Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Puisi Rumah Bambu

13 Maret 2021   05:45 Diperbarui: 13 Maret 2021   06:12 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wikiart.org/abdullah-suriosubroto

Sudah lima bulan sejak dia datang ke tempat ini, dan sudah dua bulan sejak dia merampungkan rumah bambunya, tak sekali pun sastrawan ini melahirkan karya-karya nyata. Bukannya tidak mampu atau karena tidak ingin tetapi karena benaknya selalu diganggu oleh kegeraman pada sesuatu yang dirasakan tidak adil. Adalah sulit bagi seseorang menelurkan sesuatu yang indah jika kondisinya seperti itu.

Begitu juga dengan laki-laki penghuni rumah bambu ini. Dua bulan adalah waktu yang cukup lama kalau cuma sekedar menghasilkan sesuatu, bahkan bagi sastrawan tingkatan pemula sekalipun.

Mata laki-laki itu tidak lagi tersenyum sekarang. Mata itu berputar dari sudut yang satu ke sudut lain, menjelajahi dinding dalam rumah bambunya. Tiba-tiba ... saat itu juga, muncul sebuah tekad dalam dadanya.

"Akan kuciptakan puisi terpanjang yang pernah dibuat orang selama ini, akan kutulis dengan segenap hati dan jiwaku dan semoga orang-orang bisa membacanya kelak, sadar dan mengerti akan makna keberadaan manusia  di dunia ini," gumamnya mantap pada dirinya sendiri.

Dengan langkah-langkah lebar, laki-laki ini bergerak ke belakang. Sesaat kemudian, dia masuk dengan membawa sebuah peti yang terlihat cukup berat. Tepat di tengah ruangan, dia berhenti dan meletakkan peti itu di lantai.

Perlahan-lahan laki-laki itu membuka peti. Isinya ternyata kertas dan alat tulis menulis.

"Engkau cuma akan kubawa masuk ke dalam rumah ini, kalau aku sudah mulai bisa menulis," katanya lirih.

Kata-katanya jelas ditujukan pada peti dengan isinya.

Sastrawan yang satu ini memang hebat. Terutama keanehan sifatnya. Kertasnya pun kalau tidak digunakan akan diletakkan di luar rumah. Cuma benda-benda yang benar-benar diperlukan yang dia letakkan di dalam dan itu cumalah sebuah bale-bale bambu dan dirinya sendiri.

Tanpa banyak pikir laki-laki itu duduk bersimpuh di tanah. Peti kayu tempat kertas dijadikan meja. Semuanya sudah siap sekarang. Kertas putih sudah terhampar di depannya, pena juga sudah dipegangnya. Cuma dia tidak segera menulis. Wajahnya berkali-kali berubah, sedangkan matanya menatap kosong kertas di depannya.

Materi yang harus ditulisnya dia sudah tahu tetapi apa judulnnya? Manusia-manusia tidak tahu diuntung? Kurang puitis! Rintihan Alam? Ah, Alam tidak pernah merintih pada manusia. Alam yang begini perkasa mengapa harus merintih pada manusia yang ringkih dan lemah ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun