Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Kabut Puncak Bromo

26 Februari 2021   17:44 Diperbarui: 27 Februari 2021   07:35 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Bromo (Sumber: ooaworld.com)

Kulihat muka pimpinan perusahaan berubah kurang senang. Aku tahu, tipe orang yang satu ini paling tidak suka kalau keinginannya dibantah tetapi aku tidak peduli. Bahkan kalau seandainya dia bersikeras, aku pun akan lebih bersikeras. Kalau perlu, resiko dipecat pun aku sudah siap.

"Ya, ya, cuti tahunan memang dua belas hari!" katanya tetap dengan menunjukkan rasa tidak senangnya. "Tetapi tidakkah mau mempertimbangkan kepentingan perusahaan kemudian baru ..."

Aku memotong kata-katanya tetapi kali ini dengan gelengan kepala.

"Baiklah," kata pimpinan perusahaanku akhirnya, sedangkan mukanya berubah memerah. "Kalau memang kepentingan perusahaan sama sekali tidak bisa mengubah rencanamu, aku tidak bisa apa-apa tetapi ingat, kesan baik karena prestasi kerja, mungkin akan berkurang."

Aku membalas pernyataan berisi ancaman itu dengan senyuman, karena aku ingin menunjukkan jangankan cuma ancaman semacam itu, bahkan ancaman pemecatan sekali pun tidak akan menggoyahkanku.

"Tidak apa, pak!" kataku sambil bangkit dari duduk. "Sekarang saya permisi dulu, pak!"

Pimpinan perusahaanku tidak menjawab tetapi apa peduliku. Yang penting, ini adalah hakku.

***

Udara di kawasan gunung Bromo memang bersih dan segar. Bahkan sejak turun dari angkutan umum yang mengantarkanku ke desa di kaki gunung Bromo, hal itu sudah terasa. Suasana alam yang nyaman menyadarkanku akan sesuatu. Baru sekarang terasa betapa besar bedanya suasana alam yang segar ini dengan suasana kota yang pengab dan gerah. Apalagi jika dibandingkansuasana di kantor tempatku bekerja. Hoo, seperti surga dengan neraka layaknya. Begitu berbeda, begitu bertolak belakang.

Di sini, di alam yang tenang ini, di antara kabut-kabut, di antara kersik pohon yang hijau, di antara kicau burung yang merdu, di antara sapuan lembut sang bayu, yang terasa cumalah kedamaian dan kedamaian. Damai suasananya, damai lingkungannya, dan damai di hatiku.

Sedangkan di kota, apalagi di kantorku, bukan main. Panas, tidak menyenangkan, dan sama sekali tidak ada kedamaian. Paling-paling yang terlihat, meskipun tidak terang-terangan, adalah rasa iri, gosip, kecemburuan, dan saling sikut demi keuntungan diri pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun