Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kasidi nomor 415 - Iri Hatikah Engkau

18 Oktober 2017   10:24 Diperbarui: 18 Oktober 2017   13:07 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nasehat hendaknya setiap orang berusaha untuk 'senang melihat orang senang, susah melihat orang susah', mungkin sudah klise dan usang. Begitu juga dengan ujar-ujar 'susah melihat orang senang, dan senang melihat orang susah', ini juga sama-sama usang dan klise. Sudah sering dikutip, sudah tidak terbilang berapa disebarkan ke mana-mana, dan benar-benar tidak banyak orang yang tidak kenal nasehat ini. Hanya saja jika efektivitas ujar-ujar lama ini yang ingin dilihat atau diukur, maka nilainya boleh dikata mendekati nol, sejak dulu sampai sekarang, dan mungkin juga nanti. Artinya, betapa sangat banyak orang yang mengetahui dan paham ujar-ujar ini tetapi betapa sangat sedikit yang berhasil menjadikannya sebagai salah satu tindakan yang secara wajar dilakukan sehari-hari. Mengapa seperti itu?

          Jawabnya sederhana. Apa yang disampaikan dan diketahui berbeda jauh dengan apa yang dapat dan bisa dilakukan. Yang disampaikan dan diketahui berhubungan erat dengan wawasan, kemampuan berpikir, dan wajarnya kemampuan memahami. Sedangkan apa yang dapat dan bisa dilakukan berkaitan erat dengan kemampuan memenangkan peperangan melawan diri sendiri. Semua orang normal tentu dapat memahami dengan mudah betapa nasehat untuk 'senang melihat orang senang, susah melihat orang susah' adalah nasehat yang baik dan karenanya pantas diikuti. Begitu juga dengan nasehat 'susah melihat orang senang, dan senang melihat orang susah', semua orang normal tentu paham bahwa yang seperti ini hendaknya dihindari. Hanya saja kemampuan untuk mengikuti nasehat yang satu dan menghindari larangan yang satunya lagi ternyata tidak tergantung pada masalah kemampuan untuk memahami tetapi justru ditentukan oleh kemampuan untuk bergandengan tangan dengan yang pertama tetapi menolak yang kedua. Bergandengan tangan bermakna menjadi sekutu, menolak berarti berperang. Jika dicermati lebih jauh, bersekutu belum tentu diterima, berperang belum tentu menang. Simpulannya ternyata memang tidak mudah.

          Tuhan sendiri jauh-jauh hari sudah mengingatkan semua orang tentang masalah ini, tentang betapa sulitnya untuk merasa senang jika melihat orang senang dan bukan sebaliknya, merasa susah melihat orang senang. Dalam kata-kata Tuhan sendiri ketika menegur orang yang hatinya kelam karena tidak senang melaihat orang lain senang dengan menggunakan perumpamaan terbaca sebagai berikut: 'Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?' 

           Perang belum usai, pertempuran terus berlanjut. Lalu apa yang bisa dilakukan? Kasidi percaya bahwa kerendahan hati dan kemurahan hati dapat menjadi teman yang baik untuk terus memompa semangat dan menemani semua orang dalam pertempuran abadi melawan rasa iri dan yang sejenisnya. Kasidi no. 415 -- XZSS18102017 - 087853451949  

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun