Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Romantisme 260 Tahun Masjid Jamik Pasuruan

30 April 2021   23:11 Diperbarui: 30 April 2021   23:15 2963
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nuansa malam hari Masjid Jamik Al Anwar Pasuruan | Dok. Yahya Zain

Malam jumat itu, banyak tamu berkunjung ke masjid yang pas berhadapan dengan alun-alun Kota Pasuruan. Masjid ini biasa disebut Masjid Jamik oleh seluruh penduduk Pasuruan. Saya sendiri, baru tahu setelah agak besar bahwa namanya adalah Masjid Al Anwar. Menandakan bahwa nama resminya jarang sekali disebut.

"Masjid itu ada yang jami' dan tidak jami'. Masjid Agung Al Anwar ini jaman dulu disebut Masjid Jami' karena bisa dibuat Salat Jumat. Keterusan sampai sekarang," terang Ketua Takmir Masjid Al Anwar, Abdullah Sodiq sebagaimana dikutip dari IDN Times.

Setiap malam jumat, peziarah memang membanjiri tempat ini. Mereka sengaja memasukkan agenda ziarahnya ke Kota Pasuruan karena ingin berkunjung ke makam KH Abdul Hamid yang lokasinya tepat di barat Masjid Jamik.

Pengunjung biasa datang dari berbagai kota dengan menggunakan bis-bis besar; atau rombongan kecil dengan menggunakan minivan atau bus mini. Hampir bisa dipastikan mereka adalah warga Nahdliyyin (sebutan untuk orang islam yang terafiliasi ke organisasi NU, baik secara kultural, ritual, maupun resmi berKartaNU).

Masjid Jamik Al Anwar Pasuruan memang menjadi 'sentral' spiritual warga NU Kota Pasuruan. Dibangun oleh KH Hasan Sanusi atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Slagah pada tahun 1759 atau 260 tahun lebih. Namun kini lebih 'lekat' dengan Mbah Hamid karena beliau lah ulama muktabar paling akhir yang 'menyemarakkan' kegiatan aktivitas keagamaan di Masjid Jamik dengan membangun Pondok Pesantren tepat di belakang masjid. Kini pondok ini dilanjutkan oleh putra beliau bernama Gus Idris.

Jika Anda warga Kota Pasuruan, apalagi yang secara kultural lebih lekat dengan NU, maka tak akan tidak menganggap bahwa masjid inilah pusat spiritual warga kota. Termasuk saya.

Bahkan, saat saya masih kecil dulu di medio tahun 90-an, segenap warga rela secara rutin setiap malam rabu berkunjung dari luar kota menggunakan bak terbuka atau pickup hanya untuk mengikuti pengajian malam reboan yang konon rutin dihelat sejak zaman Mbah Hamid hingga kini.

Dulu kondisi alun-alun di depannya masih kumuh dan tak beraturan. Di sanalah mereka biasanya menggelar tikar mendengarkan kajian yang dibawakan selepas salat isya hingga tengah malam. Tanpa perlu stanby masuk duduk di dalam masjid. Mereka ini bisa mendengarkan kajian sambil nyemil kacang rebus atau kudapan lainnya.

Kini kondisi alun-alun semakin modern dan rapi. Para penjual yang sejak dulu menggelar lapak di tengah lapangan, sudah dilokalisir di suatu tempat demi menjaga keindahan dan ketertiban alun-alun.

Saya sendiri sering diajak Bapak untuk ikut pengajian malam reboan ini. Dibonceng naik sepeda motor AX100 tua dari rumah yang jaraknya kurang lebih lima kilometer ke arah timur masjid. Dulu masih kecil, diajak kajian malem rebo karena pasti dibelikan kue dan tak terlalu menyimak isi kajian yang dipancarkan dari toa masjid ke seluruh arah penjuru.

Jika ramadan tiba, saya diajak Bapak untuk beriktikaf juga di tempat ini. Biasanya berangkat sekitar jam sembilan malam dan pulang menjelang sahur. 

Bapak sih mungkin kuat bertafakur dan mengisi kegiatan iktikaf dengan membaca alquran, zikir, atau salat sunah. Tapi saya biasanya cukup salat dua rakaat, mengaji dan zikir sebentar, sudah ngantuk dan tertidur sampai akhirnya dibangunkan untuk diajak pulang. Jadi sebenarnya bukan iktikaf tapi pindah tempat tidur.

Masjid ini hingga kini masih kental nuansa kunonya. Gaya arsitekturnya juga khas. Saking iconicnya, masjid-masjid di daerah lain di Kota Pasuruan yang dibangun belakangan, sering meniru dan mengadopsi gaya ornamen Masjid Jamik. Memang, bagi orang Pasuruan akan selalu muncul kecintaan pada masjid satu ini. Saya kira, kami semua penduduk Pasuruan memiliki ikatan emosional dan spiritual dengan masjid ini.

Tahun-tahun setelah Bapak sudah tiada, saya biasa melakukan napak tilas apa yang biasa Bapak lakukan: mengikuti kajian malam reboan dan melakukan iktikaf di masjid ini. Sendirian.

Saya berusaha menggali memori romantisme saya dengan Bapak yang terakhir kami bertemu adalah saat berpamitan pergi ke Jakarta untuk kuliah. 

Empat hari pertama masa kuliah, tepatnya hari kamis pagi saat mata kuliah Agama Islam, saya mendapatkan telepon bahwa Bapak sudah mangkat.

Masjid ini memang bukan yang sehari-hari kami pakai untuk salat rutin lima waktu. Tapi masjid ini menjadi semacam 'masjid istimewa' yang kami tuju dan habiskan waktu di saat-saat istimewa juga.

Kini, setidaknya sudah lebih dari tiga tahun saya tidak menginjakkan kaki di Masjid Jamik Pasuruan karena harus merantau nun jauh jaraknya. Ada kerinduan di dalam hati. 

Dan setiap pulang kembali ke Pasuruan, saya nyaris pasti menyempatkan diri untuk salat di masjid ini dan melakukan tafakur barang sebentar untuk berzikir, berkontemplasi, dan mengenang romantisme saya hidup di Kota Pasuruan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun