Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Puisi Rumah Bambu

13 Maret 2021   05:45 Diperbarui: 13 Maret 2021   06:12 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
wikiart.org/abdullah-suriosubroto

Matahari seperti mengangguk-angguk di atas langit sana. Dia pasti setuju dengan kata-kata laki-laki itu.

"Yang lebih sial lagi," laki-laki itu melanjutkan kata-katanya, sedikit lebih lantang dari yang tadi, "mereka tidak memperdulikan kemusnahan itu, sebab mereka pikir toh bukan diri mereka yang akan mengalaminya. Apa peduliku, kata mereka, apa peduliku pada anak cucuku? Mereka musnah, itu salah mereka sendiri karena tidak mampu mengatasi permasalahan. Huh, seandainya aku mempunyai kemampuan dan kekuasaan, kupotong lidah mereka, bahkan kalau perlu sekalian dengan kepalanya. Mereka yang berbuat, keturunan mereka yang harus menanggung. Adilkah ini, Alam sahabatku?"

Angin berhembus dingin sepertinya hendak menjawab pertanyaan laki-laki itu. Mata yang mencorong tajam tampak gemerlap semakin tajam.

"Ha, engkau ternyata setuju denganku. Memang benar, mereka memang tidak adil. Engkau sendiri, sayangnya kadang-kadang terlalu lunak pada mereka. Padahal, manusia jika diperlakukan dengan lunak cenderung sewenang-wenang dan menyia-nyiakan kelunakan yang didapatkan. Manusia banyak yang cuma kenal pada larangan dan hukuman. Mereka cuma tunduk pada seseorang atau pada sesuatu yang mampu menjatuhkan sanksi. Lain dari itu, akan mereka anggap enteng."

"Aku sendiri kadang-kadang tidak mengerti akan dirimu, Alam sahabatku. Kadang-kadang engkau begitu keras memberi teguran pada seseorang, bahkan tidak jarang engkau memusnahkan segala-galanya. Cuma sayangnya, teguran itu kadang-kadang kau alamatkan pada orang yang salah dan di tempat yang juga salah. Mengapa bisa begitu?"

Angin dingin sejenak berhenti. Alam seakan-akan sulit menjawab pertanyaan itu. Matahari semakin cemerlang. Laki-laki itu terpaksa berkali-kali memicingkan matanya.

"Huh, bukannya menjawab pertanyaanku, engkau malah menyakitkan mataku," kata laki-laki itu sambil berputar. Sekarang punggungnya yang kena sinar matahari.

Sejenak mata laki-laki itu terasa gelap. Berpindah dari terang ke gelap secara mendadak memang sering menyebabkan hal yang seperti ini. Ketika matanya kembali bisa menyesuaikan diri, pandangan laki-laki itu tertumbuk pada dinding rumah bambunya.

Tiga bulan yang lalu dia datang ke tempat ini. Dengan segenap tenaga dan kemauan yang keras, didirikanlah rumah bambu itu. Tujuannya cuma satu. Sebagai seorang sastrawan, dia ingin, meskipun mungkin tidak untuk selamanya, menetap di tempat yang sunyi, tenang, tidak terganggu oleh siapa pun dan apa pun.

Beberapa saat, tujuan untuk tidak tergangggu kesampaian tetapi ketika kesadaran akan kerusakan Alam yang disebabkan tangan-tangan manusia muncul di benaknya, ketenangan itu sirna seperti awan tersaput angin. Yang muncul dalam benaknya adalah kegeraman. Dia geram pada manusia-manusia tidak tahu diri itu, yang semata-mata karena nafsu serakah tega mengurbankan anak cucu sendiri.

Tidak terbayangkan oleh dirinya, manusia yang diciptakan sebagai penghuni dan pengelola bumi ini, bertindak justru berlawanan dengan maksud Sang Pencipta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun