Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kasidi nomor 521, Cara Cerdas Meredam Huru-hara

19 April 2019   09:43 Diperbarui: 24 April 2019   13:51 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kasidi no. 521     Cara Cerdas Meredam Hura-Hara

Melalui telepati imajinasi dalam dunia maya virtual, Kasidi yang 'ndeso' dipanggil presiden ke rumah jalan Kertanegara, diajak makan siang. Tentu saja Kasidi terkejut tetapi kan tidak mungkin menolak. 

Bagaimana bisa menolak dipanggil seorang presiden, meskipun sepertinya baru saja kemarin presiden yang satu ini melantik dirinya sendiri. Kasidi diminta menunggu di sofa. Ruang tamunya boleh juga, bagus dan luas. Apa kabar, pak Kasidi, katanya ramah sambil melenggang mendekat. Baik pak, kata Kasidi sambil bangkit dari duduk dan sedikit membungkuk.

Sebentar lagi kita makan siang bersama, katanya ramah sambil duduk. Saya sudah membaca Kasidi nomor 519 dan 520. Saya bisa menerima yang 519 dan hampir saja mengikuti saran yang 520, tetapi tidak jadi. Baik, pak, tidak apa-apa, mencoba memotong dengan suara pelan. Bahkan saya justru melakukan yang sebaliknya, presiden melanjutkan dengan suara tegas, menyatakan diri sebagai presiden. Kasidi tahu alasannya?

Saya tatap mata presiden baru ini dengan tatapan khas orang desa. Boleh saya berterang pak, tanpa tedeng aling-aling. Ya silahkan. Kasidi boleh bicara apa saja, toh selama ini bukankah memang sudah begitu? Ya pak, dan terpaksa tersenyum. Baik pak, jadi begini, kemudian meluncurlah dari mulut Kasidi apa yang dirasakan selama ini ditambah dengan apa yang dibaca dalam medsos akhir-akhir ini.

Bapak ini kalau bukannya disebut bodoh, tidak tahu diri, arogan, otaknya tidak beres, bahkan banyak yang menganggap sebagai pengidap 'megalomia sindroma', itu yang saya tangkap pak. Saya sendiri sempat beranggapan seperti itu, seperti yang saya nyatakan dalam Kasidi 519 dan 520, tetapi setelah manuver terbaru bapak dengan menyatakan diri sebagai presiden, pikiran sederhana khas orang desa ini jadi bertanya-tanya. Apa benar bapak seperti itu?

Presiden tersenyum. Menurut Kasidi benar atau tidak yang dikatakan orang tentang saya? Kasidi menatap mata bening sang jenderal berbintang tiga, sang  mantan Danjen Kopassus, mantan menantu orang nomer satu selama 32 tahun di negara ini. Saya mulai meragukan apakah bapak ini benar-benar bodoh. Mata bening bapak kok sepertinya mengatakan sebaliknya.

Kasidi benar. Saya mungkin bukan orang yang sangat jenius tetapi jelas tidak bodoh. Saya bukan orang bodoh, pak Kasidi, bukan orang bodoh. Kalah sekali lagi dalam pemilu bukan apa-apa bagi saya, tetapi tahukah pak Kasidi betapa militan dan 'gilanya' pengikut saya yang sekarang. Mereka rela mati, bahkan kalau perlu membakar dan menghancurkan negara ini, jika saya tidak menjadi presiden. Saya memang bisa berteriak mencegah mereka, tetapi teriakan itu pasti dianggap angin lalu. TNI dan polisi memang bisa membasmi mereka, tetapi jika jumlahnya puluhan juta, apakah layak dan pantas? Tentu saja tidak, dan ini tidak boleh terjadi. Mereka harus diyakinkan dan dipuaskan, bahwa saya telah menjadi presiden. Mereka sekarang akan tenang pak Kasidi, karena saya telah menjadi presiden. Tapi pagi ada ratusan orang antri di sini, memberi hormat secara militer dan menyapa saya dengan kata-kata SELAMAT PAGI DAN SIAP BAPAK PRESIDEN. Besok pasti lebih banyak. Lusa juga ...

Tetapi itu kan hanya sebulan pak presiden, potong Kasidi, apa yang akan terjadi nanti jika KPU mengumumkan secara resmi hasil pemilu yang biasanya tidak berbeda jauh dengan hitung cepat? Hitung cepat sudah ribuan kali dilakukan di negeri ini dan tidak pernah sekalipun salah, pak ... Hehehe, memangnya aku tidak tahu itu pak Kasidi, tentu tahulah. Itulah sebabnya hampir saja kemarin, setelah membaca Kasidi nomor 520,  hampir saja kugesek layar smartphone dan mengucapkan selamat pada Istana Negara.

Kasidi diam menunggu. Selama sebulan mereka dapat memberi hormat dan memanggil aku presiden, kukira itu cukup bahkan bagi orang yang paling gila dan militan sekalipun. Aku sudah menjadi presiden mereka. Rencana huru-hara dan bakar-bakar yang ada di benak mereka aku yakin sudah akan terpuaskan dan mereda lalu hilang. Negara ini lebih penting dari aku, pak Kasidi. Tidak apa aku dianggap gila, idiot, sinting, mengidap megalomania sindroma, atau apa saja, yang penting negara ini tetap utuh, aman, sejahtera. Apa sih arti satu orang dibandingkan dengan keutuhan negara dengan penduduk 250 juta jiwa lebih ini? Apalagi aku ini seorang TNI, seorang jenderal berbintang tiga, yang berkorban bagi bangsa dan negara adalah aliran darah dan denyut jantungnya. Adalah hal yang biasa bagi kami para prajurit mengorbankan diri untuk bangsa dan negara ...

Kasidi tersenyum. Ternyata apa yang diduganya tidak salah. Kemudian, bolehkah saya tuliskan ini semua dalam Kasidi nomor berikutnya. Ya silahkan saja, meskipun aku tidak ingin mengumbar ke banyak orang tindakanku ini. Jangan khawatir pak presiden, Kasidi toh tidak akan dibaca oleh jutaan orang, sehingga rencana rahasia bapak akan terbongkar, tetapi hendaknya pengorbanan semacam ini dicatat, sehingga jika suatu ketika nanti di masa depan para ahli sejarah ingin mengetahui kebenaran di balik tindakan bapak yang dianggap bodoh, tidak tahu diri, dan sakit jiwa ini, ada referensi yang dapat digunakan. Referensi otentik, referensi 'real count' ... hehehe, bagaimana bapak presiden? Dia hanya tersenyum dan pembicaraan beralih ke makan siang. Prabowo makan siang di rumahnya, Kasidi makan siang di rumahnya.   Kasidi no. 521 -- 087853451949 -- SDA19042019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun