Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Essi Nomor 311: Tameng di Muka Topeng di Dada

6 Desember 2020   08:48 Diperbarui: 6 Desember 2020   08:52 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://fineartamerica.com/featured/bima-fight-with-dragon-muhammad-ali-zakki.html

Essi no. 311 - Tameng di Muka Topeng di Dada

Semakin dekat turun tahta, ya semakin banyak yang tertawa.
Entah memang sudah suratan entah memang itu kualitasnya,
Yang jelas yang terpingkal-pingkal sampai berlinang air mata
Ternyata semakin banyak saja, benar-benar heboh nih dunia.
Awalnya, harapan membubung tinggi menjulang ke angkasa.
Dulu memang dianggap lamban walau badan besar perkasa.
Juga dianggap peragu mendekati takut, padahal dia itu Bima.
Lalu dianggap pengecut karena tak berani ambit resiko dunia.
Tapi harapan orang-orang sederhana kembali meninggi jaya
Manakala sang penghuni istana menyatakan gagah wibawa
Bahwa rakyat Indonesia berhak untuk langsung dan rahasia
Memilih pemimpinnya tak hanya yang akan menghuni istana
Tetapi juga yang ada di provinsi, kabupaten dan kota madya.
Bravo Bima teriak orang-orang sederhana cetar membahana,

Walau kami sempat ragu serta tidak percaya ... eh akhirnya,
Muncul juga sabda dan titahmu yang sejagat pendukungnya.
Pilih langsung harus tetap ada di seluruh telatah nusantara
Karena dengan ini daulat rakyat itu dapat tetap rapat terjaga.
Semua lega dan gembira, iringi kunjungan kerja tiga negara.
Selamat Bima, buatlah semua negara bangga pada bangsa,
Bangsa bermartabat berdaulat, kembang dada tegak kepala.
Engkau juga pantas jika bertekad mengabdi di mancanegara.

Lalu ... lalu dunia serasa kiamat, demokrasi pun ikut pralaya
Mengapa? Karena engkau Bima ternyata asyik bermuka dua.
Bima itu harusnya tak boleh bersandiwara apalagi pura-pura.
Langkahnya harus lurus bersahaja, ucapannya tegas terbuka.
Jangan seperti sekarang ini, berlagak aktor lalu bersandiwara.
Sialnya karena tameng di pasang di muka dan topeng di dada
Maka semua isi dada terbuka lebar dan isinya ke mana-mana.
Walau muka yang dua berhasil diredam sirna oleh tamengnya,
Tapi dada seluas jagat semesta malah terkuak lebar terbuka.
Dikau boleh berada nun jauh di belahan dunia bersalju sana,
Tetapi dengan gaya norak kampungan, lalu bagaimana bisa
Menipu kami semua ... yah, engkau ini bodoh juga rupanya.
Ibaratnya engkau ini seperti burung onta, dikala lihat bahaya,
Segera mencari tempat area guna menyembunyikan kepala.
Lalu akhirnya terasa aman sentosa, sementara pantat mega
Bergoyong-goyang tunjukkan rasa dusta dipenuhi rekayasa,
Lalu merasa bahaya tak berdaya dan bisa membuat celaka.
Bahaya mungkin diam saja, tetapi itu lho pantatnya terbuka.  
Tameng itu ya pasang di dada, Bima, jika topeng ya di muka.
Jangan dibalik karena jelas akibatnya, semua orang tertawa.

Gerombolan penipu bangsa, setelah tampak gagah perwira
Perjuangkan kehendak rakyat ditambah sepuluh syaratnya,
Lalu berkata tidak ada yang mendukungnya, walau ada tiga,
Ya tiga fraksi berkata berapi-api bahwa mereka berkata ya,
Lalu terus berkata bahwa tak ada yang mendukung mereka,
Lalu akhirnya si juru bicara yang gagal menjadi penguasa
Dengan lantang berkata bahwa fraksinya jalan ke luar saja,
Tidak memihak yang di sini ... tidak memihak yang di sana.
Yah ... lebar pantat bak sabana, tinggi gunung seribu mega

Begitulah jika main sandiwara, ujung-ujungnya bohong dusta.
Lalu babak berikutnya, setelah palu terlanjur diketok di meja.
Bima yang ada di ibukota negara adidaya menyatakan kuciwa
Atas gerombolan perompak yang dipimpinnya, mereka itu gila.
Diminta memilih pemilukada langsung eh ... malah diam saja,
Lalu melangkah ke luar seenaknya, tak ada martabat wibawa.
Saya berduka, saya kuciwa, katanya, lalu ia telpon ketua MK,
Lalu minta nasehat seorang laksamana, Cheng Ho namanya,
Lalu berminat menggugat, lalu merasa berat tandatangannya,
Lalu pidato di mana-mana, bahwa itu semua bukan salah dia.
Yah ... Bima ... Bima ... kau ini bagaimana ... atau keliru ya?
Jangan-jangan nama Bima itu terlalu berat dan terlalu mulia.
Postur badan mungkin sama, tetapi kelakuannya, yah bd.
Tubuh mungkin Bima tapi kelakuan kok mirip si Dursasana,
Yang begitu bodohnya sehingga tidak pernah sadar terjaga
Betapa tindakannya mempermalukan Drupadi dalam istana
Bukan saja ditentang orang waras di istana tetapi juga dewa.
Dursasana terus saja menarik busana buka aurat puteri jelita.
Tenaga habis nafas terengah, Pancali tetap larut dalam puja,
Busana pintalan dewa terus menjaga martabat wanita utama,
Sementara Dursasana terus mempertunjukkan kebodohannya.
Tetap tak sadar walau gulung busana menumpuk depan dia.

Dari dulu sebenarnya sudah jelas gejala bodoh si Dursasana
Cuma karena kami terlanjur percaya bahwa engkau ini Bima,
Kami terus berharap dan memuja, engkau pemimpin bangsa.
Kala sekutu yang katanya setia tetapi uang sapi diembatnya
Mencoba main api dengan martabat wibawa kepala negara,
Engkau sempat mengancam ambil tindakan layaknya satria,
Tetapi sampai menjelang semuanya usai serta kuasa sirna,
Tidak satu pun ancaman jadi nyata, semua tipu-tipu belaka.
Padahal jika benar Bima, yang sabda dan krida selalu sama,
Pasti sang pembangkang dihajar sampai tinggal kentutnya.
Sekarang kejadian yang hampir sama terulang depan mata.
Gembor-gembor nyatakan memihak daulat rakyat semesta,
Eh, gerombolan kecoa pimpinannya jalan pergi begitu saja.
Bukankah rasanya aneh jika wanita yang di fraksi jadi ketua
Begitu perkasa dan berwibawa sampai putuskan begitu saja
Tanpa perlu repot-repot berkonsultasi dan minta ijin segala?
Kecuali ya itu tadi, yang paling atas eh ternyata bukan Bima
Melainkan Dursusana, yang hanyalah orang nomer urut dua
Di bawah sang Duryudana yang baginya Sengkuni itu sabda.

Ketua fraksi yang jelita pasang badan guna lindungi bosnya,
Sementara sang bos terus saja gigih melanjutkan sandiwara
Betapa dia sangat tidak ingin rakyat dirampas hak politiknya,
Dan juga tidak ingin UU Pilkada masuk ke lembaran negara.
Tetapi rakyat tampaknya benar-benar terlanjur tidak percaya,
Sehingga usaha yang rasa-rasanya agak tidak tulus adanya,
Jangankan dihargai, tidak diejek habis sudah lumayan rasa.
Harapan dan rasa percaya benar-benar hampir hilang sirna.
Engkau bukan lagi Bima, engkau ini burung onta Dursasana.

Tri Budhi Sastrio -- Essi 311 -- SDA30092014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun