Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Cerpen Filsafat: Trajodi Rastokal

3 Maret 2021   12:34 Diperbarui: 3 Maret 2021   12:54 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.dreamstime.com/photos-images/judge-jury-courtroom.html

Trajodi Rastokal
Tri Budhi Sastrio

Kebenaran dan Keadilan, itu mottonya
Jujur dan lurus apa adanya, itu sarananya.
Bagaimana kalau sulit dan tidak bisa?
Jangan putus asa, terus saja dicoba.

          Entah bagaimana ceritanya, bapak memberi nama seperti ini. Trajodi Rastokal. Ada yang memanggil Jodi, ada yang memanggil Rasto, jarang yang memanggil Tra apalagi Tokal. Dua nama panggilan terakhir ini memang tidak ramah telinga, apalagi telinga orang Jawa. Nama kok Tra. Nama kok Tokal. Telinga sakit mendengar panggilan semacam ini, tetapi Jodi dan Rasto oke karena memang ramah telinga. Sayangnya masalah ini tidak terpikir sampai masuk ke perguruan tinggi. Fakultas Hukum pilihannya karena menjadi pengacara itu biasanya bisa kaya raya, kata ayahnya.

          Beberapa mahasiswa senior yang menjadi panitia inkulturasi dan ospek mahasiswa baru memanggil aku dengan sebutan 'Tokal yang nakal' yang kemudian sering ditambah menjadi 'Tokal yang nakal dan binal'. Tentu saja menjengkelkan tetapi mau apalagi. Saat seperti itu kedudukan mahasiswa baru sangat lemah dan tidak berdaya. Mau mengadu ya mengadu pada siapa, mau protes ya protes pada siapa. Meminta perlindungan, juga pada siapa, tidak ada. Jadi ya diam saja. itu yang kurasakan paling aman. Hanya saja sejak saat itu aku mulai berpikir betapa penting sebuah nama.

Bagaimana kalau nama yang diberikan bapak atau ibu menjadi nama yang mudah diplesetkan untuk dijadikan olok-olok. Nama yang tampaknya normal dan elegan saja dapat dijadikan olok-olok apalagi kalau nama yang diberikan memang mudah diplesetkan sehingga dalam kondisi tertentu malah memancing masalah. Prapen Istanto contohnya. Ini nama yang indah elegan tetapi di tangan para senior yang sok berkuasa, bisa konyol yang memiliki nama seperti ini. Bukankah akan konyol luar biasa jika suku kata terakhir nama pertama dan suku kata pertama nama kedua digabung, lalu diucapkan berulang-ulang. Konyol tidak? Hancur tidak? Membuat telinga panas membara tidak?  

          Untung saja nama yang diberikan bapak dan ibu untuk aku masih lumayan bagus. Trajodi Rastokal. Kalau pun masih bisa diplesetkan tetapi plesetannya terbatas dan tidak terlalu merendahkan. Setelah resmi menjadi mahasiswa hanya beberapa teman yang masih ingat panggilan 'Tokal yang nakal dan binal', bahkan pada semester berikutnya mereka lupa. Panggilan untukku kembali normal. Jodi atau Rasto. Bukan Tokal.

          Begitulah sambil dengan susah payah menyelesaikan studi di Fakultas Hukum ada beberapa kejadian kecil yang tetap membekas sampai lama tetapi pengalaman yang paling membekas terjadi setelah lulus dan menjalani magang sebagai advokat muda. Betapa banyak orang bermasalah yang tidak mau mengakui kesalahannya dan mengerahkan segala macam cara untuk meringankan atau melepaskan diri.

          Berusaha melepaskan diri dari masalah tentu saja normal dan bisa diterima, tetapi jika sudah jelas-jelas menipu, semua bukti menunjukkan itu, semua saksi mengatakan itu, bahkan dia sendiri juga mengakui menipu tetapi tetap meminta pengacaranya untuk membalikkan keadaan sehingga tidak terlalu merugikan tetapi menguntungkan, ini kan tidak benar.

Tatkala diberi nasehat hukum agar tidak melakukan itu, dan berani bersikap jujur, terbuka, apa adanya, kemudian meminta maaf dan bernegosiasi mengembalikan semua kerugian yang ada, tahu apa akibatnya. Aku dipanggil pimpinan firma hukum tempat magang, dan esoknya sudah tidak bertugas lagi.

          'Lho kenapa, pak?' tanyaku polos.

          'Tidak apa-apa tetapi klienmu tidak suka caramu, dan itu hak dia.'

          'Tetapi orang lain yang akan ditugaskan toh akan memberikan nasehat seperti nasehat yang saya berikan.'

          'Hahaha ... kamu ini ...'

          Cuma tertawa semacam itu yang kuterima. Tidak ada penjelasan lainnya. Setelah beberapa kali mengalami kejadian yang hampir serupa dan beberapa kali pula diganti karena klien tidak lagi menghendaki, perlahan mulai ngeh juga. Ternyata nasehat untuk berkata jujur, apa adanya, ringan mengaku, mau bertanggung-jawab, dan yang sejenis, tidak disukai oleh banyak orang. Sebuah realita yang mengusik nurani mengganggu kalbu. Begitulah, semakin lama menekuni pekerjaan advokat semakin banyak potret buram seperti ini tidak hanya dirasakan dan dilihat dengan mata kepala sendiri tetapi juga menggempur kesadaran dan idealisme.

          Mengapa nasehat untuk jujur dan terbuka, untuk bicara apa adanya dan mengakui semua kesalahan, untuk tetap rendah hati dan bersahaja, untuk tetap lurus dan menghilangkan semua pikiran jahat, menjadi sesuatu yang amat sulit untuk diterima? Juga mengapa banyak sekali teman-teman seprofesi yang melakukan hal sebaliknya? Bukannya menganjurkan untuk jujur dan terbuka bagi para kliennya tetapi malah mendukung tipu-tipu dan dusta, mendukung bohong dan rekayasa? Benar-benar sulit dipahami  oleh si Jodi, sulit dimengerti oleh si Rasto.

          Bagaimana motto 'kebenaran dan keadilan harus ditegakkan walau langit runtuh' bisa dilakukan kalau para advokat dan pengacara tidak mau ikut serta bahu membahu melakukannya? 

          Setelah berulang merasakan dan bertahun-tahun mengalami sendiri, sebuah kesadaran tiba-tiba muncul begitu saja.

          Jika ingin kebenaran dan keadilan benar-benar ditegakkan, profesi advokat mungkin tidak terlalu tepat lagi. Mereka seringkali tidak berdaya di tengah-tengah gempuran beragam kepentingan, apalagi mereka itu pada dasarnya sangat tergantung pada klien-nya, sangat tergantung pada orang yang dibelanya, sangat tergantung pada mereka yang memerlukan jasanya.

          Aku harus mencari profesi lain, profesi yang memungkinkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan tanpa perlu tergantung pada orang lain, pada pihak lain, kecuali pada hukum dan nurani dan kesadaran diri pribadi.

***

          Tidak apa kembali menjadi 'Tokal yang nakal' jika dengan ini kebenaran dan keadilan dapat benar-benar dibela dan ditegakkan. Bahkan juga tidak apa menjadi 'Tokal yang nakal dan binal' jika dengan ini sikap yang lurus dan jujur dapat ditegakkan. Seperti menegakkan benang basah? Mungkin saja tetapi itulah yang akan kucoba sebisaku, kata si Tokal yang nakal dan binal berulang-ulang pada dirinya. (SDA-03022021-087853451949)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun