Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Sang Pewaris

16 Maret 2021   10:11 Diperbarui: 16 Maret 2021   10:21 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.saatchiart.com/art/

"Keserahkan segala yang ayah miliki padamu, dan seandainya setelah engkau baca amanatku, ada yang tidak engkau setujui, engkau boleh mengubahnya anakku tetapi kukira hal itu tidak akan dilakukan, bukan? Engkau adalah satu-satunya harapanku dan aku tidak percaya engkau akan mengecewakan diriku?"

Mujiono memandang ayahnya dengan sayu. Betapa pun seringnya mereka berdua berbeda pendapat tetapi mereka tetaplah ayah dan anak. Ayahnya cenderung mengutamakan bisnis daripada rasa kemanusiaan, sedangkan dia sebaliknya. Ayahnya kadang-kadang memang bersikeras dengan pendapatnya tetapi Mujiono merasakan banyak kali ayahnya mau mengalah dan membiarkan dia mengambil keputusan serta melaksanakan.

"Kau mau bukan berjanji untuk mentaati amanat ayahmu yang sebentar lagi akan meninggalkan engkau ini?"

Mujiono bimbang dan ragu. Bagaimana kalau permintaan ayahnya tidak sesuai dengan hati nuraninya? Bagaimana kalau ayahnya mendesak dan meminta untuk   bertindak seperti dirinya, lebih mementingkan bisnis daripada yang lain? Bagaimana kalau dalam amanatnya itu, sang Ayah memintanya untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan detak jantung dan ketukan hatinya? Atau bagaimana kalau ...?

Mujiono tidak sempat terlalu lama bermain dengan pikirannya. Tangan ayahnya bergerak dan balas memegang tangannya dengan getar-getar penuh harap di dalamnya.

"Waktuku sudah hampir sampai, anakku. Cepat berikan janjimu, agar aku bisa pergi menemui ibumu dengan hati tenang dan dada lapang sambil membawa berita tentangmu, putra kesayangannya itu. Nak ...."

Mujiono mengangguk cepat.

"Aku berjanji akan menaati semua pesanmu, ayah!" kata Mujiono akhirnya. Lirih tetapi mantap seperti biasanya.

Seulas senyum muncul di bibir laki-laki letih ini. Senyum bahagia.

"Sekarang aku bisa pergi dengan tenang menemui ibumu dan bercerita bahwa kau, sama seperti dia dulu, berhasil membahagiakan aku. Nak ... aku pergi dulu, ya ...."

Kemudian segalanya berakhir. Waktu telah sampai. Tuan Martono telah kembali ke sana dengan senyum tersungging di bibirnya yang pucat, mata terpejam penuh kedamaian, lengkap sudah  kebahagiaan laki-laki sukses itu. Tinggal Mujiono terpekur sendiri dan perlahan-lahan bulir-bulir air mata menggelincir dari matanya yang berkaca-kaca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun