Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasidi Nomor 426 - Sebelas Tembang untuk Dia

10 November 2017   14:10 Diperbarui: 10 November 2017   16:43 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
forum.republika.co.id

Ada 'tembang cilik' dan 'tembang gede'. Ada 'tembang macapat' dan 'tembang kawi'. Tembang cilik sinonim dengan tembang macapat, sedangkan tembang gede sinonim dengan tembang kawi. Kemudian juga dikenal 'tembang tengahan', yang jika diurutkan mungkin letaknya di antara tembang cilik dan tembang gede. Itulah kategori tembang.

Lebih rinci lagi, tembang dalam budaya Jawa jika diurutkan maka singkatannya tampak seperti berikut MMSKAGDDPMP. Singkatan dan urutan ini telah disusun sedemikian rupa sehingga mencerminkan perjalanan hidup seseorang sejak dalam kandungan sampai selesainya ziarah hidup. Hebatnya lagi, tidak hanya urutannya yang selaras dengan kehidupan tetapi penamaan dan makna di balik masing-masing nama tembang benar-benar mencerminkan perjalanan hidup manusia.

Tembang pertama, Maskumambang, menyimbolkan fase awal kehidupan seorang bayi yang mengapung atau 'kumambang' di dalam rahim sang bunda. Fase awal ini betapa pentingnya sehingga bahkan Tuhan sendiri pun menjalani fase ini dengan sukarela. Lagu pujian untuk kelahiran Tuhan tentu bisa ditembangkan menggunakan irama tembang maskumambang.

Tembang kedua, Mijil, menyimbolkan fase kedua dalam kehidupan seseorang, yaitu kelahiran. Mijil atau keluar, yang bagi seorang bayi tentu saja keluar dari rahim ibunya, entah melalui persalinan biasa entah melalui operasi 'Caesar', jelas proses penting karena nyawa taruhannya. Nyawa sang ibu dipertaruhkan, nyawa sang bayi juga dipertaruhkan. Proses kelahiran Tuhan ke dunia tentunya sama. Sang Bunda, yang hanya ditemani suaminya, tentu mempertaruhkan segala-galanya tatkala melahirkan Tuhan. 

Tidak ada bidan, tidak ada dokter, tidak ada peralatan, tidak ada obat-obatan, bahkan juga tidak ada kamar yang memadai. Yang ada hanyalah rumah kosong, tumpukan jerami, palungan tempat hewan minum, dan beberapa potong kain yang dibawa sang Bunda. Tuhan 'mijil' dengan selamat. Jika ada lirik lagu yang pas untuk proses ini, bolehlah dinyanyikan menggunakan tembang mijil.

Tembang ketiga, Sinom namanya. Sebuah nama yang mengingatkan banyak orang pada minuman sinom yang dibuat dari rebusan daun muda pohon asam. Sinom sendiri memang bermakna masa anak-anak, masa belia, masa di mana bayi tumbuh kembang dan belajar mengenal banyak hal. Tuhan sendiri pada masa ini tumbuh dengan sehat di bawah asuhan sang Bunda dan sang Bapa. Hanya hebatnya pada masa-masa yang sangat belia ini, Tuhan telah melahap habis semua kitab suci, kitab para nabi, dan bahkan juga kitab para raja, sehingga berdebat dan berdiskusi dengan para ahli agama, merupakan hal biasa bagi Dia.

Tembang keempat, Kinanthi namanya. Tembang ini diibaratkan tembang yang berisi masa-masa pencarian jati diri, pencarian cita-cita, dan pencarian makna diri. Untuk pihak Tuhan, fase ini tentu ada, tetapi luar biasanya ternyata sama sekali tidak ada yang mencatatnya. Mengapa seperti itu? Tentu saja ini misteri dan banyak orang hanya bisa menebak-nebak. 

Apa yang sebenarnya terjadi dan dilakukan Tuhan tatkala Dia memasuki masa-masa pencarian jati diri, pencarian cita-cita, dan pencarian makna diri? Tidak ada yang tahu. Atau Tuhan sebenarnya tidak perlu melakukan apa-apa karena jati diri, cita-cita dan tujuan hidup, serta makna diri sudah sejak awal telah diketahuiNya? Kasidi hanya bisa mengangkat bahu untuk fase ini.

Tembang kelima, Asmaradhana namanya. Inilah fase yang dianggap paling dinamik dan berapi-api dalam pencarian cinta dan teman hidup. Apakah Tuhan mengalami dan melewati fase ini? Mengingat Tuhan tidak pernah 'berpacaran' apalagi menikah, maka fase ini meskipun mungkin dilewati tetapi jelas sama sekali tidak ada pencarian cinta dan teman hidup dalam artian umumnya. Yang ada adalah cinta dan kasih pada semua orang, dan semua orang dijadikan teman hidup, dijadikan sahabat.  Asmaradhana boleh ditembangkan dalam bingkai ini.

Tembang keenam, Gambuh namanya. Pada fase ini seseorang mulai membina kehidupan berkeluarga dalam sebuah 'gambuh', dalam sebuah ikatan perkawinan suci, dalam artian benar-benar menyatukan visi dan cinta kasih. Tuhan pasti juga melewati fase ini tetapi bukan dalam artian menikah dengan seorang. Tuhan tidak menikah, tetapi visi dan cinta kasih penyelamatanNya pasti telah disatukan dengan visi dan cinta kasih Bapa yang mengutusNya. Gambuh boleh ditembangkan dalam artian ini.  

Tembang ketujuh, Dhandang Gula namanya. Yang disimbolkan oleh tembang ini adalah puncak kesuksesan secara fisik dan materi, dan pada saat yang hendaknya diimbangi oleh matangnya elemen rohani dan spiritual. Lalu bagaimana Tuhan pada fase ini? Kesuksesan fisik dan materi tentu saja tidak penting, dan bahkan mungkin sama sekali tidak bermakna bagiNya, tetapi kematangan rohani dan spritual tentu hampir mencapai puncaknya, dan itulah sebabnya Tuhan kembali muncul di tengah orang banyak. Kemunculan ini penting karena dengan ini catatan tentang sepakterjang Tuhan kembali ditulis sehingga dapat dibaca. Tembang Dhandang Gula boleh dicoba mengiringi kembali kemunculan Tuhan di tengah-tengah orang banyak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun