Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Kabut Puncak Bromo

26 Februari 2021   17:44 Diperbarui: 27 Februari 2021   07:35 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Bromo (Sumber: ooaworld.com)

Gadis-gadis itu bukannya menjawab pertanyaan, mereka malah bergerombol semakin rapat dan saling berbisik, bahkan ada yang tertawa cekikan segala. Tentu saja aku semakin penasaran dan jengkel.

Eh, rupanya anak-anak kecil ini belum kenal siapa aku. Coba tanya anak buahku di kantor, siapa atasan paling galak terhadap wanita. Pasti mereka akan menjawab aku. Pernah aku memarahi tukang ketik di kantor, seorang wanita yang masih muda dan manis tetapi apa peduliku dengan wajah manis seorang gadis. Lebih dari dua jam dia kusemprot. Gadis itu kubuat terpaku di depanku, dan esoknya tidak masuk sampai tiga hari.

"Hai, kalian tidak mendengar pertanyaanku?" gertakku dengan suara keras, membuat sebagian dari mereka yang cekikikan menghentikan tawanya.

Melihat gertakanku berhasil, aku semakin garang.

"Kalian kurang mendapat pelajaran sopan-santun di rumah di sekolah, sekaranglah waktunya kalian kudidik sedikit bersikap sopan. Ayo, siapa yang usil dan kurang ajar tadi? Jangan paksa aku bertindak keras pada kalian, dan camkan ini, aku tidak segan-segan bertindak kalau kalian memang memaksaku. Sekarang, siapa yang berkata tadi, maju ke depan sini, aku ingin melihat tampangnya."

Mata kubelalakkan lebar-lebar, tangan kukepal erat, bibir kugerak-gerakkan seperti sedang menahan marah. Pokoknya aku tidak ingin gagal mengatasi gadis-gadis cilik yang kurang ajar ini.

"Hai!" teriakku lagi, setelah kutunggu beberapa saat dan tetap tidak ada yang maju. "Apa aku harus menyeret kalian satu persatu dan menampar mulut kalian, hah?"

Tetap tidak ada yang bereaksi tetapi kulihat muka mereka berubah tegang. Rupanya aktingku tidak mengecewakan. Tekanan ini tidak boleh dikendorkan karena keberhasilan cuma tinggal selangkah lagi.

"Ingat nona manis!" kataku dengan geram sambil menuding mereka semua dengan telunjukku, yang ketika kuperhatikan sendiri ternyata tidak lurus itu. "Kesabaranku hampir habis. Akan kuhitung sampai tiga, kalau si pengecut itu tidak juga berani tampil ke depan, berarti yang lain juga akan menjadi korban. Aku tidak akan ragu-ragu menampar mulut wanita kurang ajar, seperti yang selama ini telah biasa kulakukan."

Untuk pernyataan yang terakhir ini terus terang saja aku berdusta karena jangankan sampai menampar mulut seorang gadis, menyentuh bibir seorang wanita pun belum pernah kulakukan. Sumpah mati, sungguh betul ini!

"Satu ...!" teriakku dengan lantang, mulai menghitung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun