Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Cerpen] Santan dan Sepatu

20 Juli 2022   16:44 Diperbarui: 20 Juli 2022   16:49 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerpet | Dok. pribadi

"Bapakmu itu bodoh. Kawan-kawannya sudah diangkat semua jadi PNS, cuma bapakmu saja yang tertinggal. Tinggal nyoblos Partai Bumi saja ndak mau. 

Malah keukeuh nyoblos Partai Galaxy," ibuku nyerocos begitu saja sambil marut kelapa untuk janganan lodeh nangka muda. Sajian yang harus siap sebelum bapak pulang kerja jadi satpam di pabrik tekstil.

"Ya sudah, ketinggalan sendirian. Lihat itu kawannya Pak Ubet, sudah mapan hidupnya. Sekarang sudah jadi pejabat di Dinas Pendidikan. Kerjanya tinggal duduk di kantor ber-AC. Ndak bingung besok mau makan apa, besok bayar uang sekolah pakai apa," lanjut ibu yang mulai menuang air putih ke baskom berisi parutan kelapa.

"Sudah ibu bilangin dari dulu, meski katanya bebas-umum-rahasia, nyatanya pamong pada tahu kita milih apa di bilik tapi bapakmu itu ngeyel aja. Wes embuh! Jadinya ya hidup kita sekarang kayak gini ini," tangan ibu otomatis nguyel-uyel kelapa basah dan mengepalkan dengan erat di atas saringan plastik yang sudah bolong sedikit terkena lidah api. 

Suatu momentum emosi yang pas antara plot cerita ibu dengan tahapan produksi santan yang harus dijalani.

"Akhirnya apa? Dia sendirian yang masih jadi honorer bertahun-tahun. Kawannya sudah jadi PNS semua. 

Udah gitu malah memutuskan untuk berhenti. Mbok ya sabar dulu, barangkali besok-besok nasibnya mujur. Kalau jadi PNS kan enak sudah terjamin, ada uang pensiunnya lagi," perasan tangan terakhir kelapa ini berbarengan dengan frase terakhir ibu barusan.

"Bapakmu itu memang pendiriannya kuat. Sejak muda dulu memang rajin ke surau. Ibu tahu cerita itu dari Bude Aminah. Ketemu ibu saja karena pas ibu jalan lewat surau yang biasa dia tiduri kalau bosan tidur di rumah mbah. Mungkin karena itu jadi susah untuk tidak nyoblos Partai Galaxy." 

Kini tangan ibu memulai prosesi pengupasan nangka muda. Tidak lupa memasukkan tangan kirinya ke dalam plastik terlebih dahulu sebagai ganti sarung tangan untuk melindung agar tak lengket kena getahnya.

"Pernah ibu tanya 'Kenapa toh, Pak, wong tinggal nyoblos saja? Wong masih tetep bisa salat, masih bisa puasa. Kalau merasa dosa bisa wirid istighfar.' Tapi apa jawab bapakmu? Katanya ini masalah prinsip. Ibu malah di tanya balik 'Sampeyan ini apa lupa zalimnya orang-orang partai pohon pada kiai-kiai kita?'" Separuh nangka muda itu sudah terkelupas dengan baik. Kini tinggal separuhnya lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun