Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Aibon Perekat Duo Baswedan

7 November 2019   12:00 Diperbarui: 7 November 2019   12:33 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu tokoh politik yang sangat sadar pentingnya pencitraan adalah Anies Baswedan. Pencitraan tidak melulu bermakna negatif. Pencitraan adalah proses yang pasti terjadi dalam sebuah relasi antar pribadi. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

Untuk dapat berelasi dengan orang lain, kita perlu mengenalnya. Mengenal berarti mengetahui. Salah satu jalan utama pengetahuan adalah melalui gambaran, citra, image. Itu sebabnya, mengapa di KTP atau Passport, tidak cukup dicantumkan sederet tulisan tentang diri kita. Diperlukan juga foto yang tidak lain adalah gambar atau citra kita. Simpulannya, pencitraan adalah proses yang lumrah dalam interaksi sosial. 

Anies Baswedan sangat sadar akan hal itu. Oleh karena itu, Beliau mencoba tampil konsisten dengan citra diri yang sudah terpancar sejak kiprahnya di panggung sosial-politik. Citra apa itu? 

Citra seorang pendidik. Sang Anies adalah seorang pendidik. Dia yang menjadi rektor Indonesia termuda pada tahun 2007 (usia 38 tahun waktu itu); dia yang menggelindingkan gerakan Indonesia Mengajar di tahun 2009; dia yang memprakarsai gerakan relawan Turun Tangan di tahun 2014. Dan citra diri ini ditangkap oleh Joko Widodo dengan mengangkat Beliau menjadi Menteri Pendidikan.

Pun ketika terjun ke kancah politik kekuasaan dalam Pilkada DKI, citra diri sebagai seorang pendidik ini terus digulirkan. Pentingnya kata dan bahasa yang dioposisikan dengan semboyan kerja, kerja, kerja menunjukkan dimensi pedagogis itu. 

Menurut Beliau, bekerja harus dengan akal, dengan smart. Kelurusan akal perlu diasah dengan ketepatan berbahasa. Karena bahasa adalah produk sosial, ketepatan berbahasa juga terkait dengan keterbukaan terhadap partisipasi pihak lainnya. Pentingnya wacana dan keterbukaan atas partisipasi warga, dua hal inilah yang menjadi citra sang Anies, Gubernur DKI Jakarta.

Itu sebabnya, mengapa hingar-bingar Aica Aibon menjadi lebih dari sekedar perkara kelemahan administrasi penganggaran Pemprov DKI. Perkara ini bak gelombang tsunami berpotensi menggoyang citra pendidik yang telah ditanamkan dalam-dalam pada jiwa banyak orang Indonesia umumnya dan warga DKI khususnya. Hal ini diperparah oleh fakta bahwa, kejanggalan-kejanggalan tadi sebagian besar terjadi pada suku dinas pendidikan, "habitat" citra diri sang Gubernur.

Lebih gawat lagi, prahara Aica Aibon ini tidak saja menggoyang citra pribadi sang Anies tetapi juga menggoncang citra satu lembaga yang sudah sekian lama digambarkan bak institusi "surgawi" tanpa cela, yaitu KPK. Kok bisa?

Bisa, karena di sana ada Baswedan yang lain. Aica Aibon mendekatkan dua lembaga yang dulu nampak tidak berhubungan, yaitu Pemerintah DKI Jakarta dan KPK karena kehadiran duo Baswedan pada masing-masing lembaga. Sekarang orang digiring untuk bertanya, mengapa KPK tidak turun tangan mengurusi kejanggalan-kejanggalan anggaran di Jakarta ini? Apakah karena di sana ada Novel Baswedan yang tidak lain dan tidak bukan sepupu dari sang Gubernur?

Tidak heran, KPK yang sebelum pelantikan Presiden, dicitrakan sebagai korban dan patut dibela dengan demo berjilid-jlid, sekarang tampil layaknya seorang terdakwa karena dinilai enggan mengawasi penganggaran pempr9v DKI Jakarta. 

Simbol utama pendakwaan KPK adalah Novel Baswedan sendiri: dulu menjadi korban penyiraman air keras sekarang diadukan sebagai tersangka perekayasaan perkara. Mengapa semua bisa terjadi? Karena kekuatan citra, kekuatan gambaran dalam proses mengetahui. Tindakan bersifat manusiawi kalau didasarkan pada kebebasan da  pengetahuan.

Dan pengetahuan didapatkan salah satunya melalui citra atau gambaran. Siapakah Anies Baswedan, siapakah Novel Baswedan, siapakah KPK, semuanya tergantung dari citra yang memancar. Sayangnya, Aica Aibon merekatkan ketiganya ke dalam image yang tidak sesuai harapan. Adakah jalan keluar?

Pasti ada. Mari kita pilih pemikiran Plato. Menurut Plato, jiwa manusia itu seperti lilin. Segala hal yang bersentuhan dengan kita (fisik maupun mental) akan memberikan jejaknya di sana. Jejak ini (tupos, semeion) menjadi dasar untuk munculnya citra atau gambaran (eikon, eidolon). Dari gambaran inilah lahir pengetahuan. 

Sebagai contoh: aku tahu kuda karena gambaran kuda muncul dari rekaman (jejak) yang terpatri di jiwaku ketika untuk pertama kalinya aku melihat hewan itu. Pengetahuanku benar kalau gambaran iti sesuai dengan jejak yang terpatri di jiwaku. Pengetahuanku salah kalau gambaranku tidak datang dari jejak di jiwaku.

Dari epistemologi (teori pengetahuan) Plato ini, dapat diambil sebuah langkah praktis. Perkara Aica Aibon tidak akan memberikan gambaran yang benar atas duo Baswedan (dan KPK) jika tidak sesuai dengan track record (rekam jejak) yang jelas-jelas selama ini terbentuk. Citra salah harus dilawan dengan citra benar. Narasi yang salah harus dilawan dengan narasi yang benar.

Maka, sang Anies pendidik tidak akan dapat membenarkan citra dirinya dengan memberikan citra buruk kepada pihak lawan. Ini bukan perkara siapa buruk siapa lebih buruk. Ini perkara menyesuaikan citra yang sekarang terbentuk dengan jejak yang asali.

Sebagai contoh: Emmanuel Macron. Ia terpilih sebagai Presiden Perancis di usia yang sangat muda, 40 tahun. Kebuntuan politik Perancis berhasil diterobosnya melalui partai politik yang ia dirikan, La République en Marche. Ia terpilih karena kesegaran gagasannya yang melampaui dikotomi kiri (sosialis) dan kanan (nasionalis). Rekam jejaknya menunjukkan keinginannya untuk membarui Republik Perancis yang seolah enggan berjalan. 

Citranya sebagai pembaru digugat oleh gerakan masif yang melumpuhkan Paris selama beberapa hari, gerakan rompi kuning (Gilets Jeunes). Inilah puncak dari perlawanan rakyat karena memandang sang Pembaru tidak mau mendengarkan suara mereka. Citra Macron di mata rakyat adalah le président de riches. Apa yang dibuat Macron?

Tidak menyalahkan siapapun. Ia mulai memberikan citra sesungguhnya: seorang presiden yang ingi  membarui Perancis bersama rakyat. Itu seba nya ia mengadakan "blusukan" samb berdialog dengan warga Perancis, mencari solusi atas masalah bersama terutama masalah pengangguran. Hasilnya, Macron tampil sesuai dengan rekam jejaknya. Citra salah tentang dirinya hilang berkat rekam jejak yang dihidupkan kembali melalyi blusukan dan dialog yang dibuatnya.

Jika sang Anies pendidik ingin melawan tsunami Aica Aibon, tampilkan jejak seorang pendidik: gunakan ketajaman wacana, kelurusan berbahasa dan buka seluas-luasnya partisipasi warga tanpa pandang bulu; baik yang dianggap lawan maupum kawan. Itulah citra seorang pendidik.

Saya yakin, sang Anies lebih paham akan hal ini.

Bumi Batavia, Lucy Seven of Nov. '19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun