Mohon tunggu...
Severus Trianto
Severus Trianto Mohon Tunggu... Dosen - Mari membaca agar kita dapat menafsirkan dunia (W. Tukhul)

mengembalikan kata pada dunia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mencari Antesis Sah dari Jokowi dan Prabowo

8 Oktober 2018   18:07 Diperbarui: 8 Oktober 2018   18:33 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana bisa sebaris puisi menyentorkan gambaran-gambaran indah ke atas layar imajinasi para pembacanya? Sebuah teori bahasa memberikan penjelasannya.

Barisan puisi dapat  mewahyukan keindahan karena pertama, ia dibangun oleh dua gagasan yang secara harafiah seolah-olah tampak tak terukunkan. 

Kedua, kedua gagasan yang pada kesan pertama saling bertentangan itu toh dapat melahirkan makna baru berkat imajinasi kreatif pembaca melalui tindak menafsirkan. Mari ambil satu contoh: syair puisi masyur karya Bapak Puisi Modern Indonesia, Chairil Anwar, 'Aku'.

Aku ini binatang jalang dari kumpulannya yang terbuang

Dua gagasan mana yang saling bertentangan? Dua gagasan yang saling bertentangan adalah gagasan kemanusiaan (hanya manusia yang dapat berkata AKu) dan tentang kebinatangan (binatang jalang). Secara harafiah, kedua gagasan ini tentu bertolak belakang: bagaimana mungkin seekor binatang dapat berkata Aku. 

Yang dapat menjadi pintu keluar dari perbenturan gagasan harafiah adalah kreativitas imajiner pembaca dalam tindak menafsirkan. Ketika membaca barisan syair: 

Aku ini binatang jalang, seorang pembaca dapat sampai pada gambaran tentang seorang pribadi yang merasa begitu terkucil dan sendiri sampai tidak lagi merasa diri seorang manusia melainkan seekor hewan... seekor hewanpun binatang jalang, yang dibuang oleh sesama binatang jalang lainnya!

Demikianlah, keindahan dapat ditemukan dalam dua posisi yang berbeda melalui kegiatan menafsirkan. Bukankah seni grafis tampak dinamis dan indah karena ada garis-garis kontras yang disandinggkan, antara yang horisontal dan vertikal? Bukankah warna-warna kontras memberi sebuah lukisan kehidupan? Bukankah nada minor dalam sebuah lagu juga turut menyumbangkan kesan bergerak dalam sebuah lagu?

Kalau kita aplikasikan teori ini untuk memahami kontestasi Pilpres 2019, akan ada kesulitan. Mengapa? Karena sulitnya menemukan kontras di antara kedua kontestan yang ada. Di mana dapat ditemukan titik beda yang sah antara Jokowi dan Prabowo?

Apakah Jokowi pro-asing sementara Prabowo pro-tanah air? Tidak semudah itu. Sudah sejak Pilpres 2014 yang lalu, pihak Prabowo justru menyewa seorang konsultan politik dari negeri Paman Sam dan saudaranya sendiri pergi ke USA untuk meloby minta dukungan Senat di sana. Sedangkan Jokowi, sudah beberapa kali kebijakannya justru menunjukkan keberpihakannya pada NKRI di hadapan kepentingan asing, seperti mengambil alih 51 saham Freeport. 

Jokowi pro-aseng alias China dan Prabowo anti-China? Tentu ini joke belaka mengingat Prabowo sendiri pernah berkunjung ke Kedubes China dan menaruh perhatian pada politik negeri tirai bambu itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun