Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Pertarungan Semantik Kata "Kemenangan"

10 Mei 2019   18:18 Diperbarui: 10 Mei 2019   18:36 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Yang dimaksud dengan semantik di sini adalah ilmu bahasa dengan kalimat sebagai objeknya. Di sini, bahasa dipelajari sebagai sebuah dialektik antara peristiwa dan makna. 

Semantik berbeda dengan semiotik, yaitu ilmu bahasa yang memiliki tanda sebagai objeknya. Dalam semiotik, bahasa diperlakukan sebagai sebuah sistem tertutup tanpa rujukan pada dunia nyata.

Semantik kemenangan, dengan demikian, adalah upaya memaknai kata kemenangan bukan berdasarkan kamus, tetapi berdasarkan penggunaan istilah itu dalam percakapan. Kamus tidak memberi makna karena sebenarnya yang ada di sana bukanlah kata melainkan tanda. Tanda berubah menjadi kata ketika digunakan dalam percakapan. 

Peperangan semantik berarti perebutan wilayah penafsiran publik atas kata kemenangan. Berbeda dengan tanda yang merujuk pada tanda lainnya ( misalnya, istilah "sayang" dalam kamus tidak merujuk pada pengalaman menyayangi dan disayangi, tetapi merujuk pada istilah lainnya, seperti "cinta" atau "kasih" ), kata menuntut referensi pada pengalaman di dunia. Referensi inilah yang membuat satu kalimat tidak saja bermakna tetapi juga benar karena mengacu pada kenyataan di dunia.

Maka, peperangan semiotik kata kemenangan berarti perlombaan menciptakan kenyataan.

Dalam kontestasi Pilpres 2019, perebutan wilayah penafsiran atas kata kemenangan dilakukan oleh kubu 01 dan kubu 02. 

Kubu 01 tidak perlu repot-repot menciptakan kenyataan yang mengisi kata kemenangan yang diklaimnya. Hasil hitung cepat beberapa lembaga sigi dan situng KPU sendiri memberikan isi pada kata kemenangan 01.

Hal yang berbeda terjadi dalam kubu 02. Klaim kemenangannya tidak atau sejauh ini belum menemukan rujukan nyata. Lembaga-lembaga sigi terpercaya dan situng KPU tidak memberikan dasar atas klaim kemenangan bagi kubu 02. Maka, perlu diciptakan rujukan baru agar klaim kemenangan itu bukan sekedar "pepesan kosong". Bagaimana caranya?

Kalau kubu 01 mendasarkan kata kemenangan pada hasil hitung cepat dan situng, kubu 02 melekatkan makna kemenangan pada situasi lain, yaitu kecurangan. Klaimnya dapat dirumuskan demikian,"Kami akan menang kalau pihak lawan tidak curang." Hilangkan istilah curang pada klaim itu, maka kata kemenangan yang dideklarasikan kubu 02 tidak merujuk pada apapun. 

Itulah perang semantik atas kata kemenangan yang mengharubirukan media sosial dan jalanan Ibu Kota akhir-akhir ini.

Semoga pemaparan di atas dapat menunjukkan bahwa tidak ada klaim kebenaran yang sama sekali bebas dari penafsiran. Setiap klaim atas kemenangan memerlukan rujukan objektif, nyata, dalam dunia. Kalau rujukan tidak ada, perlulah menciptakannya dengan satu dan lain cara. Semuanya dilakukan untuk memenangkan wilayah penafsiran yang semakin luas. Apakah perebutan wilayah penafsiran ini dapat dibenarkan?

Pasti dapat dibenarkan, dengan beberapa catatan. Pertama, setiap penafsiran perlu dibatasi. Tanpa pembatasan, penafsiran kehilangan hakikatnya. Analoginya adalah sebuah lukisan. Karya lukis pasti dibatasi oleh bingkai tertentu hingga dapat dinikmati, diberi makna, dengan kata lain ditafsirkan. Demikian juga karya sastra, pasti ada batasnya. Paling tidak, dalam sebuah cerpen, misalnya, ada struktur yang membatasi yaitu pembukaan, konflik dan penutup. 

Penafsiran atas klaim kemenangan juga perlu dibatasi. Batasnya adalah undang-undang pemilu dan lembaga-lembaga pelaksananya, KPU dan Bawaslu. Melewati batas-batas itu sama dengan menghancurkan bingkai sebuah lukisan atau merobek bagian pembuka dan penutup sebuah karya sastra. Yang tersisa adalah konflik tanpa awal dan akhir, lukisan tanpa titik pandang, chaos dan kekacauan.

Semoga, lukisan indah pesta demokrasi bumi pertiwi tidak harus kehilangan bingkai emas harmoninya; semoga roman pilpres dan pileg 2019 tidak perlu dirobek-robek yang membuat generasi masa depan kehilangan sejarah. Tanpa sejarah, yang ada hanya keraguan. Dan keraguan mencuri harapan.

Saat menanti pemutaran Endgame, Jumat 10 Mei 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun