Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Essi nomor 309: Menghajar Guru Penipu di Ibukota

5 Desember 2020   17:58 Diperbarui: 5 Desember 2020   17:59 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.noodle.com/articles/love-art-hate-pretentious-art-people-become-an-art-teacher

Essi no. 309 - Menghajar Guru Penipu di Ibukota

Di atas bus umum ke arah kota Nganjuk, tak sengaja terbaca

Sayembara gubah lagu bagi guru, prakarsa lembaga negara,
Dan sang guru bantu sekolah swasta, bulatkan nurani sukma
Menggubah tembang mulia guna serta semarakkan suasana.
Tentang isi tak perlu bertanya rupa-rupa atau ke mana-mana.
Cukup tengok kembali riwayat ia yang bahkan tak tamat SMA,
Lalu bekerja di Lokananta, lalu akhirnya sebagai guru swasta.
Semua lengkap ada di sana ... ya patriot, ya embun, ya pelita,
Walau di ujungnya, jangankan harta, tanda jasa saja tak ada.
Tapi itu masa mungkin saja ia lega serta bisa tertawa bahagia,
Karena tipu-tipu bohong dusta tak pernah menjadi kosa kata.
Bangga bahagia mungkin itu yang ada dalam jiwa sederhana
Hingga semua guru pantas dipuja-puja laksana pelita cahaya,
Pantas pula ia sebagai embun mutiara pelepas haus dahaga.
Ya, mereka semua patriot pahlawan pembela bangsa negara
Walau di saku tak ada dana, walau di dada tak ada tanda jasa.

Tapi sayang itu dulu, ya dahulu kala manakala godaan dana,
Atau harta, atau apa saja yang dikemas oleh pejabat negara,
Profesi lah, kompetensi lah, sertifikasi lah, yah banyak nama,
Tidak gencar merasuk ke relung-relung terdalam sukma jiwa.
Para pendidik yang sebenarnya sudah tenang serta bahagia
Akhirnya tak hanya tergoda tapi juga tercemar idealismenya.
Iming-iming dana asal bisa penuhi persyaratan profesi mulia
Yang kadang kala tidak hanya merepotkan para guru biasa,
Yang sederhana dan hidup tenang di kampung dan di desa,
Tetapi bahkan juga para pelita yang sudah lama ada di kota.
Dan akibat lanjutannya benar-benar dahsyat serta luar biasa.
Tidak hanya tipu-tipu, tidak hanya dusta, tetapi juga angkara.
Bayangkan saja, hanya karena ulah segelintir pejabat negara
Yang sok jagolah, yang sok pintarlah, dan yang sok berkuasa
Puluhan ribu umar bakri sederhana mengubah citra dan gaya.
Seharusnya dana yang ada berikan saja dengan cuma-cuma,
Lalu setelah itu dorong mereka berkarya layaknya para dewa.

Bagaimana tak terasa mengada-ada dan sontoloyo namanya
Jika guru desa di pedalaman sana, yang selama ini terbiasa
Memberi teladan lurus, jujur, serta bersahaja pada muridnya
Baru kemudian ajarkan ilmu pengetahuan dari alam semesta,
Dipaksa menulis karya ilmiah muluk-muluk mainan para dewa
Lalu jika perlu hendaknya dikabarkan ke seantero mayapada
Di jurnal-jurnal ilmiah yang berkibar-kibar di langit dunia maya?
Bah ... benar-benar sangat kurang ajar dan tak adil namanya,
Jika yang begini ini jadi syarat guna peroleh tambahan dana,
Karena tahu apa akibatnya? Lahirlah penipu serta pendusta.
Ini baru akibat dahsyat satu persyaratan dari para penguasa
Belum lagi persyaratan lainnya, yang jangankan bagi mereka
Bagi yang sudah mapan di kota saja, akibatnya juga luarbiasa.
Syarat administrasi saja bisa mengubah embun pelita mulia
Menjadi penipu pendusta, menjadi maling perompak durjana,
Apalagi syarat tak sekadar administrasi, akademik namanya.
Ayo sekarang balik saja prosesnya ... berikan dulu uangnya
Baru kemudian ajak orang-orang sederdana berani berkarya.
 
Sejernih tirta, sebening kaca, sehalus sutera, seharum bunga,
Bukankah begitu seharusnya gambaran mulia para guru kita?
Lurus laksana bambu, tegar laksana kibar bendera angkasa,
Jujur tanpa dusta laksana Yudhistira, sederhana bak pertapa,
Bukankah itu gambaran yang selama ini nyata dalam realita?
Lalu tiba-tiba hanya karena ingin dana yang konon kabarnya
Lebih banyak dinikmati oleh para ponggawa negara tercinta,
Sementara yang dari swasta hanya terima ampasnya saja,

Ratusan guru mengubah diri jadi penipu dan pendusta hina.
Hanya karena ingin sekali mendapatkan SK bermakna dana
Padam sudah pelita, sirna sudah kilau mutiara, dan gantinya
Caci maki serta murka datang silih berganti dari mana-mana.
Duh ... guru mulia, mungkin negara berperan buat ini dosa,
Tetapi bukankah engkau ini patriot bangsa, embun dahaga,
Pelita cahaya, abdi mulia, pendarma bakti sepanjang masa?
Bagaimana bisa hanya segepok dana membuat kalian buta?

Contoh terbaru datang dari ibukota, dari sang idola yang Cina.
Ratusan guru honorer tanpa ampun iba, langsung dipecatnya.
Gaya DKI-2 disuka banyak warga ibukota, rona penuh makna.
Mengganti dan memecat punggawa yang digaji rakyat jelata,
Tapi kerjanya kalau tak berdusta ya merompak dana negara
Mendapat acungan jempol di mana-mana, ayo lanjutkan saja.
Rasa iba tentu saja ada, gaji sudah kecil eh kena pecat juga,
Padahal gara-garanya kan sistem warisan para pejabat lama.
Jadi saran yang paling sederhana untuk bung Ahok perkasa,
Bagaimana kalau untuk DKI segera ubah saja, semua dana,
Dana pendidikan tentu saja, berikan juga pada guru swasta
Khususnya bagi mereka yang jangankan hidup layak mulia,
Untuk bisa lewati minggu kedua saja susahnya luar biasa?

Jika sudah mendapat dana tanpa ada persyaratan segala,
Lalu kompetensi, integritas dan kinerja tidak naik-naik juga,
Barulah kungfu serta silat ala Cina gunakan gebuk mereka.
Dan bukan itu saja, yang sudah mapan menjadi punggawa,
Dibayar teratur setiap bulannya menggunakan dana negara,
Pastilah banyak yang juga tipu-tipu, bohong serta berdusta.
Ya guna dapatkan SK-nya, ya sertifikasinya, ya laporannya.
Mereka juga harus ditindak walau kejadiannya sudah lama.

Inilah guru kecil yang terpaksa berdusta demi lapar dahaga.
Lalu bagaimana dengan guru di atasnya, dosen namanya?
Ternyata banyak juga, yang lurus serta jujur tentu saja ada,
Tapi yang maling perompak pendusta tak kurang jumlahnya.
Bahkan kelompok ini, karena lebih canggih cara menipunya,
Banyak yang tenang aman sentosa seperti tak ada apa-apa,
Padahal tipu-tipunya mungkin jauh lebih dahsyat tak kentara.
Guru kecil, guru sedang, sama saja hanya beda kualitasnya,
Lalu bagaimana guru besar yang bertahta di puncak menara?
Jika catatan statistik yang menjadi acuannya, ha ... ha ... ha
Yang menjadi maling, perompak serta pendusta, ada juga.
Atau jangan-jangan memang itul takdirnya, semua merata?
Menjadi pendusta, menjadi maling, padahal itu guru semua.
Yah lalu bagaimana nasib bangsa jika para guru berdusta?

Tri Budhi Sastrio -- Essi 309 -- SDA24092014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun