulang kerangka?
Apakah masih tetap bersama dengan kapal
     perang yang ditumpanginya
Yang tentunya terbaring tenang di dasar laut
     Arafura, atau sudah sirna
Dan tak ada bekas-bekasnya lagi serta telah
     menyatu dengan Arafura?
Mungkin memang perlu keluar banyak biaya jika
     negara punya rencana
Menilik sang kapal perkasa yang memang lama
     tidak terima anjangsana
Lalu jika kerangka sang komodor masih ada
     maka dengan teknologi DNA
Bisa dipastikan bahwa itu memang dia, lalu tentu
     saja dilakukan upacara.
Ini jika negara mau keluarkan biaya dan
     teknologi bisa mewujudkannya.
Kalau tidak, tabur bunga untuk dia ya tetap saja
     dilakukan seperti biasa.
Sembilan pahlawan nasional lainnya ternyata
     juga alami hal yang sama.
Tidak jelas makamnya, tak tentu kuburnya, dan
     negara tak bisa apa-apa.
Martha Christina Tiahahu, I Gusti Ketut Jelantik,
     dan I Gusti Ketut Pudja
Anak Agung Gde Agung, Supriyadi, Muwardi,
     Slamet Riyadi, Pattimura
Dan yang terakhir Tan Malaka, juga tidak jelas
     mana kubur makamnya.
Mereka memang dikenang memang disayang,
     juga bunga dan upacara,
Juga tunjangan bagi kerabat terdekat, walau
     besarnya hanya 1,5 juta,
Tidak besar tetapi daripada  tidak ada ... ha ...
     ha ... ha ... boleh juga
Bagaimana ini negara menghargai
     pahlawannya, tak hanya dengan SK,
Makam Pahlawam, bunga, upacara, lalu ada
     pidato di sini serta di sana,
Tapi juga ada uang ala kadarnya tanda negara
     menghargai jasa mereka.
Dan sayup-sayup terdengar untaian dawai nada
     irama turut membahana
Memuja-muja para pahlawan yang konon tak
     mau disapa kusuma bangsa.
Telah gugur pahlawanku ... tunai sudah janji
     bakti ... lembut sapa telinga
Gugur satu tumbuh sribu ... tanah air jaya sakti
     ... yang kini merasuk jiwa.
Selamat Hari Pahlawan, semoga nusantara
     selalu damai serta sejahtera.
Essi 266 --tbs/kas - Â POZ10112013 -- 087853451949
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI