Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Sang Pewaris

16 Maret 2021   10:11 Diperbarui: 16 Maret 2021   10:21 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.saatchiart.com/art/

"Selamat jalan, ayah!" bisiknya lembut. "Percayalah, aku tidak akan mengecewakan ayah. Semua yang akan kulakukan nanti adalah untukmu, untuk martabat dan kemuliaanmu sebagai seorang insan. Semoga engkau berbahagia bersama ibu di sana!"

***

Ribuan orang mengantar tuan Martono ke peristirahatannya yang terakhir. Ratusan karangan bunga menggunung di pusaranya. Ratusan utusan dari anak-anak cabang perusahaan yang tersebar di kota-kota lain berdatangan menyatakan bela sungkawa dan sekaligus memperkenalkan diri kepada pimpinan yang baru, putra tunggal almarhum.

Halaman iklan surat-surat kabar, baik yang di pusat mau pun yang di kota itu, penuh dengan ucapan turut berduka cita. Sementara itu, sumbangan berupa uang, yang mungkin cukup untuk membangun gedung berlantai lima lengkap dengan perlengkapannya, terus mengalir masuk.

Semuanya serba besar, semuanya serba megah. Berbeda sekali dengan penampilan calon pimpinan yang baru, yang tetap lugu dan sederhana tetapi sama sekali tidak kehilangan wibawanya itu. Penampilan Mujiono seakan-akan bertolak belakang dengan almarhum. Mereka yang dekat dengan Mujiono, pasti tidak akan setuju dengan pendapat seperti itu.

Ketika semua yang serba megah itu selesai, kembali Mujiono harus sendiri di rumahnya. Sekarang tiba waktunya membuka amanat almarhum.

Perasaan cemas sempat menghantui pemuda itu ketika membuka sampul coklat tebal. Amanat macam apa yang harus dilaksanakan? Bagaimana kalau amanat itu menghendaki dirinya bertindak tidak sesuai dengan pribadinya sementara janji terlanjur diucapkan?

Dengan perasaan cemas, dia mengeluarkan berlembar kertas terlipat rapi. Dia mulai membacanya.

Lembar pertama sampai seterusnya, berisi keterangan lengkap dan terperinci tentang segala macam harta dan perusahaan yang diwariskan oleh tuan Martono pada putra tunggalnya. Semuanya tertulis rinci dan lengkap. Lalu mana amanat Ayah yang sesungguhnya, tanya Mujiono pada dirinya sendiri sambil terus membaca.

Amanat yang sesungguhnya baru ditemukan oleh Mujiono pada lembar terakhir. Hanya dua kalimat saja. Tidak lebih dari itu tetapi dua kalimat ini justru membuat Mujiono bisa bernafas lega. Hilang sudah seluruh rasa cemasnya. Yang muncul kemudian adalah rasa hormat dan bangga tak terhingga pada almarhum ayahnya.

"Amanatku, Martono, untuk anakku, Mujiono.  Bertindaklah sesuai dengan hati nurani, seperti yang selama ini ditunjukkan pada ayah. Ayah dan ibu akan tersenyum bangga dari atas sana, kalau semua harta yang ayah dan ibu tinggalkan untukmu, bisa digunakan untuk kepentingan orang banyak, sama seperti yang berulang kali  engkau katakan pada ayah. Selamat berjuang dan bekerja Anakku!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun