Mohon tunggu...
Tria Putri Ayu
Tria Putri Ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perkembangan Sosio-emosional dan Moral dalam Diri Anak Broken Home

30 Oktober 2022   12:05 Diperbarui: 30 Oktober 2022   12:08 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sosio-emosional adalah suatu bentuk luapan emosi dan perasaan dalam diri seseorang yang berkaitan dengan interaksi dan komunikasi nya dengan orang yang ada di sekitarnya, seperti melihat atau mengamati , mendengar, dan meniru. Sehingga, seseorang dapat memahami keadaan di lingkungan sekitarnya melalui perasaan-perasaan dan emosi yang ia tumpahkan.

Sosio-emosional juga merupakan suatu bentuk luapan emosi dan perasaan yang berupa perasaan empati, kemandirian, kesopanan, , kemandirian, ketekunan, kemampuan menyesuaikan diri, kesetiakawanan, dan lain sebagainya. Teori sosio-emosional ini dapat membantu seorang anak di mana di usianya yang masih terbilang kecil atau muda, mereka akan cenderung lebih mudah untuk merekam aktivitas dan kegiatan yang ia lihat dan amati dalam memori dan pikirannya tanpa tahu dengan pasti apakah hal yang ia lihat dan amati merupakan perilaku baik atau buruk. Maka dari itu, perlu dilakukannya perkembangan sosio-emosional terutama pada anak. Untuk dapat membantu mengarahkan anak kepada perilaku yang baik, dan menjelaskan suatu perilaku yang dianggap buruk itu seperti apa. Sehingga nantinya diharapkan seorang anak dapat mengerti dan dapat membedakan mana perilaku baik dan buruk di kemudian hari.

Menurut American Academy Of Pediatric,  tahun 2015, perkembangan sosio-emosional mengarah pada kemampuan anak untuk memiliki pengetahuan dalam mengelola dan mengekspresikan emosi dengan baik, dapat mengeksplorasi lingkungan dengan baik melalui belajar, dan mampu aktif menjalin hubungan antara orang dewasa dan anak-anak di lingkungan sekitarnya.  Sedangkan menurut Squires, tahun 2003, perkembangan sosio-emosional pada anak didefinisikan sebagai perilaku pada kompetensi anak yang ditunjukkan dalam perilaku kooperatif dan pro-sosial pengelolaan agresi dan konflik, regulasi emosi dan aktivitas, pemeliharaan teman sebaya dan orang dewasa, serta pengembangan harga diri dan penguasaan. Pendapat tersebut diungkapkan oleh Squires setelah beliau menyimpulkan penjelasan atau pendapat dari Raver & Zigler, serta Compos, dkk  mengenai arti emosi dan kompetensi sosial.

Dalam menunjang perkembangan anak terkait perilaku sosio-emosional yang ada dalam dirinya, dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya memperluas kegiatan interaksi dan komunikasi anak terutama di lingkungan sekitarnya maupun lingkungan sekolah. Misalnya, menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan teman sebaya. Sehingga nantinya membuat si anak tersebut dapat melakukan interaksi sosial baik secara verbal, maupun non verbal atau fisik.

Moral merupakan perilaku atau sikap yang dimiliki oleh seseorang dan biasanya cenderung mengarah pada perbuatan atau tingkah laku baik dan positif, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain yang ada di sekitarnya. Selain itu, moral juga mencakup perihal kepribadian, mental, tingkah laku, budi pekerti, akhlak, tindakan, dan karakter seseorang. Pendapat lain mengatakan bahwa moral adalah suatu aturan perilaku antar sesama manusia agar terbentuk rasa saling menghormati satu sama lain dalam proses penerapan perilaku di lingkungan masyarakat.

Menurut Zainuddin Syarifullah, moral merupakan suatu tradisi spiritual yang dilakukan untuk melakukan serangkaian kegiatan yang menjadi standar acuan dalam mengatur karakter seseorang dan masyarakat.

Sedangkan menurut Russel Swanburg, moral berarti pemikiran seseorang yang berasal dari suatu pernyataan dan berhubungan dengan rasa antusias seseorang dalam bekerja dimana hal tersebut merangsang perilakunya.

Berdasarkan penjelasan mengenai moral di atas, dapat dikatakan bahwa moral dapat membantu manusia untuk memiliki landasan pemikiran tentang perilaku, tindakan, dan tingkah laku antar sesama manusia agar hubungan sosial diantara keduanya dapat berjalan secara harmonis, dan timbul rasa saling percaya antara satu sama lain, dan mengurangi terjadinya konflik di lingkungan masyarakat. Sehingga, kehidupan manusia dapat lebih bahagia baik secara jasmani maupun rohani, serta dapat meningkatkan rasa sabar dalam menahan dan melawan suatu keinginan atau nafsu yang dapat mengancam harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masa kanak-kanak harus benar-benar diperhatikan dengan baik dan teliti oleh para orang tua, karena pada masa itu anak-anak sering menerima, melihat, dan meniru banyak hal yang sangat berpengaruh pada masa depannya. Misalnya, pada perkembangan sosio-emosional dan moral anak Broken Home. Seorang anak yang mengalami Broken Home  dapat lebih dipastikan mengalami trauma atau ketakutan besar dalam hidupnya, terutama dalam hal keluarga. Karena dia merasa tidak ada lagi tempat untuk dia pulang. Tidak ada lagi tempat buat dia berkeluh kesah dengan nyaman dan aman, serta tidak ada yang dapat ia percaya lagi jika ia melihat dalam anggota keluarganya tidak ada keharmonisan. Sehingga, sebisa mungkin para orang tua atau anggota keluarga lain yang lebih tua dan lebih paham permasalahan tersebut menahan dan menutupi agar si anak tidak melihat hal negatif yang terjadi dalam keluarga. Seperti misalnya pertengkaran adu mulut antara ayah dan ibunya, kekerasan dalam rumah tangga, bahkan perselingkuhan. Karena anak dapat dengan mudah menyimpan memori negatif tersebut di dalam pikirannya.

Selain faktor internal tersebut, juga terdapat faktor eksternal yang dapat mempengaruhi mental, emosi, moral dan kepribadian anak. Karena tidak jarang juga masyarakat menganggap bahwa anak yang mengalami Broken Home  adalah anak yang nantinya akan gagal, anak yang dicap nakal dan berperilaku menyimpang serta negatif. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka mendapat ramalan dari para masyarakat bahwa hidup anak tersebut nantinya akan serupa dengan kedua orang tuanya. Sehingga, sering kali anak yang mendapat sanksi masyarakat ini nantinya akan lebih sering menyendiri dan menutup diri. Akhirnya dapat berlanjut pada stres dan depresi. Maka dari itu, tidak sedikit anak yang mengalami Broken Home mengalami trauma dan ketakutan untuk berumah tangga. Padahal tidak semua anak Broken Home pasti seperti itu, dan tidak ada yang dapat memastikan dengan pasti bagaimana nasib anak yang mengalami Broken Home tersebut di masa yang akan datang.

            Meskipun demikian, tidak sedikit pula anak yang mengalami Broken Home ini berhasil memutus stigma negatif masyarakat tentang Broken Home. Banyak anak Broken Home  yang dapat bersekolah sampai memperoleh gelar Sarjana bahkan Doktor. Selain itu juga, meskipun pernah mengalami trauma perihal rumah tangga, tidak sedikit dari mereka yang berhasil membangun kehidupan rumah tangga yang baik dan harmonis. Bahkan, berhasil menjadikan pengalaman pahit yang pernah dialaminya sebagai bentuk pembelajaran untuk dapat membina keluarga yang rukun dan tenteram terutama bagi anak-anak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun