Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Sang Pewaris

16 Maret 2021   10:11 Diperbarui: 16 Maret 2021   10:21 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.saatchiart.com/art/

S A N G   P E W A R I S
Tri Budhi Sastrio

Kekayaan dan harta benda adalah karunia Tuhan,
Diberikan secara cuma-cuma pada umat manusia
Agar digunakan membantu mereka yang kekurangan.
Karenanya ayo berlapang dada pada yang memerlukan,
Pada sesama, pada semua yang hina!

Laki-laki itu meskipun umur cukup uzur tetapi masih tampak kekar. Hanya saja karena beberapa penyakit terus rajin menggerogoti, sekarang dia tergolek tak berdaya di kamar tidurnya yang mewah. Dokter pribadi maupun dokter ahli silih berganti mencoba menyembuhkan penyakitnya tetapi sang penyakit tetap membandel. Yang satu berhasil diatasi, yang lain muncul menggantikan seakan-akan dalam tubuh laki-laki itu sedang terjadi perang gerilya yang hebat. Kelompok gerilya beraneka ragam, pantang menyerah. Satu ditumpas yang lain muncul.

Kalau sudah dalam keadaan seperti itu, kekayaan dan harta bertimbun seakan-akan tidak ada gunanya lagi. Semua harus pasrah. Semua harus menyerah. Hanya saja ada berapa banyak orang di dunia ini yang menyadari makna mendalam seperti itu? Ada berapa banyak orang yang bisa melihat dengan jernih sehingga bis berpikir dengan arif dan bijak dan tidak melulu berpikir tentang harta dan bagaimana cara mencari serta menimbunnya saja? Sayangnya yang bisa melihat kenyataan ini cuma sedikit. Mereka baru mulai melihat dan merasakan kala Sang Waktu berada di depan mata. Semua baru menyadari betapa lemah dan tidak berartinya segala keserakahan setelah mereka tidak lagi memerlukan semua hasil keserakahan itu.

Begitu juga dengan Pak Martono. Semasa mudanya dulu, sejak Republik ini masih berjuang merangkak jatuh bangun, dia sudah menjadi seorang pedagang yang ulet, atau lebih tepat dikatakan seorang pedagang yang pandai menganalisis keadaan dan memanfaatkan kesempatan.

Di daerah Republik, pak Martono berdagang dengan orang-orang Republik di daerah Belanda pak Martono tidak canggung mengadakan transaksi dengan tuan-tuan dari Belanda. Kemudian ketika Jepang datang, Pak Martono tetap berdiri tegar, bahkan balatentara Jepang banyak sekali memanfaatkan dirinya, termasuk informasi yang dimilikinya. Ketika Jepang hengkang dari tanah tercinta ini, kembali tuan Martono tidak tergoyahkan reputasinya, bahkan tampak semakin makmur. Sehingga tidak mengherankan jika semakin lama kekayaan yang ditumpuknya semakin bertimbun. Usahanya berhasil dikelola dengan sukses. Tangan bisnisnya terjulur semakin panjang, menjangkau daerah-daerah yang jauh. Bersamaan dengan itu, aliran rupiah mengalir semakin deras ke koceknya.

Sekarang, ketika sukses sedang berada di puncak, penyakit menggoda. Awal-awal pertama penyakit datang, memang bisa ditanggulangi dengan baik. Dokter pribadi yang pandai, obat-obatan terbaik yang bisa dibeli, suasana menyenangkan yang sengaja diciptakan, memang bisa menghambat penyakit tetapi ketika Sang Waktu mulai berbicara, tuan Martono akhirnya terpaksa menyerah atau tepatnya dipaksa menyerah.

Ketika kesadaran itu melintas di benaknya, laki-laki itu memutuskan menulis sendiri surat wasiat. Segala sesuatu yang harus dilakukan oleh putra tunggalnya, sepeninggal dirinya kelak, ditulis secara rinci dan tepat ketika semua dokter memyerah angkat tangan, tanda tidak sanggup mengatasi penyakitnya, tuan Martono memanggil anak tunggalnya, mengusir semua orang lain dari kamar dan sambil memegang tangan anak tunggalnya, orang yang mungkin memang sudah disiapkan menjadi penggantinya itu, tuan Martono berbicara dengan suara lemah.

"Mujiono, anakku. Waktuku mungkin tidak akan lama lagi. Dokter Anis telah menjelaskan segala hal yang berkaitan dengan penyakit yang kuderita. Aku sendiri bisa merasakan kehebatan penyakit-penyakit ini."

Laki-laki itu berhenti sejenak, mengumpulkan tenaga dan sisa kekuatan untuk berbicara dengan anak tunggalnya.

"Semua yang perlu engkau lakukan dan semua yang harus engkau lakukan, kutulis jelas dalam wasiatku. Engkau bisa menemukan amanat itu, di bawah kasur tempat tidur ini. Kau harus mengambilnya pada kesempatan pertama nanti begitu aku kembali ke sana, menyusul Ibumu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun