Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Essi Nomor 287: Ra Iso Po Po... Yo Ra Po Po

8 Mei 2021   09:08 Diperbarui: 8 Mei 2021   09:14 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.facebook.com/Onggo-ora-ono-opo-opo-110027357373556/photos/

Essi 287 -- Ra Iso Po Po ... Yo Ra Po Po
Tri Budhi Sastrio

Ha ... ha ... ha ... puisi dari rahim penyair dan dari rahim politisi
Pasti sama dan tak ada bedanya, namanya pasti sama ... puisi.
Puisi ya puisi ... tempat derasnya gelegak arus pikiran isi nurani
Bermuara pada baris-baris bunyi lalu diberi jubah kata-kata kunci.
Berikutnya tinggal atur saja apa-apa yang ingin dijadikan isi opini,
Sedikit dilaraskan via kata-kata kunci pemanja telinga peka bunyi,
Selebihnya ya lontarkan saja pada para penikmatnya, dan ... jadi.
Ini puisi masa kini, kadang cair dalam bentuk tetapi bisa pekat isi
Walau tentu saja ada juga puisi yang bentuk tidak jelas isi apalagi.
Tetapi apapun kualitasnya, sekali lahir sebagai puisi ya tetap puisi,
Akan tumbuh dewasa, berkiprah dan berbakti semarakkan negeri
Atau mati suri dini hari selagi bayi, ini sih persoalan yang lain lagi.
Maka dari itu berbahagialah bagi mereka yang diam di ini negeri,
Entah awam biasa atau pejabat negeri, entah penyair atau politisi
Asal masih punya hati dan nurani, lalu ditambah semangat kreasi,
Maka melahirkan bayi-bayi genit tampan yang nama aslinya puisi.
Prosesnya dijamin mudah, tidak rumit apalagi berbelit kuras energi,
Bahkan semudah menjentikkan jari, duduk, tulis, lahirlah satu puisi.
Bahkan banyak puisi lahir ketika orang-orang sedang sibuk berdiri.
Ya berdiri ... sambil berdiri puisi bisa dikreasi lalu lahir di ini negeri.
He ... he ... he ... ini hebatnya puisi yang dulu bacaan dewa-dewi.

Yang teranyar di ini negeri berkaitan dengan ulah seorang politisi,
Yang mungkin atas nama tuan atau partainya terus rajin berkreasi,
Melahirkan rangkaian puisi berjubah opini mengarah ke urat nadi
Politisi lawan yang dianggap menciderai Batu Tulis si piagam janji.
Sebagai mantan redaktur majalan sastra, boleh juga sang politisi.
Rangkaian puisi yang sengaja ditulis, boleh juga jika diapresiasi
Simak saja 'Sajak Tentang Boneka' yang sarat dengan deskripsi.
Penuh energi sang sarjana Sastra Rusia berkata keras berapi-api
Tentang boneka yang rebah dipinggir kota, tak bisa bicara kecuali
Satu dua kata, tak punya wacana kecuali tentang diri, tak ada hati
Karena memang benda mati, tidak punya harga diri apalagi nurani,
Jujur, percaya dan setia apalagi, boneka itu untuk dijual dan dibeli.
Dan seterusnya, dan seterusnya, sebuah deskripsi yang mumpuni.
Dan hebatnya lagi, konon puisi ini untuk menyindir capres Jokowi.
Mungkin ada benarnya mungkin ada salahnya, nanti silahkan diuji
Tetapi yang mungkin agak dilupa dan diabaikan oleh sang politisi
Puisi ini juga pas sebagai cermin untuk semua politisi di ini negeri,
Termasuk sang penulis puisi ... he ... he ... he ... bagus sekali ...

Walau tidak ada hubungannya, tetapi puisi lain karya sang politisi
Bukan saja karena judulnya -- Sajak Seekor Ikan -- tetapi juga isi.
Sulit sekali dirujuk ke si politisi karena kerempeng itu khas Jokowi.
Tambun dan kerempeng kan jelas beda sekali, padahal sang puisi
Bertutur tentang ikan merah yang kerempeng walau lincah sekali.
Setiap hari kerjanya berenang menari, ini menggoda menarik hati,
Sampai suatu hari entah mengapa ikan kerempeng lompat ke kali,
Hanyut ke samudera raya dan di sana ia jadi santapan makan pagi.
He ... he ... he ... si tambun cukup jeli, hilangkan peluang tohok diri.
Kerempeng itu ciri Jokowi, bukan ciri si politisi penulis puisi, kecuali,
Ya kecuali suatu hari nanti kerempeng dan tambun bertukar posisi.
Tambun jadi kerempeng, kerempeng jadi tambun, dan ini bisa jadi.

Kemudian masih ada lagi Ra Iso Opo Opo yang juga jadi judul puisi.
Aku tidak bisa apa-apa ibarat wayang yang tergantung sang dalang.
Dalang angkat wayang menggeliat, dalang berhenti wayang semedi.
Dalang kibas wayang beringas, dalang lempar wayang pun pulang.
Dan banyak wayang, kata sang politisi, kerjanya ya hanya jual mimpi.
Aku tidak bisa apa-apa, menari pun harus mengikuti irama gendang.
Banyak melenggok tanpa tujuan tergantung sang tuan, khas penari.
Yang pas menohok, kala dikata berjalan dari gang hingga comberan.
Kadang menumpang bus karatan, di antara banjir serta kemacetan,
Semua itu jadi obyek liputan ... menyihir warga dunia maya sekalian.
Aku tidak bisa apa-apa dan hanya bisa berkata tidak apa-apa kawan.
He ... he ... he ... ayo bagaimana ... kalau akhirnya sudah seperti ini.

Jelas amat mana dalang mana wayang, mana gang mana comberan.
Juga amat jelas siapa yang dituju dan siapa yang jadi target sasaran.
Bukankah bermasalah jika Ra Iso Po Po  ... Yo ... Ra Po Po ... dan,
Ini yang jelas sangat penting untuk dijadikan catatan serta perhatian,
Ini soal negara besar, bung, bukan soal kelurahan atau kecamatan,
Kalau tak bisa apa-apa jelas bukan tidak apa-apa, ini permasalahan.
Ini apa-apa, sangat apa-apa, hanya saja, kala gaya Jawa jadi acuan,
Yang tersurat dan tersirat, pesan literal dan mefatoris, kala bertautan
Harus berhati-hati dimakna, harus cermat dicerna, tak hanya pesan
Di permukaan, pesan di dasar penuh bebatuan, juga obyek galian.
Sang boneka, sang ikan kerempeng, sang karatan serta comberan,
Jelas manusia unik yang dengan gemilang sukses mencuri perhatian.
Kala bergandeng dengan Ahok, walau dikeroyok partai-partai mapan
Dengan ringan keduanya melenggang ke balai kota guna dinobatkan.
Jadi dia itu pasti bisa apa-apa tapi tidak apa-apa jika tak diperhatikan.
Inilah budaya yang lihai piawai menyamarkan dan menyembunyikan.

Masih akan banyak puisi ditulis oleh para politisi, dan ini bagus sekali.
Puisi itu melembutkan nadi, mendamaikan nurani, membesarkan hati,
Karena lurus jujur berani jadi asumsi paling esensi pada sebuah puisi.
Puisi dibalas puisi, lurus jujur berani dibalas berlandaskan hati nurani.
Jayalah negeri, jayalah puisi, semaraklah hati bagi anak-anak negeri.
Dalam puisi tidak bisa ada korupsi karena dasarnya lurus jujur berani.
Dalam puisi tidak ada benci, karena benci ibarat meracun diri sendiri.
Yang banyak dijumpa puja puji, mengangkat harkat martabat pribadi.
Membesarkan hati, mendamaikan nurani, melembutkan nadi, itu puisi.
Ayo politisi pegang erat-erat ini kata kunci, agar puisi di bumi pertiwi
Tak hanya mekar berseri menyapa relung-relung dalam kalbu nurani
Tapi juga membangkitkan semangat anak negeri guna terus berbakti
Membangun negeri, menyongsong harapan bersama matahari pagi.
Jaya negeri, jaya pertiwi, bersama puisi hidup rukun penuh toleransi.

Essi nomor 287 -- POZ17042014 -- 087853451949

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun