Mohon tunggu...
Trian Ferianto
Trian Ferianto Mohon Tunggu... Auditor - Blogger

Menulis untuk Bahagia. Penikmat buku, kopi, dan kehidupan. Senang hidup nomaden: saat ini sudah tinggal di 7 kota, merapah di 5 negara. Biasanya lari dan bersepeda. Running my blog at pinterim.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Pahlawanku] Guru Ngaji di Surau

18 Agustus 2019   13:47 Diperbarui: 18 Agustus 2019   14:01 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen | olah pribadi

Yang semakin menambah beban Udin, murid semacam Umar inilah mayoritas santri yang harus dia ajari mengaji Iqro setiap sore selepas ashar hingga menjelang maghrib. Maklum, kebanyakan orangtua mereka memang jarang yang bisa mengaji. Kalau mendengar cerita sesepuh di kampung Durian, memang baru sekaranglah ada kegiatan mengajar mengaji untuk anak-anak. Makanya susah juga meminta orangtua muridnya untuk mengajari lagi saat di rumah.

Namun, semangatnya mengajar tetap menyala. Dia sadar inilah yang bisa dia persembahakan dalam hidupnya setelah mengenyam pendidikan di pesantren.

Selain itu, dia ingat nasihat Kyai Sepuh saat imtihan dulu,

"Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang penting niat menyampaikan imu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi pintar atau tidak, serahkan pada Allah. Doakan saja terus menerus agar muridmu dapat hidayah."

***

"Pak Majid, revisian tesis saya sudah saya email, ya. Mohon kiranya bisa dibaca dan direview. Terima kasih." Pesan via Whatsapp di ponselnya.

Dia teringat, ada mahasiswa magister bimbingannya yang sudah lama tidak melaporkan progress perkembangan tesisnya. Zulkifli Husain namanya, mahasiswa yang dia asuh sebelum keberangkatannya ke Baghdad. Mahasiswa ini sebenarnya sudah bukan mahasiswa bimbingannya. Secara resmi setelah keputusan keberangkatan ke Baghdad keluar, Zulkifli ditransfer ke dosen pembimbing lain untuk jadi pengampunya menyelesaikan tesis. Namun Zulkifli sudah merasa nyaman dengan Majid yang sudah setengah perjalanan merampungkan penelitiannya. Zulkifli terpaksa harus vakum lama karena sibuk turun ke bawah berkampanye dan mempersiapkan segalanya jauh-jauh hari demi kursi dewannya di periode depan.

"Oh, siap pak Zul. Segera saya baca dan review. Jika sudah beres segera saya emailkan balik revisiannya. Semoga bisa langsung sidang ya," sigap Majid membalas pesan Zulkifli.

Sejak bukan lagi menjadi dosen pembimbing resmi Zulkifli, hubungan itu sebenarnya 'sukarela' belaka. Dia tidak enak kalau harus menghentikan tiba-tiba, tentu selain Zulkifli ini tipe 'pejabat yang baik'. Pejabar yang baik karena Zulkifli tidak lupa setiap periode 'bimbingan sukarela' ini, dia selalu mentransfer sejumlah dana.

"Mohon cek rekening ya, Pak Majid. Soalnya harga kopi di Baghdad lumayan mahal," cara Zulkifli menyampaikan rasa terima kasihnya tanpa menyinggung.

"Oh, terima kasih Pak Zul. Hehe..." cara Majid 'menikmati' relasinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun