Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Essi nomor 062 - Mendaras Laras Kapas-kapas

29 November 2017   10:38 Diperbarui: 29 November 2017   12:27 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: clipart-library.com

Mendaras Laras Kapas-Kapas

Inilah kisah para utusan surga yang tegas dan lugas
Yang sengaja turun ke bumi, guna daras laras-laras.
Semua indah penuh harmoni iringi tawa lepas bebas
Karena memang sangatlah menyenangkan ini tugas.
Dikisahkan mereka turun santai, tak perlu bergegas
Karena tugas telah jelas berbanjar-banjar mendaras
Membahanakan nyanyian surga, lantang serta laras
Untuk menghibur serta menina-bobokan paras limas
Yang tampan berpadu dengan yang jelita satu nafas
Lepas, berbingkai mega-mega kapas, seputih kanvas.
Kemudian kala sebagian mahluk mulai tertidur pulas
Sedangkan senyum lebar bernada damai, menghias
Sudut-sudut bibir paras, tenang berbatas jiwa puas,
Dan sutera perentang nada laras, semakin meluas
Meretas, tidak hanya langit serta bumi bagian atas
Melainkan juga, teras relung-relung nurani pemuas.
Di kejauhan sana ada kereta melintas di tapal batas,
Hantar sukma jiwa meretas ke atas, tak kenal tuntas.
Sayangnya itu dulu, tatkala daras laras kapas-kapas
Tetap dianggap deras pancarkan gelombang vitalitas.

Kini tembang yang harusnya merdu mendayu bebas
Entah mengapa jadi sumbang nada pancaran cemas
Bukan karena pemusik atau penyanyi silau berbekas
Atau tak terampil mengolah nada suara lintas batas
Tapi karena jiwa dan sukma pendengarnya meretas
Berkas-berkas, petanda sedang galau akibat terlibas.
Bagaimana tidak? Sengketa di mana-mana, meluas.
Penyebabnya kadang buram sama sekali tidak jelas.
Sebab tak jelas, solusi tak tuntas, pola pun terbatas.
Dalam bingkai yang sama, dendam benci mengeras
Kadang tanpa sebab ibarat pegas ditarik kuat bebas.
Karena merasa lebih agung mulia, lalu ya jelas-jelas
Pamerkan isi laksana gelas; keruh dahaga memelas,
Tak bisa tuntas; tirta cuma di mata, haus tetap jelas.
Lalu bagaimana bisa orang yang merasa kelas atas
Juga merasa lebih agung mulia meretas jalan pintas
Walau benci dan dendam membabi buta, amat jelas
Seakan-akan itulah perbuatan utama yang berkelas
Yang dianjurkan tidak hanya oleh nurani jiwa bebas
Pembalut sukma tapi juga oleh penghuni surga atas.

Merasa lebih agung dan mulia tentu saja bisa bebas
Serta boleh-boleh saja karena biasa, ini amat tegas;
Tapi menjadi amat luar biasa manakala lewat batas.
Karena merasa diri lebih agung mulia, pintar cerdas
Lalu yang lain dianggap nista hina dina tak berkelas,
Ini tentu berlebihan, tidak bisa diterima karena culas.
Padahal siapa sih yang tak paham seia sekata lugas
Dan sepakat bahwa semua yang di dunia ini diretas
Sebagai ciptaan sang Mahakuasa, kehendak bebas
Mengalir dahsyat membekas, buat bijaksana cerdas
Yang tidak hentinya merajut kata mulia yang bernas
Untuk mengingatkan bahwa pada alam semesta luas
Semua bersaudara, satu harkat satu martabat bebas.
Bahkan andai manusia punya pretensi merdeka buas
Untuk menganggap sesama, beda harkat beda kelas,
Lebih nista, lebih hina, maka tak apa jika keras-keras
Dipaksa gagal tunas, bak berhadapan binatang buas.
Hanya saja perintah kasihi sesama tetap lugas tegas.
Sejak dulu hingga sekarang ya sama tak pernah bias.
Simak saja salah satu untaian mutiara sabda bernas
Yang disampaikan utusan surga tegas tanpa was-was
Tegas lugas deras, ke antero dunia ucap keras-keras
Apa saja yang tidak dilakukan pada yang paling hina
Di antara sesama maka bermakna tak dilakukan juga
Pada diriNya yang Mahamulia; ternyata Engkau sama.
Atau dengan kata lain jikalau perbuatan atas sesama,
Khususnya bagi siapa saja yang dianggap lebih hina,
Sama sekali tidak berkenan kepada yang Mahamulia,
Padahal yang Mahamulia lugas identikkan diri sama
Dengan sesama yang hina; Dia mereka, mereka Dia.

Maka mudahlah dibayangkan, apa yang sebenarnya
Telah dibuat oleh semua orang kalau hadapi si hina.
Duh, Yang Mahakuasa semoga Engkau lapang dada
Serta terus berkenan menampung dosa laknat celaka
Ke dalam bjana ampunan tempat dilebur semua dosa.
Amat sering karena merasa telah beriman beragama
Lalu berpikir, bahkan bebas bertindak semena-mena
Pada sesama khusus yang dianggap hina serta nista,
Padahal mereka jelas-jelas jelmaan Penguasa Surga.

Daras laras kapas-kapas berjuntai santai tidak gegas
Tersulam penuh untaian desah nafas suci pamungkas
Terus membahana mendaraskan tembang suci bebas
Nan merdu mendayu-dayu bak pengiring desah nafas.
Tugas suci telah dititahkan pemahaman nurani tuntas
Lalu tumbuh kembang sehat sempurna, bernas tunas.
Jalan pun terbentang lurus indah mempesona nir bias
Mengiringi derap kaki guna menjalankan semua tugas
Ah ... semua memang begitu indah, agung dan laras,
Lalu mengapa nada sumbang penuh petaka bak upas
Tetap dibiarkan menjadi alas nurani tinggalkan bekas
Dalam berziarah ke barat agar tugas pun cepat tuntas?
Ayo, peringatan nan tegas serta jelas kembali dilepas
Bersama dengan akhir tahun liturgi, segera berkemas
Mulai jalankan perintah lugas, buanglah pikiran culas
Agar kertak gigi cemas, berganti dengan tawa lepas.

Dr. Tri Budhi Sastrio – tribudhis@yahoo.com
HP. 087853451949 – SDA15122011 – Essi no. 062

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun