Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Essi nomor 266 - Satu Lima Sembilan Pahlawan

2 Mei 2025   15:32 Diperbarui: 2 Mei 2025   15:32 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.pinterest.com/pin/129619295518161059/

Essi 266 -- Satu Lima Sembilan Pahlawan
Tri Budhi Sastrio
 
Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman
          Wedyodiningrat dari Yogyakarta,
Lalu pahlawan nasional Lambertus Nicodemus
          Palar dari Sulawesi Utara,
Dan yang ketiga Letjen TNI TB Simatupang
          berasal dari Sumatera Utara,
Menjadikan angka satu lima sembilan pahlawan
          nasional 2013 jadi nyata.
Bukan jumlah yang sedikit tetapi juga bukan
          jumlah yang tinggi luar biasa.
Yang pasti angka ini masih akan terus
          bertambah semarakkan nusantara
Dengan pahlawan yang tidak pelak berjasa
          membela negara dan bangsa.
Siapa yang berikutnya memang masih menjadi
          misteri dan penuh rahasia,
Bahkan gelar bagi sang bapak pembangunan
          yang pernah lama berkuasa
Hanya sempat jadi wacana, kemudian menguap
          dan sirna entah ke mana.
Entah dewan penilai, entah pimpinan negara,
          yang tiba-tiba ciut nyalinya,
Yang jelas wacana tetap wacana, bahkan tahun
          ini nasibnya tetap sama.
Bapak Pembangunan belum jadi pahlawan
          nasional aset seluruh bangsa.
Mungkin tahun depan, mungkin tahun depannya
          lagi, mungkin akan lama,
Tetapi sudahlah ... serahkan saja semuanya
          kepada sejarah dan negara,
Biarkan mereka yang menentukan siapa saja
          pahlawan tahun berikutnya.

Pahlawan nasional haruslah seorang pejuang
          tapi tidak harus bersenjata.
Dulu pada awal-awal kemerdekaan yang
          namanya perjuangan tentu saja
Melibatkan tak hanya komitmen, integritas,
          keberanian, tapi juga senjata,
Sekarang senjatanya jauh lebih banyak berada
          di ujung pena serta tinta,
Bahkan yang ini pun hendaknya tidak dianggap
          harafiah tetapi metafora.
Ya benar ... tinta dan pena metafora ... jadi
          sebenarnya bisa siapa saja,
Bahkan orang-orang biasa dapat berjasa lalu
          jadilah ia pahlawan negara
Asal saja syarat formal dipenuhi dan kepala
          negara mau mengangkatnya,
Maka jadilah dia pahlawan nasional lengkap
          dengan sk, gelar, dan nama.
Itulah idealnya tetapi tentu saja tak semua orang
          bisa pahlawan gelarnya.
Walau tampaknya sederhana tetapi sebenarnya
          banyak juga liku-likunya,
Seperti harus ada usulan lalu dewan gelar,
          kehormatan, dan tanda jasa
Meneliti dan menelaah, lalu jika penuhi kriteria,
          diusulkan kepala negara,
Dan jika pimpinan tertinggi negara setuju,
          keluarlah surat keputusannya.
Lalu bagaimana jika pengusul tak ada? Ya tentu
          saja tidak ada apa-apa.

Kembali ke cerita para pahlawan nasional yang
          sudah lama ada sk-nya.
Mereka terbaring tenang damai di tmp-tmp
          walau ada yang tidak di sana
Sehingga ketika masa peringatan tiba, para
          kerabat anak cucu keluarga
Dapat berkunjung tidak hanya untuk mengirim
          doa dan menabur bunga
Tapi juga mengenang kembali masa-masa lama
          ketika masih bersama.
Sementara yang kubur dan makamnya tak jelas
          dan tak tentu rimbanya
Tentu saja agak berbeda ketika ingin berziarah
          dan mengirimkan bunga.
Sebut saja Komodor Yos Sudarso yang gugur di
          kawasan laut Arafura
Kala ikut serta menunaikan tugas negara
          merebut kembali tanah Papua.
KRI Macan Tutul yang ditumpangi tenggelam
          dihantam torpedo Belanda
Dan sampai saat ini entah di mana terbaring itu
          tulang-tulang kerangka?
Apakah masih tetap bersama dengan kapal
          perang yang ditumpanginya
Yang tentunya terbaring tenang di dasar laut
          Arafura, atau sudah sirna
Dan tak ada bekas-bekasnya lagi serta telah
          menyatu dengan Arafura?
Mungkin memang perlu keluar banyak biaya jika
          negara punya rencana
Menilik sang kapal perkasa yang memang lama
          tidak terima anjangsana
Lalu jika kerangka sang komodor masih ada
          maka dengan teknologi DNA
Bisa dipastikan bahwa itu memang dia, lalu tentu
          saja dilakukan upacara.
Ini jika negara mau keluarkan biaya dan
          teknologi bisa mewujudkannya.
Kalau tidak, tabur bunga untuk dia ya tetap saja
          dilakukan seperti biasa.

Sembilan pahlawan nasional lainnya ternyata
          juga alami hal yang sama.
Tidak jelas makamnya, tak tentu kuburnya, dan
          negara tak bisa apa-apa.
Martha Christina Tiahahu, I Gusti Ketut Jelantik,
          dan I Gusti Ketut Pudja
Anak Agung Gde Agung, Supriyadi, Muwardi,
          Slamet Riyadi, Pattimura
Dan yang terakhir Tan Malaka, juga tidak jelas
          mana kubur makamnya.
Mereka memang dikenang memang disayang,
          juga bunga dan upacara,
Juga tunjangan bagi kerabat terdekat, walau
          besarnya hanya 1,5 juta,
Tidak besar tetapi daripada  tidak ada ... ha ...
          ha ... ha ... boleh juga
Bagaimana ini negara menghargai
          pahlawannya, tak hanya dengan SK,
Makam Pahlawam, bunga, upacara, lalu ada
          pidato di sini serta di sana,
Tapi juga ada uang ala kadarnya tanda negara
          menghargai jasa mereka.

Dan sayup-sayup terdengar untaian dawai nada
          irama turut membahana
Memuja-muja para pahlawan yang konon tak
          mau disapa kusuma bangsa.
Telah gugur pahlawanku ... tunai sudah janji
          bakti ... lembut sapa telinga
Gugur satu tumbuh sribu ... tanah air jaya sakti
          ... yang kini merasuk jiwa.
Selamat Hari Pahlawan, semoga nusantara
          selalu damai serta sejahtera.

Essi 266 --tbs/kas -  POZ10112013 -- 087853451949

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun