Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Sasaran Nomor Enam

16 Maret 2021   13:50 Diperbarui: 16 Maret 2021   14:11 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://timesofindia.indiatimes.com/

Sasaran Nomor Enam
Tri Budhi Sastrio

Kematian adalah misteri di balik misteri
Tak ada yang tahu kapan datang kapan menghampiri!

Hotel Antariksa, lantai ke-2, kamar nomor 216.

Di buku tamu hotel tercatat nama Suparno suami istri. Mereka akan menggunakan kamar selama tiga hari. Sewa hotel sudah dilunasi tetapi akan sulit, kalau tidak boleh dikatakan sia-sia, seandainya ada yang mencoba mencari seorang wanita di kamar nomor 216. Tidak ada wanita di sana. Bahkan bayangannya pun tidak ada. Yang ada cumalah seorang laki-laki.

Laki-laki bertubuh kekar, bermuka kelimis, rambut sedikit berombak, sedangkan matanya kadang-kadang memantulkan sesuatu yang aneh dan menakutkan. Laki-laki itu sedang sibuk. Seluruh perhatiannya tercurah pada benda di depannya. Dengan penuh ketelitian dan kehati-hatian, digarapnya senjata berlaras panjang, berteleskop istimewa itu. Sebentar dia melap, sebentar menggosok, sebentar meneropong dengan mata terpincing sebelah Pokoknya, hampir-hampr tak sebutir debu pun lepas dan luput dari perhatiannya. Semua diseka, semua disingkirkan. Seakan-akan sebutir debu saja mampu mengganggu unjuk kerja senapannya.

Lama juga waktu yang dihabiskan oleh laki-laki itu sebelum akhirnya dia bangkit dari duduknya sambil menghela nafas panjang penuh kepuasan. Matanya yang berbinar-binar seperti kerlip bintang, menatap penuh gairah senapan berkilat di tangannya.

"Engkau hebat, kawanku!" desah laki-laki itu penuh gairah pada senapan di tangannya. "Tugasmu hampir tuntas. Cuma tinggal yang ke enam, tinggal yang terakhir. Setelah itu engkau boleh istirahat, kawanku!"

Untung tidak ada yang mendengar desahan itu. Seandainya ada bulu roma orang tersebut mungkin akan berdiri tegak. Bagaimana tidak akan terasa menyeramkan, kalau ada seorang laki-laki berbicara semacam itu pada sebuah senjata berkilap yang mematikan, yang samar-samar  terus menyebarkan hawa maut pada benda-benda sekelilingnya? Dapat dibayangkan, bagaimana sebentuk kepala atau mungkin dada, tergambar dengan jelas si pusat lingkaran teleskop, untuk sesaat kemudian, hampir bersamaan dengan ditariknya picu, akan berlubang, memancarkan cairan hangat, untuk kemudian ... mati!

"Nanti sore jam empat, engkau akan sekali lagi menunjukkan kehebatanmu!" kembali laki-laki itu berdesah. "Engkau ...!"

Laki-laki itu berhenti meneruskan desahnya, karena dering telepon menyalak nyaring. Bahkan laki-laki itu tampak sedikit terkejut. Rupanya dia tidak menduga kalau telepon akan berbunyi saat itu. Dengan sigap laki-laki bergerak ke tempat telepon, sementara tangan kirinya tetap erat-erat memegang senjata kebanggaannya.

"Ya, ...!" katanya. Sesaat kemudian wajahnya berubah tegang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun