Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Gurat-Gurat Guram

24 Februari 2021   11:13 Diperbarui: 24 Februari 2021   13:08 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: fineartamerica.com

Anna menggelengkan kepalanya keras-keras. Entah untuk membantah kata-kata suaminya, entah untuk mengusir rasa pedih di hatinya. Kemudian, sambil terus mencoba untuk tidak terisak, Anna berbalik dan berlari ke kamarnya. Anton mendengus hina.

"Bah, semakin sebal saja aku sekarang!" kata Anton dengan suara cukup keras untuk didengar tetangga. "Sedikit-sedikit menangis. Sedikit-sedikit mengeluarkan air mata. Apa dengan menangis dan mengeluarkan air mata aku lalu menjadi kasihan? Tidak bakalan begitu!"

Di kamarnya Anna duduk terpekur di meja tulis. Sebuah buku tulis tebal tampak terbuka sementara air mata meleleh jatuh dan beberapa butir di antaranya tepat jatuh di buku tulis yang terbuka. Cairan bening itu melebar dan membesar, seakan-akan hendak mengabarkan pada si empunya begitulah selalu nasib seorang wanita.

Bila penderitaan dan kepedihan datang tak ada lagi hiburan yang bisa menawarkan. Bila masa-masa indah berubah menjadi kelam maka kepedihan yang akan muncul. Sekarang apalagi yang akan dituangkan ke kertas bernoda air mata di depannya jika bukan tentang kepedihan?

Tiga hari yang lalu marahnya tentang bersin, sekarang tentang sepatu. Duh Tuhan, berapa lama lagi aku masih bisa bertahan? Berapa lama lagi hati ini mampu menampung semua cacian dan makian? Kalau tidak karena janjiMu sendiri bagaimana mungkin aku masih tetap berdiri dengan kaki yang telah goyah ini? Bertahanlah sampai ke batas terakhir, begitulah SabdaMu yang selalu membuat aku kembali berdiri tegak pada saat-saat hendak menyerah.

Semoga pelita yang Kau letakkan di hatiku akan selalu bersinar. Jangan padam sebelum aku melangkah sampai ke batas terakhir. Ya, jangan padam. Sinarmu boleh berubah menjadi guram tetapi hendaknya jangan padam.

Dua titik air matanya kembali jatuh seakan-akan hendak menjadi penutup bagi kepedihan hatinya. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka. Anton berdiri tegar di ambang pintu. Anna cepat-cepat berdiri, berbalik dan tidak sempat mengusap air mata di pipinya.

"Jangan ulangi lagi kesalahan yang sama," kata Anton sambil menuding dengan mata masih menyemburkan api kemarahan. "Kau jangan berharap aku akan membiarkan kesalahanmu, tidak juga meskipun engkau menumpahkan seluruh air matamu di hadapanku. Mengerti?"

Tubuh Anna kembali bergetar.

"Aku tidak ingin setiap kali memberi perintah selalu kesalahan yang diberikan padaku. Apakah engkau memang cuma bisa? Setelah tidak mampu memberiku anak apakah memberiku tindakan yang tepat sesuai dengan perintahku engkau juga tidak bisa?"

Kali ini Anna tersentak. Anak? Bernarkah suaminya mengatakan tentang anak? Jadi selama setahun ini suaminya begitu berubah cuma karena anak? Tetapi bukankah dia sendiri yang memutuskan untuk membuang rahimnya atas saran dokter? Bukankah dia sendiri yang memutuskan lebih baik kehilangan rahimnya daripada kehilangan dirinya sama sekali?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun