Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meraba Pola Tragedi Bangsa

8 Mei 2014   10:58 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:44 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bulan Mei adalah bulan kebenaran karena di bulan ini, kita sebagai bangsa sepakat untuk melawan lupa atas beragam tragedi yang menimpa bangsa. Melawan lupa berarti bersepakat dengan kebenaran (kebenaran = alèthea ; yunani: a artinya tidak, lèthè artinya lupa).Kita sepakat untuk tidak melupakan pembantaian '65, pembantaian Talangsari Lampung '89, tragedi Tri Sakti dan Mei '98, dan beragam tragedi berdarah lainnya yang tak kunjung diselesaikan dengan tuntas oleh negara.

Ada dua arus tenang namun menghanyutkan yang dapat menggoyahkan perjuangan kita melawan lupa. Arus pertama adalah seruan untuk tidak menengok masa lalu agar dapat lebih berfokus ke masa kini dan masa depan. Arus kedua adalah kenyataan bahwa fakta yang begitu gamplang tak kunjung membuat kebenaran semakin benderang. Misalnya: fakta bahwa Mayor Jenderal Soeharto sudah diberitahu lebih dulu lebih dari sekali oleh Kolonel Latief tentang apa yang kemudian dikenal sebagai G30S tidak membuat kebenaran di balik tragedi itu semakin terkuak karena sang Mayjen sendiri tidak pernah dipanggil untuk bersaksi di pengadilan. Atau fakta bahwa di Pos Kotis markas Kopassus Cijantung 7 korban penculikan Tim Mawar pernah bertemu  dengan 13 korban lainnya yang masih hilang tidak disusul dengan pengungkapan fakta oleh Prabowo yang saat itu menjabat Danjen Kopassus, di hadapan pengadilan.

Berhadapan dengan kenyataan itu, kita laksana Vladimir dan Estragon, dua tokoh utama dalam drama Samuel Beckett, En attendant Godot (Menanti Godot). Setelah beragam peristiwa dialami di sela penantian, seorang anak kecil muncul di penghujung waktu hanya untuk menyampaikan pesan kepada Vladimir dan Estragon bahwa Godot tidak bisa datang hari ini, mungkin besok dia datang. Ya, pesan yang sama dengan pesan hari kemarin.

Apakah penantian kita akan kebenaran juga sia-sia? Apakah perjuangan kita melawan lupa hanya akan menuai pesan yang sama: ya, kebenaran akan datang, tetapi tidak hari ini? Apakah saatnya kita menerjunkan diri ke tengah arus lupa (sungai Léthé, sungai lupa, dalam mitologi Yunani adalah satu dari lima sungai menuju Hades alias dunia orang mati)?

Tidak. Perjuangan kita melawan lupa tidak akan pernah sia-sia walau negara lebih memilih untuk hanyut dalam arus lupa yang menidurkan. Dengan mengingat, kita belajar dan dengan belajar dari sejarah kita dapat terhindar dari jebakan sejarah yang sama. Kita dapat meraba pola sejarah yang pernah membentuk tragedi bangsa. Paling tidak ada dua pola tragedi yang pernah terbentuk dalam sejarah bangsa.

Pola pertama adalah politik pecah belah, atau yang dalam pelajaran sejarah lebih kita kenal dalam nama latinnya: divide et impera. Pola ini diterapkan oleh pemerintahan Hindia Belanda untuk berkuasa dan mempertahankan kekuasaannya di bumi pertiwi. Sayangnya, pola yang sama diterapkan juga oleh dua pemimpin bangsa kita yang pertama. Di jaman Soekarno, setiap kelompok bersaing sebagai pelaksana setia revolusi; di jaman Soeharto ada istilah KISS alias Ke Istana Sendiri-sendiri.

Tanpa mengurangi jasa beliau sebagai pendiri bangsa dan salah satu proklamator, presiden Soekarno, di masa tuanya, menerapkan pola pecah belah dengan menghadapkan PKI dan TNI. Keduanya hormat pada Soekarno, keduanya taat pada Soekarno, tetapi keduanya tidak dapat menguasai Soekarno secara penuh karena harus bersaing satu sama lain. PKI diangkat sebagai anak emas oleh Soekarno untuk menghadang TNI yang sudah begitu jaya sejak ia sendiri menetapkan keadaan darurat perang tahun 1957. Dalam keadaan darurat itu, banyak perwira aktif yang memangku jabatan pemerintahan dari daerah sampai ke pusat. Kekuasaan militer ini perlu direm dengan kekuasaan sipil yang ditemukan dalam diri PKI. Persaingan ketat sengaja dinyalakan dan berbuntut pada G30S.

Soeharto pun menerapkan pola yang sama. Tanpa mengurangi jasa beliau sebagai bapak pembangunan bangsa, presiden Soeharto, juga di masa tuanya, menyulut kecemburuan ABRI dengan merangkul kelompok Islam nasionalis yang bernaung di bawah ICMI. Langkah ini perlu diambil karena Soeharto melihat ABRI semakin mengambil jarak dari dirinya. Sejak tahun 1970-an, ABRI sadar bahwa Soeharto sudah memanfaatkan dwi-fungsi ABRI untuk kepentingan politis-ekonomis lingkarannya sendiri. Sejak saat itu, ABRI pun mengambil jarak. Sebagai contoh: tahun 1987, ABRI mengusulkan sebuah undang-undang yang mewajibkan setiap prajurit bersumpah demi UUD dan bukan Presiden. Sebuah usul yang tentu ditolak oleh Presiden dan DPR. Maka, Soeharto dengan lihai memainkan semangat bersaing dua kubu untuk melanggengkan kekuasaannya; pola yang akhirnya membawa bangsa ke tengah tragedi berdarah Mei '98.

Pola kedua adalah anti oposisi, atau yang dulu sempat terkenal dengan semangat ABS, Asal Babe Senang. Inilah yang dibuat Soekarno dengan membubarkan PSI-nya Sjahrir, dengan mengijinkan pengunduran diri Hatta dari Wakil Presiden, dengan memenjarakan para wartawan kritis seperti Mochtar Lubis dan dengan sebaliknya mengumpulkan di dekatnya mereka yang pandai memuji dan menyenangkan hatinya. Pola yang sama dibuat oleh Soeharto: mereka yang ada di lingkaran terdekatnya adalah keluarganya dan orang-orang yang pernah bekerja erat dengannya ketika ia menjabat komandan divisi Diponegoro, seperti Ali Murtopo, Yoga Sugama dan Soedarmono. Mereka yang kritis terhadapnya dibungkam dengan berbagai macam cara, baik dari kalangan sipil maupun militer. Sarwo Edhi, misalnya, yang pernah membantunya di tahun 1965-66, dicabut kuasa komandonya karena bersikap kritis. Di masa tuanya, Soeharto tidak lagi mendengarkan nasehat para pakar ekonomi yang pernah membantunya keluar dari krisis ekonomi di tahun 1980-an, dan sebaliknya lebih mendengarkan para kroni dan anak-anaknya. Lihatlah susunan kabinet terakhir yang dibentuknya: ada Bob Hasan di sana dan juga bu Tutut putri sulungnya. Maka tidak benar kalau krisis dan tragedi Mei '98 terutama diakibatkan oleh ulah asing.

Belajar dari dua pola itu, kita dapat berusaha untuk tidak jatuh ke dalam jebakan Batman yang sama. Pelajaran pertama: putuskan mentalitas ABS yang bersumber pada semangat priyayi yang menjunjung pimpinan dan senioritas di atas kebenaran. Pelajaran kedua: timba kembali semangat para pendiri bangsa yang menempatkan kepentingan bangsa, khususnya mereka lemah, di atas kepentingan golongan hingga tidak mudah di pecah belah. Pelajaran ketiga: pada saatnya nanti jangan memilih pemimpin yang haus puja-puji, yang bersemangat primordialisme sempit, yang suak mengobarkan kebencian dan perpecahan, yang anti kritik dan menutup celah oposisi.

Amin.

Ville de Lumière, 8 Mei 2014, dini hari ditemani secangkir kopi dan semangkuk mie

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun