Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Kabut Puncak Bromo

26 Februari 2021   17:44 Diperbarui: 27 Februari 2021   07:35 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Bromo (Sumber: ooaworld.com)

Uang aku memang perlu tetapi tidak akan mengorbankan kebebasan dan kedamaian kalau cuma untuk uang. Apalagi karier. Secuil benang bajuku pun tidak akan kukorbankan kalau cuma untuk karier.

Wajah manis istri bos-lah yang selama ini berhasil menahan langkahku untuk pergi meninggalkan kantor itu. Aku tidak ingin memilikinya. Aku tidak ingin berbuat serong dengannya. Aku tidak ingin merebutnya dari tangan suaminya, yang memang belum tentu bisa. Yang kuinginkan cumalah memandang, bisa menikmati, bisa mengagumi, Karena bukankah kecantikan seorang wanita adalah bagian dari kecantikan alam?

Bukankah kecantikan seorang wanita adalah karunia tertinggi bagi seorang pria? Bukankah kecantikan dan keindahan wajah seorang wanita tidak perlu kalah cuma disandingkan dengan panorama alam yang paling indah sekalipun?

Itulah yang menahan langkahku dan sekarang, sama sekali tidak terduga terjadi peristiwa semacam ini. Otakku berputar cepat mencari jalan kelua yang terbaik.

Sementara itu, kabut-kabut di puncak Bromo yang tadi bisa begitu damai dan indah, sekarang berubah. Mereka seakan-akan mengejek. Mereka seakan-akan menantangku. Menantang akalku, menantang otakku, untuk mengatasi peristiwa ini.

Aku terpaku, sementara rombongan gadis centil itu sedang menunggu tindakanku selanjutnya. Aku benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Meminta bantuan kabut-kabut di puncak Bromo yang sekarang berbalik mengejekku itu? Percuma!

Lamat-lamat, beberapa kalimat dari gadis-gadis centil itu sampai di telinga. Mereka mulai pulih keberaniannya melihat aku berdiri terpaku seperti orang linglung.

"Eh, dia mati kutu menghadapi, Rini ...."

"Mungkin wajah Rini yang cantik menaklukkan dia!"

"Atau siapa tahu si edan ini tiba-tiba jatuh cinta pada Rini ..."

Kemudian disusul oleh tertawa cekikikan. Sialan!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun