Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Anak Harus Selow dan Suka Berkawan

14 Desember 2020   08:49 Diperbarui: 14 Desember 2020   08:51 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak sedang berkunjung ke kebun sayur hidroponik.

Sekarang saya telah menjadi orang tua atas dua putri yang mulai beranjak besar. Tahun depan adalah keputusan final kami mau menyekolahkan di sekolah formal atau menempuh jalur pendidikan tidak umum: belajar di rumah.

Isu pendidikan memang menjadi hal yang saya amati sejak lama. Terlebih saat saya sudah memiliki anak. Kontemplasi saya terhadap proses sekolah yang telah saya lalui, jelas menjadi pertimbangan signifikan apakah sekolah dasar itu masih 'worth' atau tidak. Apalagi di tengah akses dan media belajar saat ini yang serba tak terbatas dan mudah didapatkan.

Pertanyaan di kepala saya adalah: apa sebenarnya yang paling dibutuhkan dari sekolah saat ini?

Dari sekian banyak daftar hal-hal yang tidak relevan namun tetap dijalankan oleh mayoritas sekolah formal saat ini -yang menjadikan kami berpikir dua kali untuk memasukkan ke sekolah formal-, ada satu hal menarik yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Masalah tersebut adalah sejauh mana sekolah membentuk mental persaingan alih-alih sikap kerjasama (kolaborasi) yang lebih dibutuhkan di era sekarang dan masa depan?

Refleksi saya menerawang ke masa lalu dan membandingkan dengan potensi apa yang bisa (possible) dilakukan anak-anak sekarang.

Di sekolah formal, saat semua anak didik dituntut untuk menyelesaikan kurikulum yang sama bahkan dengan cara dan buku pedoman yang sama, maka secara alamiah yang terjadi adalah persaingan.

Analoginya seperti ini, jika beberapa orang dimasukkan ke lintasan yang sama dan diberikan goal yang sama yakni harus sampai ke garis finish, hampir bisa dipastikan yang terjadi adalah persaingan. Apalagi jika ditambahi dengan imbauan 'tidak boleh saling membantu saat ujian ya!'. Padahal ujian itulah ujung semua proses pendidikan di sekolah pada umumnya.

Dalam kondisi ini, alam bawah sadar manusia akan termotivasi dengan persaingan dan lebih suka melihat sudah sejauh mana kawan tanding kita telah melaju. Jika tidak hati-hati menerapkan jiwa kompetisi yang fair, yang terjadi malah kontraproduktif: menghalalkan segala cara agar kawan lain terhambat lajunya sehingga kita dapat melaju lebih cepat dan menjadi juara.

Aura kompetisi ini semakin menjadi saat di akhir periode, setiap anak ditempeli gelar peringkat atas pencapaian kurikulum yang telah ditentukan melalui media rapot. Saat masa pembagian rapot inilah, yang juara satu dielu-elukan dan dipuji sebagai anak yang patut menjadi contoh, sementara yang peringkat akhir seperti mendapatkan legitimasi atas kebodohannya.

Akan berbeda jika anak didik dibebaskan untuk menyelesaikan problem masing-masing menggunakan cara dan prosedur masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan tingkat ketertarikan masing-masing, maka secara alamiah tidak akan terjadi persaingan. Sebab 'lintasan perlombaannya' tidak apple to apple. Hanya orang kurang kerjaan saja yang mengkompetisikan anak yang sedang belajar berenang dengan anak yang sedang meneliti cara manusia bernapas dan menyerap oksigen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun